Tuesday, December 8, 2020

Ahlussunnah Salaf dan Khalaf

 A. AHLUSUNNAH SALAF.

2.1. Sejarah Perkembangan Ahlusunnah Salaf.

       Arti salaf secara bahasa adalah pendahulu bagi suatu generasi. Sedangkan dalam istilah syariah Islamiyah as-salaf itu ialah orang-orang pertama yang memahami, mengimami, memperjuangkan serta mengajarkan Islam yang diambil langsung dari shahabat Nabi salallahu ‘alaihi wa sallam, para tabi’in (kaum mukminin yang mengambil ilmu dan pemahaman/murid dari para shahabat) dan para tabi’it tabi’in (kaum mukminin yang mengambil ilmu dan pemahaman/murid dari tabi’in). istilah yang lebih lengkap bagi mereka ini ialah as-salafus shalih. Selanjutnya pemahaman as-salafus shalih terhadap Al-Qur’an dan Al-Hadits dinamakan as-salafiyah. Sedangkan orang Islam yang ikut pemahaman ini dinamakan salafi. Demikian pula dakwah kepada pemahaman ini dinamakan dakwah salafiyyah.

      Definisi salaf menurut Thablawi Mahmud Sa’ad, salaf artinya ulama terdahulu. Salaf terkadang dimaksudkan untuk merujuk generasi sahabat, Tabi’in, para pemuka abad ketiga dan para pengikutnya pada abad ke 4 H yang terdiri atas para muhadisain dan yang lainnya. Salaf berarti pula ulama-ulama shalih yang hidup pada tiga abad pertama islam. Sedangkan Mahmud Al-Bisyi Bisyi dalam Al-Firoq Al-Islamiyah mendefinisikan salaf sebagai sahabat, tabi’in, dan tabi’in yang dapat diketahui dari sikapnya menampik penafsiran yang mendalam mengenai sifat Allah yang menyerupai saegala sesuatu yang baru untuk menyucikan dan menggunakannya.

    Ahlusunnah tidak muncul dari ruang hampa. Ada banyak hal yang mempengaruhi proses kelahirannya dari rahim sejarah. Diantaranya yang cukup populer adalah tingginya suhu konsetelasi politik yang terjadi pada masa pasca Nabi Wafat.

   Kematian Utsman bin Affan, khalifah ketiga, menyulut berbagai reaksi. Utamanya, karena ia terbunuh, tidak dalam perperangan. Hal ini memantik semangat banyak kalangan untuk menuntut Imam Ali, penggantu Utsman untuk bertanggung jawab. Terlebih, sang pembunuh, yang ternyata masih berhubungan darah dengan Ali, tiadak segera mendapat hukuman setimpal.

     Mu’awiyyah bin Abi Sufyan, Aisyah, dan Abdullah bin Thalhah, serta Amr bin Ash adalah beberapa di antara sekian banyak sahabat yang menuntut Ali. Bahkan, semuanya harus menghadapi Ali dalam sejumlah peperangan yang kesemuanya dimenangkan dipihak Ali.

    Dan yang paling mengejutkan, adalah strategi Amr bin Ash dalam perang Shiffin di tepi sungai Eufrat, akhir tahun 39 H, dengan mengangkat mushaf diatas tombak. Tindakan ini dilakukan setelah pasukan Amr dan Mu’awiyyah terdesak, tujuannya, hendak mengembalikan segala perselisihan kepada hukum Allah. Dan Ali setuju, meski banyak dari pengikutnya yang tidak puas. Akhirnya tahkim di Daumatul Jandal, sebuah desa ditepi laut merah beberapa puluh  KM utara Makkah, menjadi akar perpecahan pendukung Ali menjadi Khawarij dan Syi’ah. Kian lengkaplah perseteruan yang terjadi antara kelompok Ali , kelompok Khawarij, kelompok Mu’awiyah, dan sisa-sisa pengikut Aisyah dan Abdullah bin Thalhah.

   Ternyata perseteruan politik ini membawa efek yang cukup besar dalam ajaran Islam. Hal ini terjadi tatkala banyak kalangan menunggangi teks-teks untuk krprntingan politis. Celakanya, kepentingan ini begitu jelas terbaca oleh publik, terlebih masa Yazid bin Mu’awiyah.

    Yazid waktu itu mencoreng muka Dinasti Umayyah. Dengan sengaja, ia memerintahkan pembantaian Husein bin Ali beserta 70-an anggota keluarganya di Karbala, dekat kota Kufah, Iraq. Parahnya lagi, kepala Husein dipenggal dan diarak menju Damaskus, pusat pemerinthan Dinasti Umayyah. Bagaimana pun juga, Husein adalah cucu Nabi yang dicintai umat Islam. Karenanya, kemarahan uant tak terbendung, kekecewaan ini begitu mengejala dan mengancam stabilitas Dinasti. Akhirnya, dinasti Umaiyah merestui hadirnya paham Jabariyah. Ajaran Jabariyah menyatakan bahwa manusia tidak punya kekuasaan sama sekali. Manusia tunduk pada takdir yang telah digariskan Tuhan, tanpa bisa merubah. Opini ini ditujukan untuk menyatakan bahwa pembantaian itu memang telah digariskan Tuhan tanpa bisa dicegah oleh siapapun jua. 

