Friday, December 18, 2020

Pemikiran Kalam Konteporer (Ismail Faruqi dan Hasan Hanafi

 A. Ismail Al-Faruqi

1. Riwayat Singkat Ismail al Faruqi

Ismail Raji al-Faruqi lahir di Jaffa, Palestina pada tanggal 1 Januari 1921. Pendidikan dasarnya dimulai dari madrasah dan pendidikan menengahnya di Colleges des Freres, dengan bahasa pengantar Perancis. Kemudian pada tahun 1941 lulus dari American University of Beirut. Ismail lalu bekerja untuk pemerintah Inggris di Palestina. Pada tahun 1945, dia dipilih sebagai Gubernur Galilea. Tapi, setelah Israel mencaplok Palestina, ia pindah ke Amerika Serikat pada tahun 1949. Di Amerika, ia melanjutkan pendidikan Master dalam bidang filsafat di University of Indiana dan University of Harvard. Dia melanjutkan pendidikannya dengan mengambil gelar doktor filsafat di University of Indiana dan di Al-Azhar University pada tahun 1952.

Dia kemudian mengajar beberapa universitas diseluruh dunia diantaranya universitas di Kanada, Pakistan dan Amerika Serikat. Pada tahun 1968, dia menjadi guru besar Studi Islam di Temple University, Amerika Serikat. Sebagai anak Palestina, al-Faruqi mengecam keras apa yang telah dilakukan oleh Zionis Israel yang menjadi dalang pencaplokan Palestina. Namun, ia dengan tegas membedakan Zionisme dan Yahudi. Dalam buku Islam and Zionism, ia berkata bahwa Islam adalah agama yang menganggap agama Yahudi sebagai agama Tuhan, yang ditentang Islam adalah politik Zionisme. Pembunuhan atas dirinya dan istrinya diduga karena kritiknya yang keras terhadap kaum Zionis Yahudi. Kematian Ismail Raji al-Faruqi meninggal dunia karena dibunuh pada tanggal 27 Mei 1986 di rumahnya.

2. Pemikiran Kalam Ismail Al-Faruqi

Pemikiran kalam Ismail al Faruqi tertuang dalam karyanya yang berjudul Tahwid: Its Implications for Thought and Life. Dalam karyanya ini beliau ini mengungkapkan bahwa:

a. Tauhid sebagai inti pengalaman agama

Inti pengalaman agama, kata Al-Faruqi adalah Tuhan. Kalimat syahadat menempati posisi 

sentral dalam setiap kedudukan, tindakan, dan pemikiran setiap muslim. Kehadiran Tuhan 

mengisi kesadaran Muslim dalam setiap waktu. Bagi kaum Muslimin, Tuhan benar-benar

merupakan obsesi yang agung. 3Esensi pengalaman agama dalam islam tiada lain adalah 

realisasi prinsip bahwa hidup dan kehidupan ini tidaklah sia-sia.4

b. Tauhid sebagai pandangan dunia

Tauhid merupakan pandangan umum tentang realitas, kebenaran, dunia, ruang dan waktu, 

sejarah manusia, dan takdir.

c. Tauhid sebagai intisari Islam

Esensi peradaban Islam adalah Islam sendiri. Tidak ada satu perintah pun dalam Islam yang 

dapat dilepaskan dari tauhid. Tanpa tauhid, Islam tidak aka nada. Tanpa yauhid, bukan hanya 

sunnah nabi yang patut diragukan, bahkan ptanata kenabian pun menjadi hilang.5

d. Tauhid sebagai prinsip sejarah

Tauhid menempatkan manusia pada suatu etika berbuat atau bertindak, yaitu etika ketika 

keberhargaan manusia sebagai pelaku moral diukur dari tingkat keberhasilan yang dicapainya 

dalam mengisi aliran ruang dan waktu. Eskatologi Islam tidak mempunyai sejarah formatif. Is 

terlahir lengkap dalam Al-Qur’an, dan tidak mempunyai kaitan dengan situasi para 

pengikutnnya pada masa kelahirannya seperti halnya dalam agama Yahudi atau Kristen. Is 

dipandang sebagai suatu klimaks moral bagi kehidupan di atas bumi.

