Monday, December 14, 2020

Pemikiran Kalam Modern Muhammad Abduh dan Muhammad Iqbal

 1. Biografi Muhammad Abduh

Muhammad Abduh adalah seorang pemikir, teolog, dan pembaru dalam Islam di Mesir yang hidup pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Kapan dan dimana Muhammad Abduh lahir tidak diketahui secara pasti, karena ibu dan bapaknya adalah orang desa biasa yang tidak mementingkan tanggal dan tempat lahir anak-anaknya. Tahun 1849 M / 1265 H adalah tahun yang umum dipakai sebagai tanggal lahirnya. Ia lahir di suatu desa di Mesir Hilir, diperkirakan di Mahallat Nasr. Bapak Muhammad Abduh bernama Abduh Hasan Khairullah, berasal dari Turki yang telah lama tinggal di Mesir. Ibunya berasal dari bangsa Arab yang silsilahnya meningkat sampai ke suku bangsa Umar Ibn Al-Khattab.

Muhammad Abduh disuruh belajar menulis dan membaca. Setelah mahir, ia diserahkan kepada satu guru untuk dilatih menghafal Alquran. Hanya dalam masa dua tahun, ia dapat menghafal Alquran secara keseluruhan. Kemudian, ia dikirim ke Tanta untuk belajar agama di Masjid Syekh Ahmad di tahun 1862. Setelah dua tahun belajar, ia merasa tidak mengerti apa-apa karena di sana menggunakan metode menghafal. Ia akhirnya lari meninggalkan pelajaran dan pulang ke kampungnya dan berniat bekerja sebagai petani. Tahun 1865 (usia 16 tahun) ia pun menikah. Baru empat puluh hari menikah, ia dipaksa untuk kembali belajar ke Tanta. Ia pun pergi, tapi bukan ke Tanta. Dia bersembunyi di rumah salah seorang pamannya, Syekh Darwisy Khadr. Syekh Darwisy tahu keengganan Abduh untuk belajar, maka ia selalu membujuk pemuda itu supaya membaca buku bersama-sama. Setelah itu, Abduh pun berubah sikapnya sehingga kemudian ia pergi ke Tanta untuk meneruskan pelajarannya.

Selepas dari Tanta, ia melanjutkan studi di Al-Azhar dari tahun 1869-1877 dan ia mendapat predikat “alim”. Di sanalah ia bertemu dengan Jamaluddin Al-Afghani yang kemudian menjadi muridnya yang paling setia. Dari Al-Afghani yang kemudian belajar logika, filsafat, teologi dan tasawuf.

Pada tahun 1866, Muhammad Abduh pergi ke Al-Azhar, tetapi keadaan di Al-Azhar ketika Muhammad Abduh menjadi mahasiswa di sana, masih dalam kondisi terbelakang dan jumud. Bahkan menurut Ahmad Amin, Al-Azhar menganggap segala yang berlawanan dengan kebiasaan sebagai kekafiran. Membaca buku-buku geografi, ilmu alam atau falsafah adalah haram. Memakai sepatu adalah bid’ah.

Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila Muhammad Abduh mempelajari ilmu filsafat, ilmu ukur, soal-soal dunia dan politik dari seorang intelaktual bernama Hasan Tawil. Namun, pelajaran yang diberikan Hasan Tawil pun kurang memuaskan dirinya. Pelajaran yang diterimanya di Al-Azhar juga kurang menarik perhatiannya. Ia lebih suka membaca buku-buku di perpustakaan Al Azhar. Kepuasaan Muhammad Abduh mempelajari matematika, etika, politik, filsafat, ia peroleh dari Jamaluddin Al Afgani. Pada tahun 1877 M saat usianya 28 tahun, ia berhasil lulus dengan gelar alim. Suatu prestasi yang memberikan hak untuk mengajar di Universitas tersebut. Muhammad Abduh aktif mengajar di Al-Azhar mengampu bidang ilmu kalam dan logika. Di samping itu, di rumahnya ia mengajar kitab Tahdzib Al-Aklaq karangan Ibnu Miskawih, mengajarkan sejarah-sejarah keraj aan Eropa karangan Guizot dan Muqaddimah Ibnu Khaldun. Selain menjadi itu, ia juga mengajar di Universitas Darul Ulum serta mengajar ilmu-ilmu bahasa Arab di Madrasah Al-Idrah Al-Alsun (sekolah administrasi dan bahasa-bahasa) pada tahun 1878 M. Pada saat mengampu jabatan tersebut, ia terus mengadakan perubahan-perubahan sesuai dengan cita-citanya, yaitu memasukkan udara baru yang segar dalam perguruan tinggi Islam, menghidupkan Islam dengan metode-metode baru sesuai dengan kemajuan zaman.

2. Biografi Muhammad Iqbal

Nama lengkap Muhammad Iqbal adalah Muhammad Iqbal bin Muhammad Nur bin Muhammad Rafiq. Iqbal lahir di kota bernama Sialkot, sebuah kota peninggalan Dinasti Mughal India pada 22 Februari 1873. Iqbal dilahirkan dari keluarga yang berasal dari kasta Brahma Kasymir. Selain oleh keluarganya, kepribadian, pengetahuan, dan keterampilan keagamaan Iqbal kecil ditempa dengan bimbingan Maulana Mir Hasan, seorang guru dan sastrawan sastra Persia dan bahasa Arab, dan merampungkan studinya tahun 1895.

Di tahun itu pula Iqbal pergi ke Lahore, salah satu kota di India yang menjadi pusat kebudayaan, pengetahuan, dan seni. Di kota ini, ia bergabung dengan perhimpunan sastrawan yang sering diundang musyara’ah, yakni pertemuan-pertemuan di mana para penyair membacakan sajak-sajaknya. Ini merupakan tradisi yang masih berkembang di Pakistan dan India hingga kini. Iqbal memperoleh gelar Bachelor of Arts (sarjana muda) pada tahun 1897 dari Government College. Sambil menyelesaikan pendidikan sarjananya, Iqbal mengajar filsafat di Oriental College hingga kemudian langsung mengambil program Master of Arts dalam bidang filsafat, di mana saat itulah ia bertemu dengan Sir Thomas Arnold, seorang orientalis Inggris terkenal dan menjadi dosen filsafat Islam di Government College. Gelar MA dari Government College ini diperoleh pada tahun 1899. Perkenalan dan pergaulan Iqbal muda dengan Arnold menjadi titik penting bagi perjalanan intelektualnya di masa-masa selanjutnya. Bahkan Sir Thomas Arnold, menurut Abdul Wahhab Azzam, tidak hanya berjasa bagi Iqbal semata, tetapi juga bagi umat Islam secara keseluruhan. 

Pada tahun 1905, di usia 32 tahun, Iqbal belajar di Cambridge pada R.A. Nicholson, seorang orientalis yang piawai di bidang filsafat dan sufisme, dan seorang Neo-Hegelian, yaitu Jhon M.E.Mc.Taggart dan James Ward di Heidilberg, di mana ia mendapatkan gelar di bidang filsafat moral. Setelah menerima gelar tersebut, Iqbal langsung ke Jerman untuk mempelajari bahasa Jerman dan memasuki Universitas Munich, hingga menggondol gelar doktor bidang filsafat pada 4 November 1907 dengan disertasi, The Development of Metaphysics in Persia di bawah bimbingan F. Hommel.

