Sunday, November 29, 2020

Mu'tazilah dan Syiah

 A. Mu'tazilah

1. Pengertian Mu'tazilah

Secara etimologi, Mu'tazilah berasal dari bahasa Arab, i'tazala yang berasal dari kata 'azala yang berarti memisahkan atau menyingkirkan. Adapun secara terminologi, Mu'tazilah adalah golongan yang berpaham bahwa Tuhan tidak memiliki sifat., manusia dapat menciptakan perbuatannya sendiri, Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata oleh orang yang ada di surga, orang yang melakukan dosa besar di tempatkan di antara dua tempat, dan mi'raj Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam hanya dengan ruhnya.

Mu'tazilah dapat diartikan sebagai golongan yang mendewakan akal. Segala sesuatu harus sesuai dan dapat diterima oleh akal. Apabila ada permasalahan agama yang tidak sesuai dengan akal, maka mereka pun akan meninggalkannya. Sebagian ulama mendefinisikan Mu'tazilah sebagai satu kelompok dari Qadariyah yang berselisih pendapat dengan umat Islam yang lain dalam permasalahan hukum pelaku dosa besar.

2. Sejarah Mu'tazilah

Sejarah munculnya aliran Mu'tazilah muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha‟ Al-Makhzumi Al-Ghozzal yang lahir di Madinah tahun 700 M, kemunculan ini adalah karena Wasil bin Atha‟ berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin dan bukan kafir yang berarti ia fasik. Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar masih berstatus mukmin.

3. Doktrin-Doktrin Aliran Mu'tazilah

Muktazilah memiliki asas dan landasan tersendiri. Doktrin yang terkenal adalah lima landasan pokok Mu'tazilah atau yang dikenal dengan usulul khamsah.

a. At-Tauhid (Keesaan Tuhan)

Mu'tazilah berpaham Tuhan harus disucikan dari segala sesuatu yang dapat mengurangi arti kemahaesaannya. Untuk memurnikan keesaan Tuhan, Mu'tazilah menolak konsep Tuhan memiliki sifat-sifat, tetapi Tuhan adalah zat yang tunggal tanpa zat. Oleh karena itu, mereka memfatwakan dan meyakini bahwa Alquran adalah makhluk. Doktrin tauhid Mu‟tazilah lebih lanjut menjelaskan bahwa Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala. Juga keyakinan tidak ada satupun yang dapat menyamai Tuhan, begitupula sebaliknya, Tuhan tidak serupa dengan makhluk-Nya. Tegasnya Mu‟tazilah menolak antropomorfisme. Penolakan terhadap paham antropomorfistik bukan semata-mata atas pertimbanagan akal, melainkan memiliki rujukan yang yang sangat kuat di dalam Al qur‟an yang berbunyi (artinya) :“ tidak ada satupun yang menyamainya. ( Q.S.Assyura : 9 ). 

b. Al-'Adl (Keadilan Tuhan)

Kaum Mu'tazilah ingin menyucikan perbuatan Tuhan dari persamaan dengan perbuatan makhluk. Paham mereka ini bertujuan untuk menempatkan Tuhan benar-benar adil dalam sudut pandang manusia. Manusia dihukum Tuhan karena mengerjakan dosa dan diberi pahala karena melakukan amal ibadah yang baik. Oleh karena itu, menurut kaum Mu'tazilah, semua perbuatan manusia dibuat dan diciptakan manusia itu sendiri dan tidak ada sangkut pautnya dengan Tuhan. Bahkan menurut mereka, Tuhan tidak tahu apa yang dilakukan manusia dan ini berarti menafikan sifat Tuhan yang Maha Mengetahui dan Maha Melihat.

c. Al-Wa’ad wa al-Wa’id (Janji dan ancaman)

Paham ini berisi tentang janji dan ancaman Tuhan bahwa Tuhan tidak akan melanggar janjinya dan perbuatan Tuhan dibatasi oleh janjinya sendiri. Jadi, menurut Mu'tazilah, Tuhan itu wajib adil. Mereka berpandangan bahwa wajib bagi Tuhan untuk memenuhi janji-Nya. Mereka yang berpaham seperti ini juga sering disebut dengan Wa'idiyyah.

d. Al-Manzilah bain Al-Manzilatain (Tempat di Antara Dua Tempat)

 Inilah ajaran yang mula-mula menyebabkan lahirnya mazhab mu'tazilah. Pokok ajaran al-manzilah baina al-manzilatain adalah orang Islam yang melakukan dosa besar atau maksiat selain syirik dan belum bertaubat, tidak dikatakan kafir atau mukmin, tetapi disebut dengan fasik. Di akhirat kelak, orang yang melakukan dosa besar, tidak akan dimasukkan ke dalam surga dan tidak dimasukkan ke dalam neraka.

e. Al Amr bi Al Ma’ruf wa Al Nahi an Al Munkar

Ajaran ini menekankan keberpihakan kepada kebenaran dan kebaikan. Ini merupakan konsekuensi logis dari keimananan seseorang. Pengakuan keimanan harus dibuktikan dengan perbuatan baik, diantaranya dengan menyuruh orang berbuat baik dan mencegahnya dari kejahatan. Perbedaan mazhab Mu'tazilah dengan mazhab lain mengenai ajaran kelima ini terletak pada tata pelaksanaanya. Menurut Mu‟tazilah jika memang diperlukan kekerasan dapat ditempuh untuk mewujudkan ajaran tersebut.

4. Tokoh tokoh ulama muktazilah

- Wasil bin Atha

- Abu Huzail al-Allaf

- Al-Jubba’i

- Al-Jahiz

- Mu’ammar bin Abbad

- Bisyr al-Mu’tamir

- Abu Musa al-Mudrar

5. Perkembangan Aliran Mu’tazilah

Di sisi lain secara umum, aliran Mu‟tazilah melewati dua fase yang berbeda. Fase Abbasiyah (100 H - 237 M) dan fase Bani Buwaihi (334 H). Generasi pertama mereka hidup di bawah pemerintahan Bani Umayah untuk waktu yang tidak terlalu lama. Kemudian memenuhi zaman awal Daulah Abbasiyah dengan aktivitas, gerak, teori, diskusi dan pembelaan terhadap agama, dalam suasana yang dipenuhi oleh pemikiran baru. Dimulai di Basrah. Kemudian di sini berdiri cabang sampai ke Baghdad. Orang-orang Mu‟tazilah Basrah bersikap hati-hati dalam menghadapi masalah politik, tetapi kelompok Mu‟tazilah Baghdad justru terlibat jauh dalam politik. Mereka ambil bagian dalam menyulut dan mengobarkan api inquisisi bahwa “Al Qur‟an adalah makhluk”. Memang pada awalnya Mu‟tazilah menghabiskan waktu sekitar dua abad untuk tidak mendukung sikap bermazhab, mengutamakan sikap netral dalam pendapat dan tindakan. Konon ini merupakan salah satu sebab mengapa mereka disebut Mu‟tazilah. Mu‟tazilah tidak mengisolir diri dalam menanggapi problematika imamah sebagai sumber perpecahan pertama- tetapi mengambil sikap tengah dengan mengajukan teori “al manzilah bainal manzilatain”. Akan tetapi di bawah tekanan Asy‟ariah nampaknya mereka berlindung kepada Bani Buwaihi.13 Golongan pertama, (disebut Mu‟tazilah I) muncul sebagai respon politik murni. Golongan ini tumbuh sebahai kaum netral politik, khususnya dalam arti bersikap lunak dalam menangani pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan lawan-lawannya, terutama Muawiyah, Aisyah, dan Abdullah bin Zubair golongan inilah yang mula-mula disebut kaum Mu‟tazilah karena mereka menjauhkan diri dari pertikaian masalah khilafah. Kelompok ini bersifat netral politik tanpa stigma teologis seperti yang ada pada kaum Mu‟tazilah yang tumbuh dikemudian hari. Golongan kedua, (disebut Mu‟tazilah II) muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Mur‟jiah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Mur‟jiah tentang pemberian status kafir kepada yang berbuat dosa besar. Mu‟tazilah II inilah yang dikaji dalam bab ini yang sejarah kemunculannya memiliki banyak versi. Kaum Mu‟tazilah sudah tidak ada lagi. Mereka mendapat tantangan keras dari umat Islam lain setelah mereka berusaha diabad ke Sembilan untuk memaksa faham-faham mereka dengan kekerasan pada umat Islam yang ada pada waktu itu. Pemikiran rasionil Mu‟tazilah dan sikap kekerasan mereka, membawa pada lahirnya aliran-aliran teologi lain dalam Islam. Aliran-aliran itu timbul untuk menjadi tantangan bagi aliran yang bercorak rasionil dan liberal tersebut.