Beberapa kalangan yang menolak opini itu akhirnya membentuk second opinion (opini rivalis) dengan mengelompokkan diri ke sekte Qadariyah. Jelasnya, paham ini menjadi anti tesis bagi paham Jabariyah. Qadariyah menyatakan bahwa manusia punya free will (kemampuan) untuk melakukan segalanya. Dan Tuhan hanya menjadi penonton dan hakim di akhirat kelak. Karenanya, pembantaian itu adalah murni kesalahan manusia yang karenanya harus dipertanggungjawabkan, di dunia dan akhirat. Melihat sedemikian kacaunya bahasan teologi dan politik, ada kalangan umat Islam yang enggan dan jenuh dengan semuanya. Mereka ini tidak sendiri, karena ternyata, mayoritas umat Islam mengalami hal yang sama. Karena tidak mau terlarut dalam perdebatan yang tak berkesudahan, mereka menarik diri dari perdebatan. Mereka memasrahkan semua urusan dan perilaku manusia pada Tuhan di akhirat kelak. Mereka menamakan diri Murji’ah. 

        Lambat laun, kelompok ini mendapatkan sambutan yang luar biasa. Terlebih karena pandangannya yang apriori terhadap dunia politik. Karenanya, pihak kerajaan membiarkan ajaran semacam ini, hingga akhirnya menjadi sedemikian besar. Di antara para sahabat yang turut dalam kelompok ini adalah Abu Hurayrah, Abu Bakrah, Abdullah Ibn Umar, dan sebagainya. Mereka adalah sahabat yang punya banyak pengaruh di daerahnya masing-masing. 

        Pada tataran selanjutnya, dapatlah dikatakan bahwa Murjiah adalah cikal bakal Sunni (proto sunni). Karena banyaknya umat Islam yang juga merasakan hal senada, maka mereka mulai mengelompokkan diri ke dalam suatu kelompok tersendiri.

Lantas, melihat parahnya polarisasi yang ada di kalangan umat Islam, akhirnya ulama mempopulerkan beberapa hadits yang mendorong umat Islam untuk bersatu. Tercatat ada 3 hadits-dua diriwayatkan oleh Imam Turmudzi dan satu oleh Imam Tabrani-. Dalam hadits ini diceritakan bahwa umat Yahudi akan terpecah ke dalam 71 golongan, Nasrani menjadi 72 golongan, dan Islam dalam 

73 golongan. Semua golongan umat Islam itu masuk neraka kecuali satu. "Siapa mereka itu, Rasul?" tanya sahabat. "Ma ana ‘Alaihi wa Ashabi" jawab Rasul. Bahkan dalam hadist riwayat Thabrani, secara eksplisit dinyatakan bahwa golongan itu adalah Ahlussunah wa al-jama’ah. 

     Ungkapan Nabi itu lantas menjadi aksioma umum. Sejak saat itulah kata aswaja atau Sunni menjadi sedemikian populer di kalangan umat Islam. Bila sudah demikian, bisa dipastikan, tak akan ada penganut Aswaja yang berani mempersoalkan sebutan serta hadits yang digunakan justifikasi kendati banyak terdapat kerancuan di dalamnya. Karena jika diperhatikan lebih lanjut, hadits itu bertentangan dengan beberapa ayat tentang kemanusiaan Muhammad, bukan peramal. 


2.2. Tokoh-tokoh aliran Ahlusunnah Salaf.

1.Ibn Taymiyyah

    Pemikir pertama Aliran Salaf adalah Ibn Taymiyyah. Nama lengkapnya adalah Ahmad Taqiyy al-Din Ibn Taymiyyah al-Harrani al-Dimasyqi, lahir di Harran, Syiria tahun 661 H(1263 M), wafat pada 782 H (1328 M). Ayahnya adalah seorang guru Hadis dan pamannya seorang ulama dan penulis yang termasyhur di zamannya. Pada usia tujuh tahun, Harran diserang oleh Mongol, ia dan orang tuanya mengungsi ke Damaskus. Disinilah Ibn Taymiyyah mengawali penggambaran intelektualnya, ia belajar pada beberapa madrasah yang diselenggarakan oleh penganut mazhab Hanbali, seperti madrasah Sakariyah, madrasah Jauziyah dan madrasah Umayyah.

    Ketekunan belajar dan ketajaman otaknya dalam berpikir mengantarkan Ibn Taymiyyah sebagai seorang ulama, beliau sangat berani dan tidak takut apa yang yang dipandangnya benar. Lidah dan penanya sangat tajam dalam menyerang berbagai agama baik dalam bidang teologi, filsafat, tasawuf, dan fiqh yang dianggapnya bid’ah dan tidak berdasar pada nash-nash Al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang shahih. Ibn Taymiyyah sebagai pengajar tradisi Hambali menekankan kajian literasi terhadap nash-nash agama. Ibn Taymiyyah berseru untuk kembali kepada akidah dan ibadah salaf.