Karir politiknya mencapai puncak prestasinya ketika pada 1926-1930 dipercaya  menjadi presiden Dewan Legislatif di Punjab, selain menduduki Presiden Liga Muslim di Allahabat. Iqbal pernah dua kali, 1931 dan 1932, mewakili kaum minoritas Muslim di Konferensi Meja Bundar I dan Konferensi Meja Bundar II. Sayangnya, Iqbal menderita sakit kencing batu dan mulai kehilangan suaranya pada tahun 1935. Pada tahun ini pula,  isterinya meninggal dunia dan semakin menimbulkan kesedihan baginya. Pada 19 April 1938, sakitnya mencapai puncaknya dan kritis sehingga para dokter berusaha semampu mereka dalam meringankan sakitnya, sementara Iqbal sendiri telah merasa bahwa ajalnya telah dekat dan tanpa rasa takut ia selalu menekankan bahwa dalam menghadapi kematian, hendaknya seorang muslim menerimanya dengan rasa gembira. Sehari sebelum meninggal dunia, ia berkata pada sahabatnya dari Jerman: ”Aku seorang muslim yang tidak takut pada kematian. Apabila ajal itu datang, ia akan kusambut dengan tersenyum”. 

Sepuluh menit sebelum meninggal dunia, di depan Raja Hasan, Iqbal membacakan sajaknya sendiri:

“Melodi perpisahan kan bergema kembali atau tidak

Angin Hijaz kan berhembus kembali atau tidak 

Saat-saat hidupku kan berakhir

Pujangga lain kan kembali atau tidak

Kukatakan padamu ciri seorang Mu’min

Bila maut datang, akan merekah senyum di bibir” 

Begitulah keadaan Iqbal pada waktu menyambut kematiannya dengan situasi kejiwaan yang menakjubkan. Ia meletakkan tangannya pada jantungnya, dan berkata: ”kini, sakit telah sampai di sini”. Ia merintih sebentar dan kemudian dengan tersenyum ia kembali pada Khaliknya, tanpa merasakan dampak sakaratul maut. Iqbal meninggal dunia tepat pada 20 April 1938 atau di usia 65 tahun. 


3. Karya-Karya Muhammad Abduh

Pembaharuan dalam sejarah Islam tidak bisa dipisahkan dari sosok ‘Abduh, beliau tidak hanya dikenal di Mesir atau Timur Tengah, tetapi juga di negara-negara Islam. Hal ini tidak bisa pisahkan dari penyebaran beberapa pemikiran dalam bentuk buku. Adapun karya-karya Muhammad ‘Abduh antara lain:

1. Al-Hikmah asy-Syar‟iyah fi Muhakamat Al-Dadiriyah wa AlRifa‟iyah. Buku ini adalah karya pertamanya diwaktu ia masih belajar, isinya adalah bantahan kepada Abdul Hadyi Ash-Shayyad yang mengecilkan tokoh sufi besar Abdulkadir Al-Jailani, juga menjelaskan kekeliruan–kekeliruan yang dilakukan oleh para penganut tasawuf, tentang busana Muslim, sikap meniru non-Muslim, Imam Mahdi, masalah dakwah dan kekeramatan.

2. Al-Azhar dan Al-Manar. Isinya, antara lain, sejarah Al-Azhar, perkembangan dan misinya, serta bantahan terhadap sementara ulama Azhar yang menentang pendapat-pendapatnya.

3. Tarikh Al-Ustadz Al-Imam, berisi riwayat Muhammad Abduh dan perkembangan masyarakat Mesir pada masanya.

4. Al-Wâridah, sebuah karya dalam ilmu kalam atau ilmu tauhid dengan metode dan pendekatan tasauf. Inilah karya pertama Muhammad ‘Abduh.

5. Risâlah fî Wahdat al-Wujûd. Karya ini memang tidak terbit tetapi ini karya Muhammad ‘Abduh yang kedua sebagaimana yang diinformasikannya kepada Rasyid Ridha.

6. Falsafatu Al-Ijtimâ’Wa al-Târikh. Buku ini adalah karya Muhammad ‘Abduh yang ia karang ketika ia mengajar Mukaddimah Ibn Khaldun di Madrasah Al-Ulum. Buku ini hilang ketika ketika ia diusir bersama gurunya Sayid Jamaluddin oleh pemerintah.