6

e. Tauhid sebagai prinsip pengetahuan

Berbeda denga “iman” Kristen, iman Islam adalah kebenaran yang diberikan kepada pikiran, 

bukan kepada perasaan manusia yang mudah dipercayai begitu saja. Kebenaran, atau 

proposisi iman bukanlah misteri, hal yang dipahami dan tidak dapat diketahui dan tidak 

masuk akal, melainkan bersifat kritis dan rasional. Kebenaran-kebenarannya telah 

dihadapkan pada ujian keraguan dan lulus dalan ditetapkan sebagai kebenaran.7

f. Tauhid sebagai prinsip metafisika

Dalam Islam, alam adalah ciptaan dan anugerah. Sebagai ciptaan, ia bersifat teleologis, 

sempurna, dan teratur. Sebagai anugerah, ia merupakan kebaikan yang tak mengandung dosa 

yang disediakan untuk manusia. Tujuannya agar manusia melakukan kebaikan dan mencapai 

kebahagiaan. Tiga penilaian ini, keteraturan, kebertujuan, dan kebaikan, menjadi cirri dan 

meringkas pandangan umat Islam tentang alam.8

g. Tauhid sebagai prinsip etika

Tauhid menegaskan bahwa Tuhan telah memberi amanat-Nya kepada manusia, suatu amanat 

yang tidak mampu dipikul oleh langit dan bumi. Amanat atau kepercayaan Ilahi tersebut 

berupa pemenuhan unsur etika dari kehendak Ilahi, yang sifatnya mensyaratkan bahwa ia 

harus direalisasikan dengan kemerdekaan, dan manusia adalah satu-satunya makhluk yang 

mampu melaksanakannya. Dalam Islam, etika tidak dapat dipisahkan dari agama dan bahkan 

dibangun di atasnya.9

h. Tauhid sebagai prinsip tata sosial

Dalam Islam tidak ada perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya. Masyarakat 

Islam adalah masyarakat terbuka dan setiap manusia boleh bergabung dengannya, baik sebagai anggota tetap ataupun sebagai yang dilindungi (dzimmah). Masyarakat Islam harus 

mengembangkan dirinya untuk mencakup seluruh umat manusia. Jika tidak, ia akan 

kehilangan klaim keislamannya.10

i. Tauhid sebagai prinsip ummah

Dalam menyoroti tentang tauhid sebagai prinsip ummat, al Faruqi membaginya kedalam tiga 

identitas, yakni: pertama, menenentang etnosentrisme yakni tata sosial Islam adalah universal 

mencakup seluruh ummat manusia tanpa kecuali dan tidak hanya untuk segelitir suku 

tertentu. Kedua, universalisme yakni Islam meliputi seluruh ummat manusia yang cita-cita 

tersebut diungkapkan dalam ummat dunia. Ketiga totalisme, yakni Islam relevan dengan 

setiap bidang kegiuatan hidup manusia dalam artian Islam tidak hanya menyangkut aktivitas 

mnusia dan tujuan di masa mereka saja tetapi menyangkut aktivitas manusia disetiap masa 

dan tempat.11

j. Tauhid sebagai prinsip keluarga

Al-Faruqi memandang bahwa selama tetap melestarikan identitas mereka dari gerogotan 

kumunisme dan idiologi-idiologi Barat, umat Islam akan menjadi masyarakat yang selamat 

dan tetap menempati kedudukan yang terhormat. Keluarga Islam memiliki peluang lebih 

besar tetap lestari sebab ditopang oleh hukum Islam dan dideterminisi oleh hubungan erat 