      2.     Imam Ahmad bin Hanbal

Nama beliau adalah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal Asy Syaibani. Beliau dilahirkan di Baghdad tahun 164 H. Ayah beliau meninggal saat beliau berumur 3 tahun. Lalu beliau diasuh oleh Ibunya. Saat masih belia, beliau menghadiri majelis qadhi Abu Yusuf. Kemudian beliau fokus belajar hadits. Saat itu umur beliau sekitar 16 tahun. Kemudian beliau haji beberapa kali, kemudian tinggal di Makah dua kali. Kemudian beliau safar menemui Abdurrozaq di Yaman dan belajar darinya. Beliau telah berkelana ke negeri-negeri dan penjuru dunia. Beliau mendengar hadits dari ulama-ulama besar saat itu. Mereka (para ulama) bangga dan memuliakan beliau. Ibnu Jauzi berkata, “Ahmad (bin Hanbal) semoga Allah meridhoinya menuntut ilmu dari para masyayikh di Baghdad. Lalu beliau pergi ke Kufah, Bashroh, Makah, Madinah, Yaman, Syam dan Jazirah. Beliau menulis dari para ulama setiap negeri”

Imam Ahmad memiliki ilmu yang sangat luas. Berikut ini beberapa perkataan ulama tentangnya. Ibrahim al Harbiy rahimahullah berkata, “Saya melihat Ahmad bin Hanbal seolah-olah Allah mengumpulkan pada dirinya ilmu orang yang terdahulu dan yang terakhir pada setiap bidang ilmu. Dia berkata sesuai yang dikehendakinya dan menahan yang dikehendakinya.”.


2.3. Ajaran Pokok Aliran Ahlusunnah Salaf.

Aliran Salafiyah mempunyai tiga ciri utama dalam ajaran pokoknya yaitu 

Pertama, mendahulukan syara’ dari akal. Yang terkandung di dalam Al-Quran dan Hadis yang shahih adalah kebenaran. Seorang Muslim tidak boleh menyampingkan kandungan Al-Quran dan Hadis walaupun bertentangan dengan akal dan ketentuan syara’ harus didahulukan dari pendapat akal.

 Kedua, meninggalkan takwil kalami. Dalam Aliran Salafiyah ayat-ayat Al-Quran sudah sangat jelas tidak perlu diputar lagi maknanya kepada yang lain. Beberapa ayat Al-Quran memberikan gambaran Allah mempunyai tangan, wajah dan kursi. Aliran Salaf menolak penakwilan kalam seperti itu karena mencederai Al-Quran itu sendiri.

 Ketiga, berpegang teguh pada nash Quran dan Hadis Nabi. Karena akal manusia tidak mempunyai wewenang untuk menakwilkan nash agama dan tugas akal mencari argumentasi serta membenarkan informasi yang dibawa oleh nash agama. Akal harus tunduk dibawah nash, karena nash adalah firman Allah.


B. AHLUSUNNAH KHALAF. 


2.4. Sejarah Perkembangan Aliran Ahlusunnah Khalaf.

      Khalaf artinya Masa yang datang sesudah. Khalaf menurut istilah diartikan sebagai jalan para ulama’ modern. Walaupun tidak dapat dikatakan bahwa semua ulama’ modern mengikuti jalan ini. Adapun ungkapan Ahlussunnah (sering juga disebut sunni) dapat dibedakan menjadi dua pengertian, yaitu umum dan khusus. Sunni dalam pengertian umum adalah lawan kelompok syi’ah. Dalam pengertian ini, Mu’tazilah sebagaimana juga Asy’ariyah masuk dalam barisan sunni. Sunni dalam pengertian khusus adalah madzhab yang berada dalam barisan Asy’ariyah dan merupakan lawan Mu’tazilah.

    Selanjutnya Ahlussunnah banyak dipakai setelah munculnya aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah, dua aliran yang menentang ajaran-ajaran Mu’tazilah.

    Ulama Khalaf menggunakan pendekatan akal dan logika. Ulama khalaf memperkenalkan konsep ta’wil dalam ayat mutasyabihat. Kholaf (ulama zaman akhir) berdasarkan perhitungsn tahun masa akhir hidup dari Imam madzhab 4 yang terakhir ( Imam Ahmad bin Hanbal) yang wafat pada tahun 241H atau 855M maka masa ulama salaf berakhir sekitar tahun 241H-855M dan selebihnya termasuk ulama khalaf.

Adapun pendapat yang lain mengatakan bahwasannya masa perubahan atau batas antara abad ulama salaf dan khalaf dibatasi dengan masa atau kurun tertentu sebagaimana beberapa pendapat yang berbeda-beda dibawah ini:

1.      Ulama salaf ialah ulama yang hidup sebelum tahun 300 H dan ulama khalaf ialah ulama yang hidup setelah tahun 300 H.

2.      Ulama salaf ialah ulama yang hidup sebelum tahun 00 H dan ulama khalaf ialah ulama yang hidup setelah tahun 400 H.

3.      Ulama salaf ialah ulama yang hidup sebelum tahun 500 H dan ulama khalaf ialah ulama yang hidup setelah tahun 500 H.