7. Hâsyiyat ‘Aqâidi Al-Jalâli Al-Dawani Li Al-Aqâidi Al-Adudiyah. Sebuah karya Muhammad ‘Abduh ini mengandung komentar-komentar dia terhadap pemikiran teologi Asy’ariyah.

8. Syarh Nahji Al-Balâghah. Berisi komentar menyangkut kumpulan pidato dan ucapan Imam Ali ibn Abi Thalib.

9. Syarah Maqâlati badi’i Al-Zamân AlHamzani. Sebuah karya yang berkaitan dengan bahasa dan sastra Arab. Buku ini terbit di Beirut.

10. Syarh Al-Bashâiri Al-Nâshiriah. Ini adalah buku Mantiq dengan pendekatan logika yang tinggi.

11. Nizhâmu Al-Tarbiyah Bi Mashr. Buku ini berisikan tentang pendidikan dengan metode praktis yang dilaksanakan di Mesir.

12. Risâlah al-Tauhîd, suatu karya di bidang ilmu kalam. Risalah ini mampu menyihir akidah kebanyakan manusia Mesir yang semula salafi menuju perkembangannya yang khalafi.

13. Taqrîru Al-Mahâkim Al-Syar’iyah. 

14. Al-Islâm wa Al-Nashrâniyati ma’a Al-‘ilmi wa Al-Madâniyah. Sebuah karya yang berusaha menampilkan Islam sebagai agama yang mampu menaiki tangga peradaban modern dan maju. Buku ini kumpulan makalah-makalah dari majalah Al-Manar yang diedit dan diterbikan oleh Rasyid Ridha. 

15. Tafsîr Surât Al-‘Ashr. Tafsir ini disampaikan dalam beberapa kuliahnya.  

16. Tafsîr Juz ‘Amma, yang dikarangnya sebagai pegangan para guru ngaji di Maroko pada tahun 1321 H.

17. Majalah Al-Manar, yang terbit sejak 1315 H/1898 M sampai dengan 1354 H/1935 M. 11. Tafsir Al-Manar.

18. Nida‟li Al-Jins Al-Lathif, berisi uraian tentang hak dan kewajibankewajiban wanita.

19. Zikra Al-Maulid An-Nabawi.

20. Risalatu Hujjah Al-Islam Al-Ghazali. 

21. Al-Sunnah wa Al-Syi‟ah.

22. Al-Wahdah Al-Islamiyah.

23. Haqiqah Al-Riba.


4. Karya-Karya Muhammad Iqbal

Iqbal dapat digolongkan sebagai seorang pemikir dan penyair muslim terbesar pada abad XX yang kreatif dan penuh kedinamisan. Hal ini terbukti dengan adanya beberapa karya-karya yang diwariskan kaum muslimin dan umat manusia. Sebagian besar karya-karyanya muncul dalam bentuk prosa. Kecendrungan Iqbal dalam mengekspresikan ide-ide, pikiran, dan perasaannya, melalui puisi sesungguhnya dilatarbelakangi oleh jiwa dan bakat kepenyairannya yang tumbuh sejak dini dan berkembang melalui bimbingan orang yang mengerti akan bakat dan potesi yang dimiliki Iqbal, yaitu: gurunya Mr. Hasan yang telah mendorong dan memberikan semangat dalam mengekspresikan ide-ide dan getaran sukmanya.

Pada 1935, ia diundang untuk memberi serangkaian kuliah di Universitas Oxford, namun dia terpaksa tak bisa memenuhi undangan tersebut karena jatuh sakit. Karya-karya Iqbal ditulis dalam berbagai bentuk, di antaranya: karya filsafat, karya sastra, agama dan ceramah-ceramah yang dibubukan di antaranya:

1. Ilm al-Iqtishad, buku pertama yang memuat tentang risalah ekonomi sebagai anjuran Thomas Arnold tahun 1905.

2. The development of metaphysics in persia; a contribution to the History of Muslim philosophy. Tesis Iqbal ketika meraih gelar doktor di Munich, Jerman.