B. Syi'ah

1. Pengertian Syi'ah

Secara bahasa, kata "syi'ah" berarti pengikut, kelompok, pendukung, partai atau golongan. Adapun secara terminologi adalah sebagian kaum muslimin yang dalam bidang atau spiritual dan keagamaannya selalu merujuk pada keturunan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam atau yang dikenal dengan ahlul bait.

2. Sejarah Munculnya Syi'ah

Mengenai kemunculannya, para ahli berbeda pendapat. Menurut Abu Zahrah, Syiah muncul pada masa akhir pemerintahan Utsman bin Affan, kemudian tumbuh dan berkembang pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Sementara, menurut kalangan Syiah sendiri, kemunculannya berkaitan dengan pemilihan khalifah, pengganti nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka menolak pemerintahan Abu Bakar, Umar Bin Khattab, dan Utsman bin Affan karena menurut pandangan mereka hanya Ali Bin Abi Thalib yang berhak menggantikan beliau.

3. Pokok Ajaran dan Dasar Syi'ah

Inti ajaran Syi’ah adalah berkisar masalah khalifah, jadi masalah politik yang berkembang dan bercampur dengan masalah-masalah agama. Kaum Syi’ah memiliki 5 pokok pikiran utama yang harus dianut oleh para pengikutnya, yaitu:

a. At tauhid

Kaum Syi’ah meyakini baha Allah itu Esa, tempat bergantung semua makhluk, tidak beranak dan tidak diperanakan dan tidak serupa dengan makhluk yang ada di bumi.

b. Al ‘adl

Kaum Syi’ah memiliki keyakinan bahwa Allah memiliki sifat Maha Adil.

c. An Nubuwwuh

Kepercayaan kaum Syi’ah terhadap keberadaan Nabi juga tidak berbeda halnya dengan kaum muslimin yang lain. Menurut mereka Allah mengutus nabi dan rosul untuk membimbing umt manusia. Rosul memberikan kabar gembira bagi mereka-mereka yang melakukan amal shaleh dan memberikan kabar siksa ataupun ancaman bagi mereka-mereka yang durhaka dan mengingkari Allah.

d. Al Imamah

Bagi kaum Syiah imamah berarti kepemimpinan dalam urusan agama dan dunia. Menurut mereka yang berhak menjadi pemimpin umat hanyalah imam dan itu hanya ada pada keturunan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam.

e. Al Ma’ad

Secara harfiah al ma’ad yaitu tempat kembali (akhirat). Kaum Syi’ah percaya sepenuhnya baha hari akhirat itu pasti terjadi. Menurut mereka manusia kelak akan dibangkitkan, jasadnya secara keseluruhannya akan dikmbalikn ke asalnya baik daging, tulang maupun ruhnya


Syiah dalam perkembangannya terpecah menjadi beberapa golongan. Namun, pokok-pokok paham mereka dapat disimpulkan:

1. Hak kekhalifahan sesudah Rasulullah adalah Ali bin Abi Thalib, karena itu kekhaifahan Abu Bakar, Umar dan Utsman bukan hak mereka

2. Khalifah dalam istilah mereka imam yang harus ditunjuk oleh Nabi.

3. Imam adalah Ma’sum, tidak berdosa dan tidak boleh diganggu gugat.

Saturday, November 21, 2020

Jabariyyah dan Qadariyyah

A. Jabariyyah

1. Pengertian Jabariyyah

Nama Jabariyah berasal dari kata "jabara" yang berarti memaksa. Menurut al- Syahrastani bahwa Jabariyah berarti menghilangkan perbuatan dari hamba secara hakikat dan menyandarkan semua perbuatan tersebut kepada Allah 'azza wa jalla. Di dalam Kamus al-Munjid dijelaskan bahwa nama Jabariyah berasal dari kata "jabara" yang artinya mengharuskan sesuatu.

2. Sejarah Munculnya Aliran Jabariyyah

Aliran Jabariyyah adalah aliran yang menentang golongan Qadariyyah. Paham ini telah ada sejak awal periode Islam, namun baru dijadikan sebagai pola pikir dan aliran yang dianut, dipelajari, dikembangkan, baru terjadi pada masa Daulah Bani Umayyah. Aliran Jabariyah ini mempunyai paham bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan atau kebebasan dalam menentukan perbuatannya. Akan tetapi mereka melakukan perbuatan itu karena terpaksa (majburah). Dapat disimpulkan bahwa manusia adalah sangat lemah, tak berdaya, terikat dengan kekuasaan dan kehendak Allah Swt. secara mutlak.

Menurut pandangan sekte ini, hidup manusia sudah ditentukan sebelumnya oleh Allah ta'ala. Perbuatan manusia diciptakan oleh Tuhan dalam diri manusia. Jadi, manusia tidak ubahnya seperti kapas yang melayang-layang di udara, terbang ke mana pun ia diterpa angin, tidak memiliki kemauan dan kekuatan untuk mempertahankan diri, atau manusia diumpamakan seperti wayang yang hanya dapat bergerak kalau digerakkan oleh dalang.

3. Tokoh-Tokoh Jabariyyah

Paham Jabariyyah lahir di Khurasan, Iran, pada paruh pertama abad ke-2 H/ke-8 M, dipelopori oleh Jahm bin Sufyan. Nama lengkapnya Abu Mahrus Jahm bin Sufyan. Oleh karena itu, 

Berikut adalah tokoh-tokoh penganut dan perintis pemahaman Jabariyah:

1) Al-Ja’ad ibn Dirham (Damaskus)

2) Abu Mahrus jahm bin Shofwan (Khurasan)

3) Al-Husain Ibn Muhammad al-Najjar

4) Dhirar bin Amr

4. Doktrin-Doktrin Jabariyyah

Menurut asy-Syahrastani, sekte Jabariyyah dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu ekstrem dan moderat.

a. Jabariyyah Ekstrem

Jabariyyah ekstrem berpendapat bahwa segala perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri, melainkan perbuatan yang dipaksakan atas dirinya. Jabariyyah ekstrem mengikuti Jahm bin Sufyan dan Ja'ad bin Dirham.

1) Pendapat Jahm bin Sufyan

a) Manusia tidak mampu berbuat apa-apa.

b) Surga dan neraka tidak kekal.

c) Iman adalah makrifat atau membenarkan dengan hati.

d) Kalam Tuhan adalah makhluk.

2) Pendapat Ja'ad bin Dirham

a) Al-Qur'an adalah makhluk.

b) Allah tidak memiliki sifat sama dengan makhluk.

c) Manusia dipaksa Allah dalam segala-galanya.

b.Jabariyyah Moderat

Jabariyyah moderat mengatakan bahwa Tuhan memang menciptakan perbuatan manusia. Akan tetapi, manusia mempunyai bagian di dalamnya. Yang termasuk Jabariyyah moderat adalah an-Najjar dan ad-Dirar.

1) Pendapat an-Najar

a) Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu. Inilah yang disebut kasab.

b) Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat.

2) Pendapat ad-Dirar

a) Suatu perbuatan dapat ditimbulkan oleh dua pelaku secara bersamaan. Artinya, manusia turut berperan dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya dan tidak semata-mata dipaksa oleh Tuhan.

b) Tuhan dapat dilihat di akhirat kelak melalui indra keenam.

c) Hujjah yang dapat diterima setelah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam adalah ijtihad.

d) Hadis ahad tidak dapat dijadikan sumber dalam menetapkan hukum.