2.5. Pemikir Aliran Ahlusunnah Khalaf.

 1. Al-Asy’ari.

       Namanya Abu al-Hasan Ali bin Ismail bin Abu Bisyr Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdullah bin Musa bin Bilal bin Abu Burdah bin Abu Musa al-asy’ari bin Qais bin Hadhar. adalah salah seorang keturunan dari sahabat Raulullah shalallahu ‘alaihi wasalam,Abu Musa Al-Asy’ari. Beliau lahir di Bashrah pada tahun 260H/873M dan wafat di Bagdad. pada tahun 324H/935M.  Sebagian besar hidupnya berada di Bagdad.

         keturunan Abu Musa al-Asy’ari seorang sahabat dan perantara dalam sengketa Ali dan Muawiyah dalam peristiwa tafkhim. Pada usia lebih dari 40 tahun, ia hijrah ke kota Baghdad. Ayahnya adalah seorang yang berfaham ahlussunnah dan ahli hadist. Ayahnya wafat ketika ia masih kecil. Sebelum wafat ayahnya berwasiat kepada seorang sahabatnya yang  bernama Zakaria bin Yahya as-Saji agar mendidik al-Asy’ari. Ibu Asy’ari  sepeninggal ayahnya menikah lagi dengan tokoh Mu’tazilah yang bernama al-Juba’i. Berkat didikan ayah tirinya, Asy’ari kemudian menjadi tokoh Mu’tazilah. Ia sering menggantikan al-Juba’i dalam perdebatan menentang lawan-lawan Mu’tazilah dan ia juga banyak menulis buku yang membela aliran Mu’tazilah.  Tetapi, karena sebab yang tidak begitu jelas Asy’ari akhirnya meninggalkan aliran mu’tazilah.

      Beliau keluar dari madzhab Muktazilah dan mengumumkan taubatnya pada hari Jum'at di masjid Jami di daerah Basrah.Di depan banyak orang beliau menyatakan bahwa; saya mula-mula mengatakan bahwa Al Qur'an adalah makhluk; Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak dapat dilihat dengan mata kepala; perbuatan buruk adalah manusia sendiri yang memperbuatnya (semua pendapat aliran Muktazilah).

        Kemudian beliau mengatakan: "saya tidak lagi memegangi pendapat-pendapat tersebut; saya harus menolak paham-paham orang Muktazilah dan menunjukkan keburukan-keburukan dan kelemahan-kelemahanya". Setelah keluar dari madzhab Muktazilah Abu al-Hasan al-Asy’ari mendekati kepada para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah dan Ahli Hadits, namun belum berpemahaman Ahlu Sunnah Wal Jama’ah. Beliau lebih terpengaruh dengan kelompok Kullabiyah yaitu kelompok pengikut Abdullah bin Sa’id bin Kullab al-Bashri yang saat itu juga tergolong gencar dalam membantah kelompok Muktazilah. Beliau membantah kelompok Muktazilah diatas faham Kullabiyah, semua keburukan Muktazilah beliau bongkar. Karena Abu al-Hasan al-Asy'ari pernah mengikuti jalan Muktazilah dan beliau tahu betul kesesatan-kesesatan nya. 

      Ketidakpuasan Al-Asy’ari terhadap aliran mu’tazilah diantaranya adalah :

Karna adanya keragu-raguan dalam diri Al-Asy’ari yang mendorongnya untuk keluar dari paham mu’tazilah. Menurut Ahmad Mahmud Subhi, Keraguan itu timbul karena ia menganut madzhab Syafi’I yang mempunyai pendapat berbeda dengan aliran Mu’tazilah, misal nya Syafi’I berpendapat bahwa Al-Qur’an itu itu tidak diciptakan, tetapi bersifat qadim dan bahwa Tuhan dapat dilihat diakhirat nanti. Sedangkan menurut paham Mu’tazilah, bahwa Al-Qur’an itu bukan qadim akan tetapi hadits dalam arti baru dan diciptakan Tuhan dan Tuhan bersifat rohani dan tidak dapat dilihat dengan mata.

Menurut Hammudah Ghurabah, ajaran-ajaran yang diperoleh dari Al-Juba;I menimbulkan persoalan-persoalan yang tidak mendapat penyelesaian yang memuaskan, misalnya tentang mukmin, kafir dan anak kecil.

Adapun sebab terpenting Asy’ari meninggalkan Mu’tazilah adalah karena adanya perpecahan yang dialami kaum Muslimin yang bisa menghancuirkan mereka sendiri, kalau seandainya tidak diakhiri. Dia mendambakan kesatuan umat, dia sangat khawatir kalau Al-Qur’an dan Hadits menjadi korban dari paham-paham Mu’tazilah yang dianggapnya semakin menyimpang dan menyesatkan masyarakat karena Mu’tazilah lebih mementingkan akal fikiran.

     Setelah itu, Abul Hasan memposisikan dirinya sebagai pembela keyakinan-keyakinan salaf dan menjelaskan sikap-sikap mereka. Pda fase ini, karya-karyanya menunjukkan pada pendirian barunya. Dalam kitab Al-Ibanah, Ia menjelaskan bahwa ia berpegang pada Madzhab Ahmad bin Hambal. A bul Hasan menjelaskan bahwa ia menolak pemikiran Mu’tazilah, Qadariyah, Jahmiyah, Hururiyah, Rafidhah, dan Murji’ah. Dalam beragama ia berpegang teguh pada Al-Qur’an , Sunnah Nabi, dan apa yang diriwayatkan dari para sahabat, Tabi’in, serta Imam ahli hadits. 