3. Stray Reflections, merupakan kompilasi penting Iqbal sepulangnya dari Eropa. Buku ini baru diterbitkan setelah Iqbal meninggal dunia.

4. Asrar-i-khudi. Inilah buku pertama Iqbal yang memuat tentang filsafat agama yang pertama dalam bentuk puisi. Buku ini menekankan khudi (diri atau makhluk individu), atau dikenal juga dengan istilah ego untuk menunjukkan pusat kesadaran dan kehidupan kognitif. Dalam buku ini pun Iqbal menceritakan Jalaludin Rumi sebagai guru spritualnya.

5. Rumuz-I Bekhud, karya dalam bahasa Persia terbit di Lahore pada tahun 1918, versi Inggrisnya antara lain terjemahan A.J.Arberry yang berjudul The Mistery of selflessness yang terbit di london tahun 1953, dan terjemahan A.R Tariq dengan judul The Secrets of Collective Self yang terbit di Lahore tahun 1970.

6. Payam-i-Masyriq, yakni berisi pesan dari Timur. Buku ini berusaha menyuntikkan kebenaran moral, agama, dan bangsa, yang dibutuhkan oleh pendidikan rohani, individu, dan bangsa.

7. Bang-i-Dara (lonceng kafilah). Tulisan ini berisi puisi-puisinya selama lebih dari dua puluh tahun. Diantaranya puisi sebelum keberangkatan ke Eropa, puisi selama di Eropa, dan setelah kembalinya dari Eropa.

8. Zabur-i-Azam (Mazmur persia) yang berisi suntikan untuk semangat dunia baru kepada kaum muda dan masyarakat Timur. Dalam karya ini, dengan keras tapi tertib, Iqbal menggambarkan situasi batinnya dan sekaligus memaksa pembaca atau pedengarnya memperbaiki diri dan meningkatkan harapan serta aspirasinya untuk mencintai kemaujudan, kemakmuran dan penemuan diri. Karya ini sering dibandingkan dengan karya sastra Persia seperti Atta, Hafiz, Sa’di atau Jami’ karena kemampuannya mencapai tujuan-tujuan tinggi.

9. The Reconstruction of Religion Thought in islam. Yakni kumpulan serangkaian kuliah dan ceramah di berbagai tempat. Iqbal mengemukakan tentang tanggung jawabnya dalam dasar-dasar intelektual filsafat Islam melalui cara yang sesuai dengan iklim intelektual dan spiritual abad modern.

10. Javid-Nama, yakni magnum opus Iqbal yang berisi puisi matsnawi yang religius-filosofis. Puisi ini melibatkan perjalanan spritual Iqbal selayaknya orang sufi dengan berbagai kandungan hikmah yang dalam untuk generasi muda.

11. Musafir (sang pengembara) sebagai tulisan perjalannya menuju Afganistan dan mengujungi tempat-tempat yang bersejarah.

12. Bal-i-Jibril (sayap jibril) yaitu terinspirasi dari perjalanan ke luar negeri antara tahun 1931-1933, yaitu ke Inggris, Mesir, Italia, Palestina, Perancis, Spanyol,dan Afganistan.

13. Pas chi Bayad Kard (apa yang harus dilakukan wahai masyarakat timur). Diterbitkan pada 1935 atau dua tahun menjelang wafatnya, yang berisi penjabaran yang paling rinci mengenai filsafat praktisnya yang berhubungan dengan masalah-masalah sosio-politik dan masalah-masalah dunia timur yang berasal dari pengaruh peradaban Barat.

14. Zarb-i-kalam (pukulan tongkat musa) yakni karya mengenai zaman modern dan permasalahannya, peradaban modern adalah tak bertuhan dan materialistik, kekurangan cinta dan keadilan dan hidup dari penindasan dan eksploitasi kaum lemah. Tulisannya adalah untuk menyelamatkan kaum muslim dari peradaban modern tersebut.