4. Dalil Landasan Jabariyyah

Pendapat aliran Jabariyah ini berpijak pada dalil Naqli maupun Aqli. 

4.1.Dalil Naqli

Dalil Naqli aliran ini seperti pada beberapa ayat Al-Qur’an, diantaranya adalah:

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:


فَلَمْ تَقْتُلُوْهُمْ وَلٰـكِنَّ اللّٰهَ قَتَلَهُمْ ۖ وَمَا رَمَيْتَ اِذْ رَمَيْتَ وَ لٰـكِنَّ اللّٰهَ رَمٰى ۚ وَلِيُبْلِيَ الْمُؤْمِنِيْنَ مِنْهُ بَلَآ ءً حَسَنًا ۗ اِنَّ اللّٰهَ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ

"Maka (sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, melainkan Allah yang membunuh mereka, dan bukan engkau yang melempar ketika engkau melempar, tetapi Allah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui."

(QS. Al-Anfal/8: 17)

4.2 Dalil Aqli

1. Makhluk tidak boleh sama dengan Tuhan

2. Menolak bahwa Tuhan Maha Hidup dan Maha Mengetahui, namun mengakui 

 keadaan Allah yang Maha Kuasa

3. Allah yang menciptakan, jadi makhluk tidak memiliki kekuasaan

4. Manusia tidak memiliki kekuasaan, manusia tidak dapat dikatakan mempunyai 

 kemampuan (Istitha'ah)

5. Perbuatan yang tampaknya lahir dari manusia bukan dari manusia karena manusia tidak memiliki kekuasaan atas hidupnya

6. Semua yang terjadi pada makhluk adalah perbuatan Allah dan perbuatan itu disandarkan kepada makhluk hanya penyandaran majazi.

B. Qadariyyah

1. Pengertian Qadariyyah

Qadariyah berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata qadara yang artinya kemampuan. Harun Nasution menegaskan kaum Qadariyyah berasal dari pengertian bahwa mausia memiliki qudrah atau kekuatan untuk melaksanakam keinginannya, bukan berasal dari pengertian manusia terpaksa tunduk pada qadar Allah.

2. Sejarah Munculnya Aliran Qadariyyah

Para mutakallimin menyebutkan bahwa aliran Qadariyyah mulai muncul dan berkembang di bawah kepeloporan Ma'bad al-Jauhani (wafat 80 H/700 M). Pendapat lain mengatakan bahwa aliran ini muncul kira-kira pada tahun 70 H di Irak, pada masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan.

Para peneliti kesulitan menentukan kapan paham Qadariyyah ini pertama kali muncul karena penganutnya saat itu sudah banyak. Sebagian mengatakan muncul di Irak dan sebagian lagi berpendapat munculnya di Damaskus.

Karena bertentangan dengan ajaran agama Islam, sekte ini mendapat kecaman yang keras dari pemerintah karena pada saat itu para pejabat adalah penganut paham Jabariyyah.

3. Tokoh-Tokoh Aliran Qadariyyah

Qadariyyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervesi oleh Tuhan. Para ahli mengatakan bahwa Qadariyyah pertama kali diajarkan oleh Ma'bad al-Jauhanu dan Ghailan ad-Dimasyqi.

Ibnu Nabatah dalam kitabnya, Syarh -'Uyūn mengatakan bahwa orang yang pertama kalu memunculkan paham Qadariyyah adalah orang Irak (bernama Susan) yang semula beragama Nasrani, kemudian masuk Islam, lalu kembali lagi ke agama Nasrani.

4. Doktrin-Doktrin Aliran Qadariyyah

Al-Qadariyah menetapkan dua takdir, yaitu Allah dan manusia. Dalam pandangan mereka dua takdir itu tidak beda satu sama lain. Maka boleh terlaksana keduanya. Karena itulah mereka diserupakan dengan Majusi, karena menisbatkan takdir pada dua tuhan mereka, yaitu Yazdan dan Ahrumus. Al-Qadariyah beranggapan, takdir Tuhan itu diperkecualikan oleh takdir manusia. Sebagian ulama yang lain mengatakan, kata al-Qadariyah sebenarnya sifat mereka yang meyakini kuasa manusia untuk menentukan perbuatannya.

Dalam kitab Syarh Al-Uyun disebutkan, yang pertama kali bicara tentang takdir adalah seseorang dari Irak, yang semula beragama Nasrani kemudian masuk Islam, dan kembali lagi ke Nasrani. Darinyalah Ma’bad al-Jahni dan Ghailan ad-Dimasyqi berguru. Dari sini dapat kita lihat bahwa pemikiran ini masuk ke dalam Islam dan beredar di kalangan umatnya melalui pihak asing yang disuarakan atas nama Islam, padahal ia menyembunyikan yang lain. Sebagaimana diriwayatkan dari Abdullah bin Umar r.a, ia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Qadariyah adalah Majusi umat ini. Jika mereka sakit janganlah kalian jenguk dan jika mereka mati janganlah kalian saksikan jenazahnya.” (Hasan, silsilah Jami’ ash-Shaghir 4442).11

Al-Qadariyah yang muncul di abad pertama Hijriyah dikenal dengan sebutan al-Qadariyah Al-Ula. Mereka mengingkari ilmu Allah mendahului segala sesuatu. Diriwayatkan dari Ma’bad al-Jahni berkata, “Tidak ada takdir dan perintah yang mendahului sesuatu.” Dalam arti kata, manusialah yang berkuasa untuk menetapkan perbuatan dirinya, lalu menjadikannya ada dengan kuasanya. Ini berarti, Allah sama sekali tidak punya kuasa atas perbuatan ini. Tidak ada campur tangan kehendak dan kuasa Allah pada keberadaannya. Dan Allah tidak mengetahuinya, kecuali setelah perbuatan itu terjadi.

5. Dalil Landasan Qadariyyah

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

وَقُلِ الْحَـقُّ مِنْ رَّبِّكُمْ ۗ فَمَنْ شَآءَ فَلْيُؤْمِنْ وَّمَنْ شَآءَ فَلْيَكْفُرْ ۙ اِنَّاۤ اَعْتَدْنَا لِلظّٰلِمِيْنَ نَا رًا ۙ اَحَا طَ بِهِمْ سُرَا دِقُهَا ۗ وَاِ نْ يَّسْتَغِيْثُوْا يُغَا ثُوْا بِمَآءٍ كَا لْمُهْلِ يَشْوِى الْوُجُوْهَ ۗ بِئْسَ الشَّرَا بُ وَسَآءَتْ مُرْتَفَقًا

"Dan katakanlah (Muhammad), Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; barang siapa menghendaki (beriman) hendaklah dia beriman, dan barang siapa menghendaki (kafir) biarlah dia kafir. Sesungguhnya Kami telah menyediakan neraka bagi orang zalim, yang gejolaknya mengepung mereka. Jika mereka meminta pertolongan (minum), mereka akan diberi air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan wajah. (Itulah) minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek."

(QS. Al-Kahf/18: 29)


Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

وَمَنْ يَّكْسِبْ اِثْمًا فَاِ نَّمَا يَكْسِبُهٗ عَلٰى نَفْسِهٖ ۗ وَكَا نَ اللّٰهُ عَلِيْمًا حَكِيْمًا

"Dan barang siapa berbuat dosa, maka sesungguhnya dia mengerjakannya untuk (kesulitan) dirinya sendiri. Dan Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana."

(QS. An-Nisa'/4: 111)

Sunday, November 15, 2020

Khawarij dan Murjiah

 A. Khawarij

1. Pengertian dan Penisbatan Khawarij

Secara etimologi, kata Khawarij berasal dari bahasa Arab "kharaja" yang berarti keluar. Nama ini diberikan kepada mereka yang keluar dari barisan Ali. Sedangkan, yang dimaksud Khawarij dalam terminologi ilmu kalam adalah suatu sekte/kelompok pengikut Ali bin Abi Thalib yang keluar meninggalkan barisan karena ketidaksepakatan terhadap keputusan Ali yang menerima arbitrase (tahkim), dalam perang Siffin pada tahun 37 H/648 M, dengan kelompok bughat (pemberontak) Mu’awiyah bin Abi Sufyan perihal persengketaan khilafah.