      Karya Al-Asy’ari sangatlah banyak, kurang lebih 90 buah dalam berbagai lapangan ilmu keislaman. Karangan yang terkenal dan samppai kepada kita ada tiga, yaitu:

a Mawalatul Islamiyah : (Pendapat golongan-golongan islam), yang merupakan buku pertama, dikarang dalam soal-soal kepercayaan islam dan menjadi sumber yang penting pula, karena ketelitian dan kejujuran pengarangnya. Buku ini, terdiri dari tiga bagian :

Tinjaun tentang golomgan-golongan dalam Islam

Aqidah aliran “Ashabul Hadits dan Ahlusunnah”dan

Beberapa persoalan ilmu kalam 


b  Al-Ibanah ‘an Usulid Diyanah (Penjelasan tentang dasar-dasar agama) yang berisi uraian tentang kepercayaan (aqidah) Ahlu Sunnah dan dimulainya dengan menguji Imam Ahmad bin Hanbal, kemudian menyebutkan kebaikan-kebaikan dan memerangi pendapat-pendapatnya. Uraian buku ini tidak tersusun rapi, meskipun berisis persoalan-persoalan yang banyak dan penting. Dlam buku ini, Ia dengan pedas menyerang aliran Mu’tazilah.

c  Al-Luma’ (sorotan) yang dimaksudkan untuk membantah lawannya dalam beberapa persoalan ilmu kalam.


     Pemikiran Al-Asy’ari dapat diketahui lewat karyanya seperti Maqalat al-Islamiyyin Wa Ikhtilaf al-Mushallin, Kitab al-Luma’ fi al-Radd ‘ala Ahl al-Ziyagh wa al-Bida’ dan Al-Ibanah ‘an al-Ushul al-Diyanah. Lewat buku-buku tersebut dilanjutkan oleh murid-muridnya seperti al-Baqillani dan al-Juwaini, tesis-tesis baru yang dikembangkan oleh Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari berkembang menjadi alian baru yang dikenal dengan nama Asy’ariyah. Dalam kupasan tentang pandangan orang-orang sesat serta ahli bid’ah yang dimaksudkan oleh Asy’ari adalah kaum Mu’tazilah dan Qadariyah. 


2. Al-Maturidi

   Namanya abu Mansur al-Maturidi dilahirkan di Maturid, Kota kecil di daerah Samarand, wilayah Transoxiana di Asia Tengah, daerah yang sekarang disebut Uzbekistan. Ia wafat pada tahun 333 H/944 M. gurunya dalam bidang fiqh dan teologi bernama Nasyr bin Yahya al-Balakhi. Al-Maturidi hidup masa khalifah al-Mutawakkil yang memerintah tahun 232H/847-861M. 

   Al-Maturidi mengikuti Madzhab Hanafi dan dalam teologi Islam menganut pula aliran Fuqoha dan Muhadisin. Perbandingan antara Abu Hanifah dan al-Maturidi dapat diperoleh informasi bahwa ternyata pemikiran al-Maturidi sebenarnya berintikan pemikiran Abu Hanifah dan merupakan penguraiannya yang lebih luas. Hubungan antara kedua tokoh tersebut dikuatkan oleh pengakuan al-Maturidi sendiri bahwa ia mempelajari buku-buku Abu Hanifah.

     Pemikiran teologi al-Maturidi mendasar pada Al-Qur’an dan akal. Dalam hal ini, ia sama dengan al-asy’ari  namun porsi yang diberikannya kepada akal lebih besar daripada yang diberikan oleh al-Asy’ari. Ini dikarenakan sebagai pengikut Abu Hanifah yang banyak memakai rasio dalam pandangan keagamaannya, al-Maturidi banyak juga memakai akal dalam system teologisnya.


2.6. Perkembangan dan Tokoh Al-Asy’ari dan AL-Maturidi.

1. Perkembangan aliran Al-asy’ari

   Mendapat kedudukan yang tinggi, mempunyai banyak pengikut dan mendapat bantuan dari para penguasa pemerintahan. Pendapat-pendapatnya disebut “pendapat Ahlusunnah Wal Jama’ah”atau “Ahlussunnah” (tanpa wal Jama’ah) dan sebutan ini banyak dipakai atau sebutan “Madzahibus Salaf Wa Ahlussunnah”.

   Penyebutan Ahlussunnah sudah dipakai sejak jaman dahulu, terhadap mereka yang apabila menghadapi sesuatu peristiwa, maka dicari hukumnya dari bunyi Al-Qur’an dan Hadist. Apabila tidak didapatinya maka mereka akan diam saja, karena tidak berani melampauinya. Mereka lebih dikenal dengan sebutan Ahlul Hadist yang sudah dimulai sejak zaman sahabat, kemudian dilanjutkan sampai masa tabi’in. 