15. Amarghan-I-Hijaz, karya ini terbit November 1938 setelah beberapa bulan Iqbal wafat. Karya ini sebenarnya tidak lengkap karena sengaja untuk menuliskan pengalamannya berhaji ke Mekkah, namun niat itu tak pernah kesampaian. Ia merindukan perjalanan ke Hijaz (jazirah Arab) untuk mengujungi makam Nabi di Madinah dan sakit yang berat dialaminya beberapa tahun terakhir membuat karya ini tidak sempurna.

Banyak karya-karya iqbal yang disunting oleh orang lain. Baik yang berbentuk kumpulan ceramah, artikel, pernyataan dan surat menyuratnya. Kekaguman akan kejeniusan pemikiran Iqbal membuat penelaahan dan pengkajian terhadap karya-karyanya semakin banyak.

5. Pemikiran Kalam Muhammad Abduh

Dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam, terdapat berbagai aliran pemikiran kalam. Diawali oleh pertentangan politik antara: Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah bin Abi Sofyan yang berujung pada peristiwa tahkim mencuatlah pertentangan-pertentangan teologis dikalangan umat Islam. Sebagai akibat adanya sejarah Islam, yaitu khawarij. Dalam pandangan Khawarij, penyelesaian sengketa antara Ali bin Abi Thalib dengan Mua’wiyah yang berakhir dengan tahkim tersebut bukanlah penyelesaian yang sesuai dengan tuntunan Allah dalam Alquran.

Islam adalah agama yang terdiri dari beberapa aspek yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya, yaitu Aqidah (Teologi), Syariah (Hukum Islam) ,dan Akhlak (tasawuf). Namun, dalam hal ini penulis memilih fokus pembahasan pada pemikiran dalam bidang akidah (teologi) dan hukum karena kedua ini sangat menentukan kehidupan seseorang dalam bertindak.

1. Bidang Akidah

      Menurut Muhammad Imarah dalam bukunya “ al-A’mal al-Kamilah li al-Imam Muhammad Abduh,” dikatakan bahwa ide-ide pembaruan teologis yang disebarkan oleh Syekh Muhammad Abduh didasari oleh tiga hal, kebebasan manusia dalam memilih perbuatan, kepercayaan yang kuat terhadap sunnah Allah, dan fungsi akal yang sangat dominan dalam menggunakan kebebasan.

2. Masalah Akal dan Wahyu

       Menurut pendapat Muhammad Abduh bahwa jalan yang dipakai untuk mengetahui Tuhan bukanlah wahyu semata-mata, melainkan akal. Akal dengan kekuatan yang ada dalam dirinya, berusaha memperoleh pengetahuan tentang Tuhan dan Wahyu, turun untuk memperkuat pengetahuan aka itu dan untuk menyampaikan kepada manusia apa yang tak dapat diketahui akalnya.

     Akal adalah “daya pikir yang bila digunakan dapat mengantar seseorang untuk mengerti dan memahami persoalan yang dipikirkannya.” Bukan dalam arti akal yang ditunjuk oleh firman Allah yang merekam ucapan orang-orang yang durhaka kelak.

Oleh karena itu, menurut Muhammad Abduh, akal dapat mengetahui beberapa hal sebagai berikut: Tuhan dan sifat-sifatnya, keberadaan hidup di akhirat, kebahagian jiwa di akhirat bergantung pada upaya mengenal Tuhan dan bebuat baik, sedangkan kesengsaraannya bergantung pada sikap tidak mengenal Tuhan dan melakukan perbuatan jahat, kewajiban manusia mengenal tuhan, kewajiban manusia untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat untuk kebahagian diakhirat.