Pengikut pengikut Ali dari kalangan garis keras menyalahkan Ali menunjuk Abu Musa al-Asy’ari dan sangat menyesalkan keputusan imam Ali menerima tahkim. Mereka mengancam Ali dengan pembunuhan jika tidak mau melaksanakan kehendak mereka. Kemudian, mereka keluar dari barisan Ali dan mereka memilih dan membaiat Abdullah bin Wahab ar-Rasibi yang dikenal dengan julukannya Zu as-Safinat menjadi pemimpin mereka. Ar-Rasibi ini adalah orang yang sangat keras menentang hasil tahkim dan menuntut agar Ali meninggalkan tahkim dan meneruskan perang melawan Mu’awiyah. Kelompok inilah yang kemudian menjadi cikal bakal terbentuknya kaum Khawarij. Keputusan tahkim, yakni Ali diturunkan jabatannya sebagai khalifah oleh utusannya dan mengangkat Mu’awiyah menjadi khalifah pengganti Ali sangat mengecewakan orang-orang/pasukan yang mendukung Ali dan akhirnya keluar yang belakangan aliran ini disebut dengan istilah Khawarij.

2. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Khawarij

Perpecahan dalam Islam memang mulai nampak pasca wafat Nabi yang pada saat itu terjadi perdebatan siapa yang akan menggantikannya sebagai pemimpin umat karena menjelang wafatnya Nabi tidak menunjuk atau menentukan seseorang yang harus menggantikannya. Perbedaan terjadi pada pertemuan di Tsaqifah Bani Saidah dimana satu kelompok menyatakan bahwa pengganti Nabi harus dari golongan Anshar, sedangkan kelompok lain harus dari golongan Muhajirin. Keputusan akhir pertemuan itu adalah pembaiatan Abu Bakar sebagai khalifah. Namun, ketidakhadiran Ali bin Abi Thalib dalam pertemuan ini karena sibuk mengurus pemakaman Nabi, memunculkan pendapat ketiga yaitu bahwa khalifah harus dari keluarga Nabi (dalam hal ini Ali bin AbiThalib). Akan tetapi, pendapat kelompok ketiga ini tidak mendapat tanggapan, hingga akhirnya mereka menerima kekhalifahan Abu Bakar. Jauh sesudahnya, Ketika Usman naik menjadi khalifah, pendukung Ali mulai kurang senang terhadap sistem pemerintahan yang dijalankan yang nepostisme, khususnya terhadap keluarga Umayyah. Masa akhir kekhalifahan Usman, terdapat gerakan bawah tanah yang menuntut agar Usman turun dari kekhalifahan dan menyerahkannya kepada yang lain. Di antara kelompok ini ada pendukung Ali. 

Ketika Usman terbunuh, mayoritas umat Islam melantik Ali sebagai Khalifah. Keputusan ini ditentang oleh Thalhah, Zubair dan Muawiyah. Mereka menuduh Ali ikut terlibat dalam rencana pembunuhan Usman, atau setidaknya membiarkan Usman terbunuh. Thalhah dan Zubair yang tidak terima dengan terbunuhnya Usman, menuntut agar khalifah Ali mengusut siapa dalang di balik pembunuhan khalifah tersebut. Karena merasa aspirasi Thalhah dan Zubair tidak dihiraukan, maka puncaknya terjadilah perang Jamal yang mengakibatkan terbunuh para sahabat yang ingin menuntut balas atas terbunuhnya Utsman, diantaranyaThalhah dan Zubair. Begitu juga dengan kelompok Muawiyah yang susah ditaklukkan karena ia memiliki pasukan yang kuat. Konfrontasi Ali dengan Mu’awiyah berujung pada terjadinya Perang Siffin. Merasa kekalahannya sudah di depan mata, Muawiyyah melakukan taktik damai (mengajukan gencatan senjata) dengan Ali bin Abi Thalib.

Pada awalnya Ali tidak mau menyetujui perjanjian itu, namun karena usulan beberapa pemuka di pihak Ali, akhirnya ia menyetujui untuk menerima perjanjian damai tersebut. Keputusan ini menimbulkan kelompok orang yang tidak setuju atas keputusan Ali tersebut. Abu Musa al-Asy’ari adalah perwakilan dari pihak Ali pada pertemuan yang dikenal dengan Majelis Tahkim (arbitrase). Sedangkan, dari pihak Muawiyah mengutus 'Amr bin Ash. Pertemuan itu dilakukan di suatu tempat di tepi Sungai Eufrat. Hasil tahkim memutuskan “Ali dipecat dari kekhalifahan, dan Muawiyah diangkat menggantikan Ali sebagai khalifah”. Peristiwa inilah yang membuat kelompok Ali terbagi menjadi tiga kelompok yakni :

a. Syi'ah : sebagai kelompok yang mendukung penuh keputusan Ali.

b. Khawarij : sebagai kelompok yang memisahkan diri kerena tidak setuju dengan keputusan Ali melakukan tahkim.

c. Murjiah : sebagai kelompok non-blok.

Berawal dari peristiwa politik inilah , kemudian merambah kepada doktrin-doktrin keyakinan teologis. Dan pada akhirnya mereka menjadikan surah al-mai'dah (5) ayat 44 sebagai landasan untuk keluar dari barisan Ali. Artinya : "Barangsiapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir”.

3. Pokok-Pokok Ajaran Khawarij

Secara umum, ajaran-ajaran pokok golongan ini adalah kaum muslimin yang berbuat dosa besar adalah kafir. Kemudian, kaum muslimin yang terlibat dalam perang Jamal, yakni perang antara Aisyah, Thalhah, dan Zubair melawan Khalifah Ali bin Abi Thalib dihukumi kafir. Menurut mereka, khalifah harus dipilih rakyat serta tidak harus dari keturunan Khalifah Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم dan tidak mesti keturunan Quraisy. Jadi, seorang muslim dari golongan manapun bisa menjadi khalifah asalkan mampu memimpin dengan benar. Adapun doktrin dari kaum Khawarij di antaranya:

a. Diperbolehkan tidak mengikuti dan tidak mentaati aturan khalifah yang zalim dan pengkhianat.

b. Tidak ada hukum yang bersumber selain dari Al-Qur’an (mereka menolak hadits Nabi (صلى الله عليه وسلم Muhammad

c. Setiap umat Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم yang melakukan dosa besar hingga matinya belum melakukan taubat, maka dihukumi kafir dan kekal dalam neraka.

d. Manusia bebas memutuskan perbuatannya, bukan dari Tuhan.

e. Semua dosa adalah besar, tidak ada dosa kecil.

f. Adanya wa’ad dan wa’id (orang baik harus masuk surga sedangkan orang jahat harus masuk neraka.

g. Amar ma’ruf nahi munkar.

h. Al-Qur’an adalah makhluk.

i. Memalingkan ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat mutasyabihat (samar). 

4. Tokoh-Tokoh Khawarij

Tokoh-tokoh utama kaum Khawarij antara lain : 

1. Urwah bin Hudair

2. Mustarid bin Sa’ad

3. Hausarah al-Asadi

4. Quraib bin Maruah

5. Nafi’ bin al-Azraq

6. Abdullah bin Basyir


B. Murjiah

1. Pengertian Murjiah

Kata "murji'ah" berasal dari bahasa Arab "arja'a" yang artinya menunda atau mengembalikan. Sekte ini disebut murjiah karena mereka memiliki prinsip menunda penyelesaian persoalan atau konflik politik antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyyah bin Abi Sufyan serta persoalan Khawarij pada hari perhitungan kelak. Oleh karena itu, mereka tidak ingin mengeluarkan pendapat tentang siapa yang benar dan siapa yang kafir di antara ketiga kelompok yang bertikai tersebut.