Kebalikan dari mereka ialah “Ahlul Ra’yi” yang apabila menghadapi keadaan yang sama, maka tidak berhenti, melainkan berusaha dengan akal pikirannya untuk menemukan hukum peristiwa yang dihadapinya dengan jalan qiyas atau istihsan sebagainya. Munculah aliran tengah-tengah yang dicetuskan oleh Imam Syafi’i. Meskipun sudah ada orang yang merasa terikat dengan Hadits dalam bidang fiqh, namun mereka tidak dikenal dengan sebutan Ahlussunnah. Mu’tazilah tidak segan-segan menolak hadits yang berlawanan dengan ketetentuan akal pikiran, maka timbulah aliran lain yang tetap memegangi dan mempertahankan hadits-hadits yang ditolak oleh Mu’tazilah, terkenal dengan nama “Ahlussunnah” dan ingin mengikuti jejak ulama salaf dalam menghadapi nash-nash mutasyabihat. Penyebutan Ahlussunnah wal Jama’ah oleh pengikut-pengikut Al-Asy’ari karena pemikiran-pemikirannya.


2 Tokoh-Tokoh Al-Asy’ariah

  Dalam aliran Al-Asy’ariyah ini mempunyai tokoh-tokoh kenamaan, antara lain: Al-Baqilani, Al-juwaimi, Al-Iji, As-Sanusi, Al-Ghazali, dan Al-Baghdadi. Diantara tokoh-tokoh diatas yang paling berpengaruh ialah al-Ghazali yang diberi gelar Hujjatul Islam. Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muhammad  bin Muhammad bin Ahmad Abu Hamid al-Ghazali. Ia lahir di Thus, suatu kota di Khurasan pada tahun 450 M. ayahnya seorang pekerja pembuat pakaian dari bulu (wol) dan menjualnya di pasar. Setelah ayahnya meninggal, ia diasuh oleh ahli tasawuf. Di waktu kecil ia belajar fiqh pada Syekh Ahmad bin Muhammad ar-Rasikani dan di Nishabur belajar pada Imam al-Haromain, di sini lah ia mulai kelihatan tanda-tanda ketajaman otaknya dengan menguasai ilmu mantiq (logika), filsafat dan fiqh madzhab Syafi’i. setelah imam Haromain wafat, ia pergi ke Al-Azhar berkunjung ke menteri Nizam al Mulk pemerintahan dinasti Saljuk. Setelah bertemu dengan ulama-ulama besar, akhirnya al-Ghazali diberi kehormatan guru besar (professor) dan mengajar di Perguruan Tinggi Nizamiyah Baghdad. Tahun 488 H beliau pergi ke Mekkah untuk menunaikan haji, sepulang dari mekah beliau pergi ke Syiria (Syam) dilanjutkan perjalanannyake Damaskus dan menetap cukup lama. Saat itu beliau sedang mengarang kitab Ihya’ Ulumuddin. Sepulangnya beliau dari Damaskus ia kembali ke Baghdad dan kembali mengajar di Perguruan Tinggi Nizamiyah. Tidak berlangsung lama, beliau kembali ke Thus, kampung halamannya. Di sebelah rumah beliau medirikan sekolah untuk para fuqoha dan mutashawwifin. Beliau meninggal pada tanggal 14 Jumadil Akhir 505 H/1111 M. Sesaat sebelum beliau meninggal sempat mengucapkan kata yang juga diucapkan oleh Francis Bacon (Filosof Inggris), yaitu: “kuletakkan arwahku di hadapan Allah dan tanamkanlah jasadku di lipat bumi yang senyap. Namaku akan bangkit kembali menjadi sebutan dan buah bibir umat manusia di masa mendatang.

   Karya al-Ghazali berjumlah lebih dari 100 buah. Beberapa kitabnya seperti berikut: Maqhasidul falasifah (tujuan para ahli filsafat), Tahafut al-Falasifah (keberantakan para filosof), a-Munqidz min Dhalal (penyelamat dan kesesatan) dan Ihya’ Ulumuddin (menghidupkan ilmu-ilmu agama). Disamping itu ada pemahaman yang sama dengan beliau dan ada juga yang menentang beliau. Tokoh Barat yang  sepaham seperti Renan Cassanova dan Carro de Vaux. Sedangkan yang menentang seperti Ibnu Rusyd (dengan kitab Tahafut at-Tahafutut), Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim.

 Adanya penyerangan dari Ibnu Rusyd karena al-Ghazali menentang para filoSof Islam, bahkan ia sampai mengkafirkan dalam 3 hal, yaitu:

a.       Pengingkaran tentang kebangkitan jasmani

b.      Membatasi pengetahuan Allah kepada yang hal-hal yang besar saja.

c.       Adanya kepercayaan tentang qadimnya alam dan keasliannya.

 

3 Perkembangan Al-Maturidi

          Maturidiyah mengambil posisi ditengah-tengah antara Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Aliran al-Maturidiyah terbagi dalam dua aliran yaitu al-Maturidiyah Samarkand yang didirikan oleh Abu Mansur al-Maturidi sendiri, dan al-Maturidiyah Bukhara yang dibangun oleh pengikut Abu Yusr Muhammad al-Bazdawi. Al-Maturidiyah Samarkand lebih rasional dan cenderung ke paham al-Mu’tazilah sedangkan al-Maturidiyah Bukhara cenderung ke paham Asy’ariyah. Aliran al-Maturidiyah sebagai aliran yang rasional namun tetap berpijak pada al-Qur’an dan Sunnah mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap pengembangan pemikiran dunia islam. Hal ini sangat berpotensi untuk dikaji dan dikembangkan.