3. Kebebasan manusia

Kepercayaan pada kekuatan akal, membawa Muhammad Abduh selanjutnya kepada paham yang mengatakan bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam kemauan dan perbuatan. Dalam teologi dan falsafah terdapat dua konsep mengenai hal tersebut. Pertama, pendapat mengatakan bahwa semua perbuatan  manusia telah ditentukan semenjak zaman sebelum ia lahir. Dan paham ini dalam teologi islam disebut  jabariyah. Dalam teologi barat pendapat ini disebut fatalisme atau presdestination.kedua, bahwa manusia mempunyai kebebasan sungguh pun terbatas sesuai dengan keterbatasan manusia dalam kemauan dan perbuatan. Paham ini dalam islam disebut qadariyah dan dalam teologi barat disebut free will and free act.

4. Bidang Hukum

Dalam bidang hukum, ada tiga prinsip utama pemikiran Abduh, yaitu Alquran sebagai sumber syariat, memerangi taklid, dan berpegang kuat pada akal dalam memahami ayat-ayat Alquran. Menurutnya, syariat itu ada dua macam yaitu qat’i (pasti) dan zhanni (tidak pasti). Hukum syariat pertama wajib bagi setiap muslim mengetahui dan mengamalkan tanpa interpretasi, karena dia jelas tersebut dalam Alquran dan Al-Hadist. Sedangkan hukum syariat jenis kedua datang dengan penetapan yang tidak pasti.

Jenis hukum yang tidak pasti inilah yang menurut Abduh menjadi lapangan ijtihad para mujtahid. Dengan demikian, berbeda pendapat adalah sebuah kewajaran dan merupakan tabiat manusia. Keseragaman berpikir dalam semua hal adalah sesuatu yang tidak mungkin diwujudkan.

Ada dua hal yang mendorong Muhammad Abduh untuk menyerukan ijtihad, yaitu tabiat hidup dan tuntunan (kebutuhan) manusia. Kehidupan manusia ini berjalan terus dan selalu berkembang, dan didalamnya terdapat kejadian dan peristiwa tidak dikenal oleh manusia sebelumnya. Ijtihad adalah jalan yang ideal dan praktis bisa dijalankan untuk menghubungkan peristiwa-peristiwa hidup yang selalu timbul itu dengan ajaran-ajaran islam kalau ajaran islam tersebut harus berhenti pada penyelidikan ulama terdahulu, maka kehidupan manusia dalam masyarakat islam akan menyulitkan mereka, baik dalam kehidupan beragama maupun dalam kehidupan masyarakat.


6. Pemikiran Kalam Muhammad Iqbal

Beberapa pemikiran kalam Muhammad Iqbal antara lain:

1) Kebebasan Manusia

Eksistensialisme  Muhammad Iqbal adalah eksistensialisme yang bercorak teistik karena didasari oleh doktrin teologis, khalifah. Karakteristik eksistensialisme ini amat terlihat dalam gagasan filsafat “khudi”-nya. Khudi/diri dalam pandangan Iqbal bersifat unik, bebas dan kreatif. Adapun kebebasan baginya merupakan sarana untuk mencapai eksistensi diri yang puncaknya adalah manusia sebagai niyabati ilahi (representative of God/wakil Tuhan) di bumi ini dan ini merupakan anugerah dari Tuhan. Kebebasan orang lain bagi Iqbal adalah sarana untuk mencapai kebebasan yang sejati. Kebebasan eksistensial menurutnya adalah kebebasan menyeluruh yang menyangkut seluruh kepribadian manusia. Kebebasanlah yang mengarahkan manusia untuk terus mempertahankan, memperbaharui, dan meningkatkan kualitas kediriannya.

2) Esensi Manusia

Menurut Iqbal, setiap wujud mempunyai individualitas atau diri dan ketinggian derajatnya tergantung pada tingkat perkembangan individualitasnya. Manusia mempunyai  kemampuan untuk berkembang dan mencapai tingkat kedirian yang tinggi. Pemahaman terhadap realitas harus berangkat dari pemahaman eksistensial tentang diri sendiri (D Lee, 2000:71).