dengan tauhid.12

k. Tauhid sebagai tata politik

Al-Faruqi mengaitkan tata politik dengan pemerintahan. Kekhalifahan didefenisikan sebagai 

kesepakatan tiga dimensi, yaitu: kesepakatan wawasan (ijma’ ar-ru’yah), kehendak (ijma’ al-

iradah), dan tindakan (ijma’ al-amal). Wawasan yang dimaksud al-Faruqi adalah pengetahuan 

akan nilai-nilai yang membentuk kehendak iIahi. Kehendak yang dimaksud Al-Faruqi adalah 

pengetahuan akan nilai-nilai yang membentuk kehendak Ilahi. Adapun yang dimaksud 

dengan tindakan adalah peelaksanaan kewajiban yang timbul dari kesepakatan.13

l. Tauhid sebagai prinsip tata ekonomi

Al-Faruqi melihat implikasi Islam untuk tata ekonomi ada dua prinsip, yaitu: pertama, tak ada 

seorang atau kelompok pun yang dapat memeras yang lain. Kedua, tak satu kelompok pun 

boleh mengasingkan atau memisahkan diri dari umat manusia lainnya dengan tujuan untuk 

mebatasi kondisi ekonomi mereka pada diri mereka sendiri.

m. Tauhid sebagai prinsip estetika

Dalam hal kesenian, beliau tidak menentang kretaivitas manusia, tidak juga menentang 

kenikmatan dan keindahan. Menurutnya Islam menganggap bahwa keindahan mutlak hanya ada dalam diri Tuhan dan dalam kehendak-Nya yang diwahyukan dalam firman-firman-

Nya.

B. Hasan Hanafi 

1. Riwayat Singkat Hasan Hanafi

Hasan Hanafi dilahirkan pada 13 Februari tahun 1935, di Kairo. Pendidikannya 

diawali pada tahun 1948 dengan menamatkan pendidikan tingkat dasar, dan melanjutkan 

studinya di Madrasah Tsanawiyah Khalill Agha, Kairo yang diselesaikannya selama 

empat tahun. Hasan Hanafi adalah pengikut Ikhwanul Muslimin ketika dia aktif kuliah di 

Universitas Kairo. Hanafi tertarik juga untuk mempelajari pemikiran Sayyid Qutb tentang 

keadilan sosial dalam Islam. Ia berkonsentrasi untuk mendalami pemikiran agama, 

revolusi, dan perubahan sosial.16

Dari sekian banyak tulisan dan karyanya yaitu: Kiri Islam (Al-Yasar Al-Islami) 

merupakan salah satu puncak sublimasi pemikirannya semenjak revolusi 1952. Kiri 

Islam, meskipun baru memuat tema-tema pokok dari proyek besar Hanafi, karya ini telah 

memformulasikan satu kecenderungan pemikiran yang ideal tentang bagaimana 

seharusnya sumbangan agama bagi kesejahteraan umat manusia.

2. Pemikiran Kalam Hasan Hanafi

a. Kritik terhadap teologi Tradisional

Dalam gagasannya tentang rekobstruksi teologi tradisional, Hanafi menegaskan 

perlunya mengubah orientasi perangkat konseptual kepercayaan (teologi) sesuai dengan 

perubahan konteks politik yang terjadi. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa teologi 

tradisonal lahir dalam konteks sejarah ketika inti keislaman yang bertujuan untuk 

memelihara kemurniannya. Hal ini berbeda dengan kenyataan sekarang bahwa Islam 

mengalami kekalahan akibat kolonialisasi sehingga perubahan kerangka konseptal lama 

pada masa-masa permulaan yang berasal dari kebudayaan klasik menuju kerangka 

konseptual yang baru yang berasal dari kebudayaan modern harus dilakukan.17

Hanafi memandang bahwa teologi bukanlah pemikiran murni yang hadir dalam 

kehampaan kesejarahan, melainkan merefleksikan konflik sosial politik. Sehingga kritik 

teologi memang merupakan tindakan yang sah dan dibenarkan karena sebagai produk 

pemikiran manusia yang terbuka untuk dikritik. Hal ini sesuai dengan pendefenisian 

beliaun tentang definisi teologi itu sendiri. Menurutnya teologi bukanlah ilmu tentang 