4 Tokoh-Tokoh Al-Maturidiyah

       Yang sangat penting dari aliran Al-Maturidiyah ini adalah Abu al- Yusr Muhammad al-Badzawi  yang lahir pada tahun 421 Hijriyah dan meninggal pada tahun 493 Hijriyah. Ajaran-ajaran Al-Maturidi yang  dikuasainya adalah karena neneknya adalah murid dari Al-Maturidi. Al-Badzawi sendiri mempunyai   beberapa   orang   murid, yang  salah  satunya adalah Najm al-Din Muhammad al-Nasafi  (460-537   H),  pengarang buku al-‘Aqa’idal Nasafiah. Seperti Al-Baqillani dan Al-Juwaini, Al-Badzawi tidak pula selamanya  sepaham dengan Al-Maturidi. Antara kedua pemuka aliran Maturidiyah  ini, terdapat perbedaan paham sehingga boleh dikatakan bahwa dalam aliran Maturidiyah terdapat dua golongan, yaitu golongan Samarkand yang mengikuti paham-paham  Al-Maturidi dan golongan  Bukhara  yang mengikuti paham-paham Al-Badzawi.


2.6. Ajaran Pokok Aliran Al-Asy’ariah dan Al-Maturidiyah

 1)      Dokrin-dokrin teologi al-Asy’ari yang terpenting ialah sebagai berikut:

1.      Allah dan sifat-sifatNya

Sebagai penentang Mu’tazilah, sudah tentu al-Asy’ari berpendapat bahwa Allah mempunyai sifat. Mustahil kata al-Asy’ari Allah mengetahui dengan ZatNya, karena dengan demikian zatNya adalah pengetahuan dan Allah sendiri adalah pengetahuan. Menurut al-Asy’ari, Allah bukan pengetahuan (‘ilm) tetapi yang mengetahui (‘alim). Allah mengetahui denagn pengetahuan dan pengetahuanNya bukanlah zatNya. Demikian pula dengan sifat-sifat seperti hidup, berkuasa, mendengar, dan melihat.

2.      Kebebasan dalam berkehendak

Al-Asy’ari memakai istilah kasb (acquisition, perolehan) untuk menggambarkan hubungan perbuatan manusia dengan kemauan dan kekuasaan Allah. Arti kasb menurutnya adalah bahwa sesuatu itu terjadi dengan perantaraan daya yang diciptakan yang dengan dayanya perbuatan itu terjadi. Dengan kata lain, seuatu itu timbul dari al-muktasib (manusia yang menciptakan atau mengupayakan) dengan perantara daya yang diciptakan. Pendapat ini berdasarkan QS. Ash-Shaaffat : 96.

 وَٱللَّهُ خَلَقَكُمۡ وَمَا تَعۡمَلُونَ ٩٦ 

96. Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu"

Al-Asy’ari menjelaskan soal kehendak Allah bahwa Allah menghendaki segala apa yang dikehendaki, artinya manusia tidak  dapat menghendaki sesuatu itu terjadi. Kehendak Maka bila Allah tidak menciptakan daya dalam diri manusia, dia tidak akan dapat berbuat apa-apa. karena itu daya untuk berbuat, sebenarnya bukanlah daya manusia tetapi daya Allah. Jadi perbuatan manusia itu  memerlukan dua daya, yaitu daya Allah dan daya manusia dan yang paling berpengaruh dan efektif adalah daya Allah. 

وَمَا تَشَآءُونَ إِلَّآ أَن يَشَآءَ ٱللَّهُۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمٗا ٣٠ 

30. Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

3.      Qadimnya al-Quran

Pendapat al-Asy’ari tentang qadimnya Al-Qura’an berlainan pula dengan pendapat kaum Mu’tazilah. Bagi al-Asy’ari al-Quran tidaklah diciptakan sebab kalau ia diciptakan maka sesuai dengan ayat:

إِنَّمَا قَوۡلُنَا لِشَيۡءٍ إِذَآ أَرَدۡنَٰهُ أَن نَّقُولَ لَهُۥ كُن فَيَكُونُ ٤٠ 

40. Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: "kun (jadilah)", maka jadilah ia.

Untuk penciptaan itu perlu kata kun, dan untuk terciptanya kun itu perlu pula kata kun yang lain, begitulah seterusnya sehingga terdapat rentetan kata-kata kun yang sudah berkesudahan. Dan ini tak mungkin, oleh karena itu al-Quran tidak mungkin diciptakan.

4.      Akal dan Wahyu serta Kriteria Baik dan Buruk

Al-Asy’ari mengutamakan wahyu, sementara kaum mu’tazilah mengutamakan akal. Sementara dalam menentukan baik-buruk terjadi perbedaan pendapat diantara mereka. Al-Asy’ari berpendapat bahwa baik-buruk harus didasarkan oleh pada wahyu, sedangkan Mu’tazilah mendasarkannya pada akal.

5.      Melihat Allah

Al-Asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat, tetapi tidak bisa digambarkan. Kemungkinan ru’yat dapat terjadi manakala Allah sendiri yang menyebabkan dapat dilihat atau bilamana Allah sendiri menciptakan kemampuan penglihatan untuk melihatNya.