Mengembangkan diri untuk mencapai tingkat kedirian yang  lebih tinggi dan sempurna berarti bergerak mendekati Tuhan. Tuhanlah satu-satunya Diri yang paling Tinggi dan Sempurna.  Dengan intuisi, diri memahami dirinya sendiri melalui  pemahaman tentang Tuhan, “Ego Mutlak,” dan dengan  memahami Tuhan, diri mengakses dunia yang diciptakan oleh Tuhan yaitu alam (Iqbal, 1951:169). Dengan ajaran khudinya, ia mengemukakan pandangan yang dinamis tentang kehidupan dunia.

3) Dosa

Muhammad Iqbal dengan tegas menyatakan dengan seluruh kuliahnya bahwa Alquran menampakan ajaran tentang kebebasan ego manusia yang bersifat kreatif. Dalam kehidupan ini, ia mengembangkan cerita tentang kejatuhan adam (karena memakan buah terlarang) sebagai kisah yang berisi ajaran tentang kebangkitan manusia yang bersifat primitif yang dikuasai hawa nafsu naluriah kepada pemilikan kepribadian bebas yang diperolehnya secara sadar, sehingga mampu mengatasi kebimbangan dan kecendrungan untuk membangkang dan timbulnya ego terbatas yang memiliki kemampuan untuk memilih. Allah telah menyerahkan tanggung jawab yang penuh resiko ini, menunjukkan kepercayaan-Nya yang besar kepada manusia. Maka kewajiban manusia adalah membenarkan adanya kepercayaan ini. Namun, pengakuan terhadap kemandirian (manusia) itu melibatkan pengakuan terhadap semua ketidaksempurnaan yang timbul dari keterbatasan kemandirian itu.

4) Surga dan Neraka

Surga dan neraka menurut Muhammad Iqbal adalah keadaan, bukan tempat. Gambaran-gambaran tentang keduanya di dalam Alquran adalah penampilan-penampilan kenyataan batin secara visual, yaitu sifatnya. Neraka, menurut rumusan Alquran adalah “ api Allah yang menyala-nyala dan yang membumbung ke atas hati”, pernyataan yang menyakitkan mengenai kegagalan manusia. Surga adalah kegembiraan karena mendapatkan kemenangan dalam mengatasi berbagai dorongan yang menuju kepada perpecahan. Tidak ada kutukan abadi dalam Islam.  Neraka, sebagaimana dijelaskan dalam Alquran, bukanlah kawah tempat penyiksaan abadi yang disediakan Tuhan. Ia adalah pengalaman kolektif yang dapat memperkeras ego sekali lagi agar lebih sensitif terhadap tiupan angin sejuk dari kemahamurahan Allah. Begitu juga dengan surga, surga bukanlah tempat berlibur. Kehidupan itu hanya satu dan berkesinambungan.

5) Wahyu dan Akal

Menurut Muhammad Iqbal, umat Islam hendaknya kembali memposisikan akal sebagaimana mestinya, sesuai dengan ketentuan yang telah dijelaskan dalam Alquran dan as-Sunnah. Pendayagunaan akal merupakan manifestasi dari keimanan, karena dengan pendayagunaan tersebut manusia akan tersingkir dari keterbelakangan, kemunduran, bahkan manusia akan menjadi maju dan menguasai alam ini. Keimanan seseorang kurang sempurna apabila akalnya tidak digunakan untuk membaca dan membedah fenomena realitas alam.


No comments:

Post a Comment

Pemikiran Kalam Indonesia (H.M. Rasyidi dan H.M Nasution)

 1. Profil H.M. Rasjidi Prof. Dr. H. M. Rasjidi dilahirkan di Kotagede, Yogyakarta, hari Kamis Pahing tanggal 20 Mei 1915, saat kalender Hij...