2. Sejarah Munculnya Aliran Murjiah

Murjiah muncul dilatarbelakangi oleh persoalan politik, yaitu soal kekhalifahan. Setelah Khalifah Usman bin Affan terbunuh, umat Islam terpecah dalam dua kelompok besar, yaitu kelompok Ali bin Abi Thalib dan kelompok Muawiyyah. Aliran Murjiah muncul di Damaskus pada akhir abad pertama Hijriah. Murjiah adalah kelompok atau aliran yang tetap berada dalam barisan Ali bin Abi Thalib.

Ada beberapa pendapat teologi yang berkembang mengenai kemunculan Murjiah ini, antara lain, gagasan irja' atau arja'a dikembangkan oleh sebagian sahabat sebagai penjamin persatuan dan kesatuan umat Islam ketika terjadi perselisihan politik dan bertujuan untuk menghindari sektarianisme. Gagasan irja' muncul pertama kali sebagai gerakan politik diperlihatkan oleh cucu Ali bin Abi Thalib, yaitu Hasan bin Muhammad al-Hanafiyah.

Sekte ini menangguhkan penilaian terhadap orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim di hadapan Tuhan karena hanya Tuhanlah yang mengetahui keadaan iman seseorang. Demikian pula dengan orang mukmin yang melakukan dosa besar, menurut pendapat mereka masih disebut mukmin. Sekte ini beranggapan bahwa berbuat dosa tidak berbahaya apabila disertai iman, seperti halnya mengerjakan salat tidak berguna apabila disertai dengan kekafiran.

3. Tokoh-Tokoh Murjiah

Orang yang pertama kali memperkenalkan sekte Murjiah adalah Gailan ad-Dimasyqi. Dia adalah penduduk yang berasal dari kota Damaskus. Ayahnya pernah bekerja pada Khalifah Usman bin Affan. Dia datang ke Damaskus pada masa pemerintahan Khalifah Hasyim bin Abdul Malik. (105-125 H). Tokoh-tokoh utama kaum murji’ah antara lain :

a. Abu Hasan ash-Shalihi

b. Yunus bin an-Namiri

c. Ubaid al-Muktaib

d. Ghailan ad-Dimasyq

e. Bisyar al-Marisi

f. Muhammad bin Karram

4. Doktrin Aliran Murjiah

Ajaran pokok Murjiah pada dasarnya bersumber dari gagasan irja' yang diaplikasikan dalam banyak persoalan. Berkaitan dengan doktrin teologi Murjiah, W. Montgomery Watt merincinya sebagai berikut.

a. Penangguhan keputusan terhadap Ali dan Muawiyah hingga Allah memutuskannya kelak di akhirat.

b. Penangguhan Ali untuk menduduki ranking keempat dari peringkat Khulafaur Rasyidin.

c. Pemberian harapan terhadap orang muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.

Abul A'la al-Maududi menyebutkan dua doktrin pokok ajaran Murjiah, yaitu:

a. Iman adalah percaya kepada Allah dan rasul-Nya saja, sedangkan perbuatan tidak merupakan suatu keharusan bagi adanya iman.

b. Dasar keselamatan adalah iman semata.

Istilah "memberi harapan" mengandung arti bahwa orang mukmin yang melakukan maksiat, imannya masih tetap sempurna.

Doktrin-doktrin Murji’ah menyerupai pengajaran atau (mazhab) para skeptis dan empiris dari kalangan helenis. Masih berkaitan dengan doktrin teologi murjiah, Harun Nasution menyebutkan empat ajaran pokoknya yaitu:

a. Menunda hukum atas Ali, Mu'awiyah, 'Amr bin Ash, dan Abu Musa Al-Asy'ari yang terlibat tahkim hingga kepada Allah pada hari kiamat kelak.

b. Menyerahkan keputusan kepada Allah subhanahu wa ta'ala atas orang muslim yang berdosa besar.

c. Meletakkan (pentingnya) iman lebih utama daripada amal.

d. Memberikan pengharapan kepada muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah subhanahu wa ta'ala.

5. Sekte-Sekte Murjiah

Pada umumnya, aliran Murjiah terbagi ke dalam dua golongan besar, yaitu golongan moderat dan golongan ekstrem. Golongan Murjiah moderat berpendapat bahwa orang yang berdosa besar tidak kafir dan tidak kekal di neraka, tetapi mereka dihukum sesuai dengan besar kecilnya dosa yang dilakukannya, Adapun Murjiah ekstrem berpendapat bahwa orang Islam yang percaya kepada Tuhan, kemudian menyatakan kekufuran secara lisan, maka ia tidak menjadi kafir karena iman dan kufur tempatnya di dalam hati.

Tuesday, November 10, 2020

Tauhid

 A. Makna Tauhid

Tauhid secara bahasa arab merupakan bentuk masdar dari fi’il wahhada-yuwahhidu (dengan huruf ha di tasydid), yang artinya menjadikan sesuatu satu saja. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata: “Makna ini tidak tepat kecuali diikuti dengan penafian. Yaitu menafikan segala sesuatu selain sesuatu yang kita jadikan satu saja, kemudian baru menetapkannya” (Syarh Tsalatsatil Ushul, 39).

Secara istilah syar’i, makna tauhid adalah menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan yang benar dengan segala kekhususannya (Syarh Tsalatsatil Ushul, 39). Dari makna ini sesungguhnya dapat dipahami bahwa banyak hal yang dijadikan sesembahan oleh manusia, bisa jadi berupa Malaikat, para Nabi, orang-orang shalih atau bahkan makhluk Allah yang lain, namun seorang yang bertauhid hanya menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan saja.

Tauhid kepada Allah itu memiliki dua rukun, yaitu:

1. An-Nafiyu = Menafikan. Maksudnya adalah menafikan Tuhan selain Allah.

2. Menyembah Allah. Menjadikan hanya Allah yang berhak untuk disembah.

B. Pembagian Tauhid

Dari hasil pengkajian terhadap dalil-dalil tauhid yang dilakukan para ulama sejak dahulu hingga sekarang, mereka menyimpulkan bahwa ada tauhid terbagi menjadi tiga: Tauhid Rububiyah, Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Al Asma Was Shifat.

Yang dimaksud dengan Tauhid Rububiyyah adalah mentauhidkan Allah dalam kejadian-kejadian yang hanya bisa dilakukan oleh Allah, serta menyatakan dengan tegas bahwa Allah Ta’ala adalah Rabb, Raja, dan Pencipta semua makhluk, dan Allahlah yang mengatur dan mengubah keadaan mereka. (Al Jadid Syarh Kitab Tauhid, 17). Meyakini rububiyah yaitu meyakini kekuasaan Allah dalam mencipta dan mengatur alam semesta, misalnya meyakini bumi dan langit serta isinya diciptakan oleh Allah, Allahlah yang memberikan rizqi, Allah yang mendatangkan badai dan hujan, Allah menggerakan bintang-bintang, dll. Di nyatakan dalam Al Qur’an:

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَجَعَلَ الظُّلُمَاتِ وَالنُّورَ

Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dan Mengadakan gelap dan terang” (QS. Al An’am: 1)

Dan perhatikanlah baik-baik, tauhid rububiyyah ini diyakini semua orang baik mukmin, maupun kafir, sejak dahulu hingga sekarang. Bahkan mereka menyembah dan beribadah kepada Allah. Hal ini dikhabarkan dalam Al Qur’an:

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ

Sungguh jika kamu bertanya kepada mereka (orang-orang kafir jahiliyah), ’Siapa yang telah menciptakan mereka?’, niscaya mereka akan menjawab ‘Allah’ ”. (QS. Az Zukhruf: 87)

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ

Sungguh jika kamu bertanya kepada mereka (orang-orang kafir jahiliyah), ’Siapa yang telah menciptakan langit dan bumi serta menjalankan matahari juga bulan?’, niscaya mereka akan menjawab ‘Allah’ ”. (QS. Al Ankabut 61)

Oleh karena itu kita dapati ayahanda dari Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bernama Abdullah, yang artinya hamba Allah. Padahal ketika Abdullah diberi nama demikian, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam tentunya belum lahir.