Tuhan, karena Tuhan tidak tunduk pada ilmu. Tuhan mengungkaplan diri dalam Sabda-

Nya yang berupa wahyu.18

Teologi demikian, lanjut Hanafi, bukanlah ilmu tentang Tuhan, karena Tuhan tidak 

tunduk kepada ilmu. Tuhan mengungkapkan diri dalam sabda-Nya yang berupa wahyu. 

Ilmu Kalam adalah tafsir yaitu ilmu hermeneutic yang mempelajari analisis percakapan (discourse analysis), bukan saja dari segi bentuk-bentuk murni ucapan, melainkan juga 

dari segi konteksnya, yakni pengertian yang merujuk kepada dunia. Adapun wahyu 

sebagai manifestasi kemauan Tuhan, yakni sabda yang dikirim kepada manusia 

mempunyai muatan-muatan kemanusiaan.19

Hanafi ingin meletakkan teologi Islam tradisional pada tempat yang sebenarnya, 

yakni bukan pada ilmu ketuhanan yang suci, yang tidak boleh dipersoalkan lagi dan harus 

diterima begitu saja secara taken for Granted. Ia adalah ilmu kemanusiaan yang tetap 

terbuka untuk diaadakan verifikasi dan falsafikasi, baik secara historis maupun eiditis.20

Menurut Hasan Hanafi, teologi tradisional tidak dapat menjadi sebuah pandangan 

yang benar-benar hidup dan memberi motivasi tindakan dalam kehidupan kongkret umat 

manusia hal ini disebabkan oleh sikap para penyusun teologi yang tidak mengaitkannya 

dengan kesadaran murni dan nilai-nilai perbuatan manusia. Sehingga menimbulkan 

keterpercahan antara keimanan teoritik dengan amal praktiknya di kalangan umat.

Secara historis, teologi yang telah menyingkap adanya benturan berbagai kepentingan dan 

ia sarat dengan konflik social-politik. Teologi telah gagal pada dua tingkat: Pertama, pada 

tingkat teoritis, kedua, pada tingkat praxis, yaitu gagal karena hanya menciptakan 

apatisme dan negativisme.21

b. Rekontruksi Teologi

Melihat sisi-sisi kelemahan teologi tradisional, Hanafilalu mengajukan saran 

rekontruksi teologi. Menurutnya, adalah mungkin untuk memfungsikan teologi menjadi 

ilmu-ilmu yang bermanfaat bagi masa kini, yaitu dengan melakukan rekontruksi dan 

revisi, serta nenbangun kembali epistemologi lama yang rancu dan palsu menuju 

epiatemologi baru yag sahih dan lebih signifikan. Tujuan rekontruksi teologi Hanafi 

adalah menjadikan teologi tidak sekedar dogma-dogma keagamaan yang kosong, 

melainkan menjelma sebagai ilmu tentang pejuang social, yang menjadikan keimanan-

keimanan tradisonal memiliki fungsi secara actual sebagai landasan etik dan motivasi 

manusia.22

Sistem kepercayaan sesungguhnya mengekpresikan bangunan sosial tertentu. Sistem 

kepercayaan menjadikan gerakan social sebagai gerakan bagi kepentingan mayoritas yang 

diam (al-aglabiyah as-sfimitah: the majority) sehingga system kepercayaan memiliki 

fungsi visi. Karena memiliki fungsi revolusi, tujuan final rekonstruksi teologi tradisionla 

adalah revolusi sosial. Menilai revolusi dengan agama dimasa sekarang sama halnya 

dengan mengaitkan filsafat dengan syariat di masa lalu, ketika filsafat menjadi zaman saat 

itu.23

Sebagai konsekuensi atas pemikirannya yang menyatakan bahwa para ulama 

tradisional telah gagal dalam menyusun teologi yang modern, maka Hanafi mengajukan 

saran rekontruksi teologi. Adapaun langkah untuk melakukan rekonstruksi teologi sekurang-kurangnya dilatarbelakangi oleh tiga hal yaitu:

1) Kebutuhan akan adanya sebuah ideologi yang jelas di tengah pertarungan global antar berbagai ideologi.

2) Pentingnya teologi baru ini bukan semata pada sisi teoritisnya, tetapi juga terletak pada kepentingan praktis untuk secara nyata mewujudkan ideologi gerakan dalam sejarah. 

Salah satu kepentingan teologi ini adalah memecahkan problem pendudukan tanah di negara-negara muslim.

3) Keperingan teologi yang bersifat praktis (amaliyah fi’liyah) yang secara nyata diwujudkan dalam realisasi tauhid dalam dunia Islam. Hanafi menghendaki adanya ‘teologi dunia’ yaitu teologi baru yang dapat mempersatukan umat Islam di bawah satu orde.24

Menurut Hanafi, rekontruksi teologi merupakan salah satu cara yang mesti ditempuh jika mengharapkan agar teologi dapat memberikan sumbangan yang kongkret dari sejarah kemanusiaan. Kepentingan rekontruksi itu pertama-tama untuk mentranformasikan teologgi menuju antropologi, menjadikan teologi sebagai wacana tentang kemanusiaan, baik secara eksistensi, kognitif, maupun kesejarahan.

Selanjutnya Hanafi menawarkan dua hal untuk memperoleh kesempurnaan teori ilmu dalam teologi Islam yaitu:

1) Analisis bahasa. Bahasa serta istilah-istilah dalam teologi tradisonal adalah warisan nenek moyang di bawah teologi, yang merupakan bahasa khas yang seolah-olah menjadi ketentuan sejak dulu. Teologi tradisonal memiliki istilah-istilah khas seperti Allah, iman, akhirat. Menurut Hanafi, semua ini sebenarnya menyingkapkan sifat-sifat dan metode keilmuan, ada yang empirik-rasional seperti iman, amal, dan imamah, dan ada yang historis seperti nubuwah serta ada pula yang metafisik seperti Allah dan akhirat.

2) Analisis realitas. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui latar belakang historis-sosiologis munculnya teologi di masa lalu, mendiskripsikan pengaruh-pengaruh nyata teologi bagi kehidupan masyarakat. Dan bagaimana ia mempunyai kekuatan mengarahkan terhadap prilaku para pendukungnya. Analsis realitas ini berguna untuk menentukan stressing kearah mana teologi kontemporer harus diorientasikan.25

Referensi:

Al-Faruqi, Lamya, Allah, Masa Depan Kaum Wanita, Terj. Masyhur Abadi, Surabaya: Al-

Fikr, 1991

Al-Faruqi, Ismail Raji Tauhid, terj. Rahmani Astuti, Jakarja: Pustaka, 1988

Kusnadiningrat, E. Teologi dan Pembebasan; Gagasan Islam Kiri Hasan Hanafi, 

Jakarta:Logos, 1999

Rozak, Abdul dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, bandung: Pustaka Setia, 2006

Ridwan, A.H. Reformasi Intelektual Islam,Yohyakarta: Ittaqa Press, 1998

No comments:

Post a Comment

Pemikiran Kalam Indonesia (H.M. Rasyidi dan H.M Nasution)

 1. Profil H.M. Rasjidi Prof. Dr. H. M. Rasjidi dilahirkan di Kotagede, Yogyakarta, hari Kamis Pahing tanggal 20 Mei 1915, saat kalender Hij...