Adapun yang tidak mengimani rububiyah Allah adalah kaum komunis atheis. Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu berkata: “Orang-orang komunis tidak mengakui adanya Tuhan. Dengan keyakinan mereka yang demikian, berarti mereka lebih kufur daripada orang-orang kafir jahiliyah” (Lihat Minhaj Firqotin Najiyyah)

Pertanyaan, jika orang kafir jahiliyyah sudah menyembah dan beribadah kepada Allah sejak dahulu, lalu apa yang diperjuangkan oleh Rasulullah dan para sahabat? Mengapa mereka berlelah-lelah penuh penderitaan dan mendapat banyak perlawanan dari kaum kafirin? Jawabannya, meski orang kafir jahilyyah beribadah kepada Allah mereka tidak bertauhid uluhiyyah kepada Allah, dan inilah yang diperjuangkan oleh Rasulullah dan para sahabat.

Tauhid Uluhiyyah adalah mentauhidkan Allah dalam segala bentuk peribadahan baik yang zhahir maupun batin (Al Jadid Syarh Kitab Tauhid, 17). Dalilnya:

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

Hanya Engkaulah yang Kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta pertolongan” (Al Fatihah: 5)

Sedangkan makna ibadah adalah semua hal yang dicintai oleh Allah baik berupa perkataan maupun perbuatan. Apa maksud ‘yang dicintai Allah’? Yaitu segala sesuatu yang telah diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, segala sesuatu yang dijanjikan balasan kebaikan bila melakukannya. Seperti shalat, puasa, bershodaqoh, menyembelih. Termasuk ibadah juga berdoa, cinta, bertawakkal, istighotsah dan isti’anah. Maka seorang yang bertauhid uluhiyah hanya meyerahkan semua ibadah ini kepada Allah semata, dan tidak kepada yang lain. Sedangkan orang kafir jahiliyyah selain beribadah kepada Allah mereka juga memohon, berdoa, beristighotsah kepada selain Allah. Dan inilah yang diperangi Rasulullah, ini juga inti dari ajaran para Nabi dan Rasul seluruhnya, mendakwahkan tauhid uluhiyyah. Allah Ta’ala berfirman:

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

Sungguh telah kami utus Rasul untuk setiap uumat dengan tujuan untuk mengatakan: ‘Sembahlah Allah saja dan jauhilah thagut‘” (QS. An Nahl: 36)

Syaikh DR. Shalih Al Fauzan berkata: “Dari tiga bagian tauhid ini yang paling ditekankan adalah tauhid uluhiyah. Karena ini adalah misi dakwah para rasul, dan alasan diturunkannya kitab-kitab suci, dan alasan ditegakkannya jihad di jalan Allah. Semua itu adalah agar hanya Allah saja yang disembah, dan agar penghambaan kepada selainNya ditinggalkan” (Lihat Syarh Aqidah Ath Thahawiyah).

Perhatikanlah, sungguh aneh jika ada sekelompok ummat Islam yang sangat bersemangat menegakkan syariat, berjihad dan memerangi orang kafir, namun mereka tidak memiliki perhatian serius terhadap tauhid uluhiyyah. Padahal tujuan ditegakkan syariat, jihad adalah untuk ditegakkan tauhid uluhiyyah. Mereka memerangi orang kafir karena orang kafir tersebut tidak bertauhid uluhiyyah, sedangkan mereka sendiri tidak perhatian terhadap tauhid uluhiyyah??

Sedangkan Tauhid Al Asma’ was Sifat adalah mentauhidkan Allah Ta’ala dalam penetapan nama dan sifat Allah, yaitu sesuai dengan yang Ia tetapkan bagi diri-Nya dalam Al Qur’an dan Hadits Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam. Cara bertauhid asma wa sifat Allah ialah dengan menetapkan nama dan sifat Allah sesuai yang Allah tetapkan bagi diriNya dan menafikan nama dan sifat yang Allah nafikan dari diriNya, dengan tanpa tahrif, tanpa ta’thil dan tanpa takyif (Lihat Syarh Tsalatsatil Ushul). Allah Ta’ala berfirman yang artinya:

وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا

Hanya milik Allah nama-nama yang husna, maka memohonlah kepada-Nya dengan menyebut nama-nama-Nya” (QS. Al A’raf: 180)

Tahrif adalah memalingkan makna ayat atau hadits tentang nama atau sifat Allah dari makna zhahir-nya menjadi makna lain yang batil. Sebagai misalnya kata ‘istiwa’ yang artinya ‘bersemayam’ dipalingkan menjadi ‘menguasai’.

Ta’thil adalah mengingkari dan menolak sebagian sifat-sifat Allah. Sebagaimana sebagian orang yang menolak bahwa Allah berada di atas langit dan mereka berkata Allah berada di mana-mana.

Takyif adalah menggambarkan hakikat wujud Allah. Padahal Allah sama sekali tidak serupa dengan makhluknya, sehingga tidak ada makhluk yang mampu menggambarkan hakikat wujudnya. Misalnya sebagian orang berusaha menggambarkan bentuk tangan Allah,bentuk wajah Allah, dan lain-lain.

Adapun penyimpangan lain dalam tauhid asma wa sifat Allah adalah tasybih dan tafwidh.

Tasybih adalah menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya. Padahal Allah berfirman yang artinya:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Tidak ada sesuatupun yang menyerupai Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar Lagi Maha Melihat” (QS. Asy Syura: 11)

Kemudian tafwidh, yaitu tidak menolak nama atau sifat Allah namun enggan menetapkan maknanya. Misalnya sebagian orang yang berkata ‘Allah Ta’ala memang ber-istiwa di atas ‘Arsy namun kita tidak tahu maknanya. Makna istiwa kita serahkan kepada Allah’. Pemahaman ini tidak benar karena Allah Ta’ala telah mengabarkan sifat-sifatNya dalam Qur’an dan Sunnah agar hamba-hambaNya mengetahui. Dan Allah telah mengabarkannya dengan bahasa Arab yang jelas dipahami. Maka jika kita berpemahaman tafwidh maka sama dengan menganggap perbuatan Allah mengabarkan sifat-sifatNya dalam Al Qur’an adalah sia-sia karena tidak dapat dipahami oleh hamba-Nya.


C. Dalil Al-Qur'an tentang Tauhid
Allâh Azza wa Jalla telah menyebutkan macam-macam tauhid di dalam banyak ayat di dalam kitab-Nya. Di antaranya adalah firman Allâh Azza wa Jalla di permulaan surat al-Fâtihah: الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ Segala puji bagi Allâh, Rabb semesta alam. [Al-Fâtihah/1: 2] Lafazh Allah menetapkan adanya tauhid uluhiyah. Lafazh ‘Rabb semesta alam’ menetapkan adanya tauhid rububiyah. Juga firman Allâh Azza wa Jalla dalam surat ini: الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. [Al-Fâtihah/1: 3] Menetapkan adanya tauhid asma’ dan sifat. Juga firman Allâh Azza wa Jalla dalam surat yang sama: مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ Yang menguasai di Hari Pembalasan. [Al-Fâtihah/1:4] Menetapkan adanya tauhid rububiyah. Dan firman Allâh: إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan. [Al-Fâtihah/1: 5] menetapkan adanya tauhid uluhiyah.


Referensi:
https://muslim.or.id/6615-makna-tauhid.html

https://almanhaj.or.id/5613-tauhid-adalah-aqidah-bawaan-manusia.html

Monday, November 2, 2020

Perbedaan Iman, Kufur, Syirik, dan Nifak

Bismillahirrahmanirrahim.

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

HALO, MANTEMAN!

Berjumpa lagi dengan Ajeng di blog^^
Yuk, kita lanjut bersama-sama ke pembahasan tentang iman, kufur, syirik, dan nifak beserta macam-macamnya!


1. Iman

Kata 'iman' secara bahasa berasal dari bahasa Arab yang berarti percaya. Sedangkan menurut istilah, iman adalah membenarkan dengan hati, mengucapkannya dengan lisan, dan mengamalkannya dengan perbuatan. Dengan demikian, pengertian iman kepada Allah adalah membenarkan dengan hati bahwa Allah benar-benar ada dengan segala sifat dan keagungan-Nya.

Seseorang yang memenuhi ketiga unsur di atas, maka seseorang tersebut dapat dikatakan mukmin yang sempurna. Apabila seseorang mengakui di dalam hatinya keberadaan Allah, tetapi tidak diikrarkan dengan lisan da dibuktikan dengan amal perbuatan, maka orang tersebut tidak dapat dikatakan sebagai mukmin yang sempurna. Mengapa? Sebab ketiga unsur keimanan tersebut merupakan suatu kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan.

2. Kufur

Kufur secara bahasa berarti menutupi. Sedangkan menurut syara’, kufur adalah tidak beriman kepada Allah dan Rasulnya, baik dengan mendustakannya atau tidak mendustakannya.

Kufur terbagi menjadi dua jenis, yakni kufur besar dan kufur kecil.

a. Kufur besar bisa mengeluarkan seseorang dari agama Islam. Kufur besar ada lima macam:

 1. Kufur karena mendustakan. Dalilnya adalah firman Allah.

 وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَىٰ عَلَى اللَّهِ كَذِبًا أَوْ كَذَّبَ بِالْحَقِّ لَمَّا جَاءَهُ ۚ أَلَيْسَ فِي جَهَنَّمَ مَثْوًى لِلْكَافِرِينَ 

“Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang-orang yang mengada-adakan dusta terhadap Allah atau mendustakan kebenaran tatkala yang hak itu datang kepadanya ? Bukankah dalam Neraka Jahannam itu ada tempat bagi orang-orang yang kafir ?” [Al-Ankabut/29 : 68]

2. Kufur karena enggan dan sombong, padahal membenarkan. Dalilnya firman Allah.

 وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ أَبَىٰ وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ 

“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para Malaikat, ‘Tunduklah kamu kepada Adam’. Lalu mereka tunduk kecuali iblis, ia enggan dan congkak dan adalah ia termasuk orang-orang kafir” [Al-Baqarah/2 : 34]

3. Kufur karena ragu. Dalilnya adalah firman Allah.

 وَدَخَلَ جَنَّتَهُ وَهُوَ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ قَالَ مَا أَظُنُّ أَنْ تَبِيدَ هَٰذِهِ أَبَدًا﴿٣٥﴾وَمَا أَظُنُّ السَّاعَةَ قَائِمَةً وَلَئِنْ رُدِدْتُ إِلَىٰ رَبِّي لَأَجِدَنَّ خَيْرًا مِنْهَا مُنْقَلَبًا﴿٣٦﴾قَالَ لَهُ صَاحِبُهُ وَهُوَ يُحَاوِرُهُ أَكَفَرْتَ بِالَّذِي خَلَقَكَ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ مِنْ نُطْفَةٍ ثُمَّ سَوَّاكَ رَجُلًا ﴿٣٧﴾ لَٰكِنَّا هُوَ اللَّهُ رَبِّي وَلَا أُشْرِكُ بِرَبِّي أَحَدًا 

Dan ia memasuki kebunnya, sedang ia aniaya terhadap dirinya sendiri ; ia berkata, “Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya, dan aku tidak mengira Hari Kiamat itu akan datang, dan jika sekiranya aku dikembalikan kepada Rabbku, niscaya akan kudapati tempat kembali yang baik” Temannya (yang mukmin) berkata kepadanya, ‘Apakah engkau kafir kepada (Rabb) yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes air mani, kemudian Dia menjadikan kamu seorang laki-laki ? Tapi aku (percaya bahwa) Dialah Allah Rabbku dan aku tidak menyekutukanNya dengan sesuatu pun” [Al-Kahfi/18 : 35-38]

4. Kufur karena berpaling. Dalilnya adalah firman Allah.

 وَالَّذِينَ كَفَرُوا عَمَّا أُنْذِرُوا مُعْرِضُونَ 

“Dan orang-orang itu berpaling dari peringatan yang disampaikan kepada mereka” [Al-Ahqaf/46 : 3]

5. Kufur karena nifaq. Dalilnya adalah firman Allah.

Yang demikian itu adalah karena mereka beriman (secara) lahirnya lalu kafir (secara batinnya), kemudian hati mereka dikunci mati, karena itu mereka tidak dapat mengerti” [Al-Munafiqun : 3]

b. Kufur kecil yaitu kufur yang tidak menjadikan pelakunya keluar dari agama Islam, dan ia adalah kufur amali. Kufur amali ialah dosa-dosa yang disebutkan di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai dosa-dosa kufur, tetapi tidak mencapai derajat kufur besar. Seperti kufur nikmat, sebagaimana yang disebutkan dalam firmanNya.

Mereka mengetahui nikmat Allah, kemudian mereka mengingkari dan kebanyakan mereka adalah orang-orang kafir” [An-Nahl : 83]

Termasuk juga membunuh orang muslim, sebagaimana yang disebutkan dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Mencaci orang muslim adalah suatu kefasikan dan membunuhnya adalah suatu kekufuran” [Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim]

3. Syirik
Syirik yaitu memalingkan bentuk peribadatan kepada selain Allah atau menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya seakan-akan ada maha kuasa selain Allah ta'ala. Macam-macam syirik yang sering dilakukan manusia banyak macamnya. Namun, secara garis besar syirik terbagi menjadi dua macam:
1) Syirik Akbar
Syirik akbar yaitu syirik besar. Jenis syirik ini adalah penyebab seseorang yang melakukannya keluar dari agama Islam, seluruh amalannya terhapus dan akan masuk neraka selama-lamanya. Yang termasuk syirik akbar adalah:
a. Syirik Doa
Syirik doa yaitu berdoa yang ditujukan kepada selain Allah. Jika dengan doa itu ia meminta manfaat atau meminta agar dihindarkan dari bahaya, maka doa tersebut disebut doa masalah (doa permohonan). Jika dengan doa tersebut menunjukkan kepasrahan dan ketundukan, maka doa tersebut disebut doa ibadah. Baik doa ibadah maupun doa masalah, keduanya adalah suatu kegiatan yang hanya boleh diperuntukkan kepada Allah jalla jalaluhu.
b. Syirik Niat
Syirik niat adalah manakala seseorang melakukan ibadah semata-mata ingin dilihat manusia atau tujuannya untuk kepentingan dunia semata.
c. Syirik Ketaatan
Yaitu mentaati selain Allah dalam hal maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
d. Syirik dalam Cinta
Syirik dalam cinta adalah apabila cinta seorang hamba kepada makhluk sama besarnya dengan cintanya kepada Allah. Padahal cinta menimbulkan ketundukan dan kepasrahan.
e. Syirik dalam Rasa Takut
Yaitu rasa takut kepada selain Allah, baik berupa berhala, setan, tagut, orang yang telah mati atau sesuatu apapun dengan keyakinan mereka bisa mendatangkan madharat kepada dirinya maupun orang lain.

2) Syirik Ashghar
Syirik ashghar yaitu syirik kecil. Syirik kecil tidak menjadikan pelakunya keluar dari agama Islam, tetapi ia mengurangi tauhid dan merupakan wasilah (jalan, perantara) kepada syirik besar. Syirik kecil ada dua macam:
a. Syirik zhahir (nyata), yaitu syirik kecil dalam bentuk ucapan dan perbuatan. Dalam bentuk ucapan misalnya, bersumpah dengan selain Nama Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللهِ فَقَدْ كَفَرَ أَوْ أَشْرَكَ

Barangsiapa bersumpah dengan selain Nama Allah, maka ia telah berbuat kufur atau syirik.” HR. At-Tirmidzi (no. 1535) dan al-Hakim (I/18, IV/297), Ahmad (II/34, 69, 86) dari ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma.
Syirik dan kufur yang dimaksud di sini adalah syirik dan kufur kecil.

Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا حَلَفَ أَحَدُكُمْ فَلاَ يَقُلْ: مَا شَاءَ اللهُ وَشِئْتَ، وَلَكِنْ لِيَقُلْ: مَا شَاءَ اللهُ ثُمَّ شِئْتَ

Apabila seseorang dari kalian bersumpah, janganlah ia mengucapkan: ‘Atas kehendak Allah dan kehendakmu.’ Akan tetapi hendaklah ia mengucapkan: مَا شَاءَ اللهُ ثُمَّ شِئْتَ. ‘Atas kehendak Allah kemudian kehendakmu.’” HR. Ibnu Majah (no. 2117)

Kata ثُـمَّ (kemudian) menunjukkan tertib berurutan, yang berarti menjadikan kehendak hamba mengikuti kehendak Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ

Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam.” [At-Takwir: 29]

Adapun contoh syirik dalam perbuatan, seperti memakai gelang, benang, dan sejenisnya sebagai pengusir atau penangkal marabahaya. Seperti menggantungkan jimat (tamimah) karena takut dari ‘ain (mata jahat) atau lainnya. Jika seseorang meyakini bahwa kalung, benang atau jimat itu sebagai penyerta untuk menolak marabahaya dan menghilangkannya, maka perbuatan ini adalah syirik ashghar, karena Allah tidak menjadikan sebab-sebab (hilangnya marabahaya) dengan hal-hal tersebut. Adapun jika ia berkeyakinan bahwa dengan memakai gelang, kalung atau yang lainnya dapat menolak atau mengusir marabahaya, maka per-buatan ini adalah syirik akbar (syirik besar), karena ia menggantungkan diri kepada selain Allah.

b. Syirik Khafi
Yaitu syirik dalam hal keinginan dan niat, seperti riya’ (ingin dipuji orang) dan sum’ah (ingin didengar orang), dan lainnya. Seperti melakukan suatu amal tertentu untuk mendekatkan diri kepada Allah, tetapi ia ingin mendapatkan pujian manusia, misalnya dengan memperindah shalatnya (karena dilihat orang) atau bershadaqah agar dipuji dan memperindah suaranya dalam membaca (Al-Qur-an) agar didengar orang lain, sehingga mereka menyanjung atau memujinya. Suatu amal apabila tercampur dengan riya’, maka amal tersebut tertolak, karena itu Allah memperintahkan kita untuk berlaku ikhlas.

Allah Ta’ala berfirman:

قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

Katakanlah: ‘Sesungguhnya aku ini hanyalah manusia sepertimu, yang diwahyukan kepadaku: ‘Bahwa sesungguhnya Ilah kamu itu adalah Allah Yang Esa.’’ Barangsiapa mengharapkan perjumpaan dengan Rabb-nya, maka hendaklah ia mengerjakan amal shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Rabb-nya.” [Al-Kahfi: 110]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ اْلأَصْغَرُ، فَقَالُوْا: وَمَا الشِّرْكُ اْلأَصْغَرُ، يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قاَلَ: اَلرِّيَاءُ

Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas kalian adalah syirik kecil.” Mereka (para Sahabat) bertanya: “Apakah syirik kecil itu, wahai Rasulullah?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Yaitu riya’.” HR. Ahmad

4. Nifak
Nifak (اَلنِّفَاقُ) berasal dari kata نَافَقَ-يُنَافِقُ-نِفَاقاً ومُنَافَقَةً yang diambil dari kata النَّافِقَاءُ (naafiqaa’). Nifaq secara bahasa (etimologi) berarti salah satu lubang tempat keluarnya yarbu’ (hewan sejenis tikus) dari sarangnya, di mana jika ia dicari dari lobang yang satu, maka ia akan keluar dari lobang yang lain. Dikatakan pula, ia berasal dari kata النَّفَقُ (nafaq) yaitu lobang tempat bersembunyi. [an-Nihaayah fii Ghariibil Hadiits (V/98) oleh Ibnul Atsiir]
Nifak menurut syara’ (terminologi) berarti menampakkan keislaman dan kebaikan tetapi menyembunyikan kekufuran dan kejahatan. Dinamakan demikian karena dia masuk pada syari’at dari satu pintu dan keluar dari pintu yang lain. Karena itu Allah memperingatkan dengan firman-Nya: إِنَّ الْمُنَافِقِينَ هُمُ الْفَاسِقُونَ “Sesungguhnya orang-orang munafiq itu mereka adalah orang-orang yang fasiq.” [At-Taubah: 67] Yaitu mereka adalah orang-orang yang keluar dari syari’at. Menurut al-Hafizh Ibnu Katsir mereka adalah orang-orang yang keluar dari jalan kebenaran masuk ke jalan kesesatan. Nifak terbagi menjadi dua macam:
1. Nifak I'tiqadi
Yaitu nifak besar, dimana pelakunya menampakkan keimanan lewat lisan dan perbuatannya, tetapi hatinya menyembunyikan kekafiran. Jenis nifaq ini menjadikan pelakunya keluar dari agama dan dia berada di dalam kerak Neraka. Allah menyifati para pelaku nifaq ini dengan berbagai kejahatan, seperti kekufuran, ketiadaan iman, mengolok-olok dan mencaci agama dan pemeluknya serta kecenderungan kepada musuh-musuh untuk bergabung dengan mereka dalam memusuhi Islam. Pelaku nifak akbar disebut munafik. Nifaq jenis ini ada empat macam, yaitu:
Pertama : Mendustakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau mendustakan sebagian dari apa yang beliau bawa.
Kedua : Membenci Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau membenci sebagian apa yang beliau bawa.
Ketiga : Merasa gembira dengan kemunduran agama Islam.
Keempat : Tidak senang dengan kemenangan Islam.

2. Nifak 'Amali
Yaitu melakukan sesuatu yang merupakan perbuatan orang munafik, tetapi masih ada iman di dalam hatinya. Nifaq jenis ini tidak mengeluarkannya dari agama, tetapi merupakan wasilah (perantara) kepada yang demikian. Pelakunya berada dalam iman dan nifaq. Lalu jika perbuatan nifaqnya banyak, maka akan bisa menjadi sebab terjerumusnya dia ke dalam nifaq sesungguhnya, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ كَانَ مُنَافِقاً خَالِصًا، وَمَنْ كَانَتْ فِيْهِ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيْهِ خَصْلَةٌ مِنَ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا، إِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ، وَإِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ، وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ

“Ada empat hal yang jika terdapat pada diri seseorang, maka ia menjadi seorang munafiq sejati, dan jika terdapat padanya salah satu dari sifat tersebut, maka ia memiliki satu karakter kemunafikan hingga ia meninggalkannya: 1) jika dipercaya ia berkhianat, 2) jika berbicara ia berdusta, 3) jika berjanji ia memungkiri, dan 4) jika bertengkar ia melewati batas.” HR. Al-Bukhari (no. 34, 2459, 3178)

Terkadang pada diri seorang hamba terkumpul kebiasaan-kebiasaan baik dan kebiasaan-kebiasaan buruk, perbuatan iman dan perbuatan kufur dan nifaq. Karena itu, ia mendapatkan pahala dan siksa sesuai konsekuensi dari apa yang ia lakukan, seperti malas dalam melakukan shalat berjama’ah di masjid. Ini adalah di antara sifat orang-orang munafik. Sifat nifaq adalah sesuatu yang buruk dan sangat berbahaya, sehingga para Sahabat Radhiyallahu anhum begitu sangat takutnya kalau-kalau dirinya terjerumus ke dalam nifaq. Ibnu Abi Mulaikah rahimahullah berkata: “Aku bertemu dengan 30 Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka semua takut kalau-kalau ada nifaq dalam dirinya.” [Fat-hul Baari (I/109-110)]

Referensi:
https://almanhaj.or.id/1795-kufur-difinisi-dan-jenisnya.html
https://almanhaj.or.id/3262-syirik-dan-macam-macamnya.html
https://almanhaj.or.id/3164-nifaq-definisi-dan-jenisnya.html

Pemikiran Kalam Indonesia (H.M. Rasyidi dan H.M Nasution)

 1. Profil H.M. Rasjidi Prof. Dr. H. M. Rasjidi dilahirkan di Kotagede, Yogyakarta, hari Kamis Pahing tanggal 20 Mei 1915, saat kalender Hij...