6.      Keadilan

Antara al-Asy’ari dan Mu’tazilah pada dasarnya semua setuju bahwa Allah itu adil. Mereka berbeda dalam memandang keadilan. Al-Asy’ari tidak sependapat dengan Mu’tazilah yang mengharuskan Allah berbuat adil sehingga Dia harus menyiksa orang yang salah dan member pahala kepada orang yang berbuat baik. Menurutnya, Allah tidak memiliki keharusan apapun karena ia adalah Penguasa Mutlak.

7.      Kedudukan orang yang berdosa

Al-Asy’ari menolak ajaran posisi menengah yang di anut oleh Mu’tazilah. Mengingat kenyataan bahwa iman merupakan lawan dari kufr, predikat bagi seseorang haruslah salah satu diantaranya. Jika tidak mukmin, ia kafir. Oleh karena itu, Al-Asy’ari berpendapat bahwa mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufr.

2)      Doktrin Teologi Maturidiyah

1.      Akal dan wahyu

Dalam pemikiran teologinya, Al-Maturidi mendasarkan pada Al-Qur'an dan akal dalam bab ini ia sama dengan Al-asy’ari. Menurut Al-Maturidi, mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui dengan akal. Kemampuan akal dalam mengetahui dua hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-Qur'an yang memerintahkan agar manusia menggunakan akal dalam usaha memperoleh pengetahuan dan keimanannya terhadap Allah melalui pengamatan dan pemikiran yang mendalam tentang makhluk ciptaannya. Kalau akal tidak mempunyai kemampuan memperoleh pengetahuan tersebut, tentunya Allah tidak akan menyuruh manusia untuk melakukannya. Dan orang yang tidak mau menggunakan akal untuk memperoleh iman dan pengetahuan mengenai Allah berarti meninggalkan kewajiban yang diperintah ayat-ayat tersebut. Namun akal menurut Al-Maturidi, tidak mampu mengetahui kewajiban-kewajiban lainnya. Dalam masalah baik dan buruk, Al-Maturidi berpendapat bahwa penentu baik dan buruk sesuatu itu terletak pada suatu itu sendiri, sedangkan perintah atau larangan syari’ah hanyalah mengikuti ketentuan akal mengenai baik dan buruknya sesuatu. Dalam kondisi demikian, wahyu diperoleh untuk dijadikan sebagai pembimbing. Al-Maturidi membagi kaitan sesuatu dengan akal pada tiga macam, yaitu: 

a.       Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu.

b.      Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebutuhan sesuatu itu.

c.       Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu, kecuali dengan petunjuk ajaran wahyu.

Jadi, yang baik itu baik karena diperintah Allah, dan yang buruk itu buruk karena larangan Allah. Pada konteks ini, Al-Maturidi berada pada posisi tengah dari Mu’tazilah dan Al-Asy’ari. 

2.      Perbuatan manusia

Menurut Al-Maturidi perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaannya. Dalam hal ini, Al-Maturidi mempertemukan antara ikhtiar sebagai perbuatan manusia dan qudrat Tuhan sebagai pencipta perbuatan manusia. Dengan demikian tidak ada pertentangan antara qudrat tuhan yang menciptakan perbuatan manusia dan ikhtiar yang ada pada manusia. Kemudian karena daya di ciptakan dalam diri manusia dan perbuatan yang di lakukan adalah perbuatan manusia sendiri dalam arti yang sebenarnya, maka tentu daya itu juga daya manusia.

3.      Kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. 

Menurut Al-Maturidi qudrat Tuhan tidak sewenang-wenang (absolut), tetapi perbuatan dan kehendaknya itu berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkannya sendiri.

4.      Sifat Tuhan

Dalam hal ini faham Al-Maturidi cenderung mendekati faham mu’tzilah. Perbedaan keduanya terletak pada pengakuan Al-Maturidi tentang adanya sifat-sifat Tuhan, sedangkan mu’tazilah menolak adanya sifat-sifat Tuhan.

5.      Melihat Tuhan 

Al-Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan. Hal ini diberitahukan oleh Al-Qur'an, antara lain firman Allah dalam surat Al-Qiyamah ayat 22 dan 23. Namun melihat Tuhan, kelak di akherat tidak dalam bentuknya, karena keadaan di akherat tidak sama dengan keadaan di dunia. 

6.      Kalam Tuhan 

Al-Maturidi membedakan antara kalam yang tersusun dengan huruf dan bersuara dengan kalam nafsi (sabda yang sebenarnya atau kalam abstrak). Kalam nafsi adalah sifat qadim bagi Allah, sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan suara adalah baharu (hadist). Kalam nafsi tidak dapat kita ketahui hakikatnya bagaimana Allah bersifat dengannya (bila kaifa) tidak di ketahui, kecuali dengan suatu perantara.

7.      Perbuatan manusia 

Menurut Al-Maturidi, tidak ada sesuatu yang terdapat dalam wujud ini, kecuali semuanya atas kehendak Tuhan, dan tidak ada yang memaksa atau membatasi kehendak Tuhan kecuali karena ada hikmah dan keadilan yang ditentukan oleh kehendak-Nya sendiri. Oleh karena itu, tuhan tidak wajib berbuat ash-shalah wa-al ashlah (yang baik dan terbaik bagi manusia). Setiap perbuatan tuhan yang bersifat mencipta atau kewajiban-kewajiban yang di bebankan kepada manusia tidak lepas dari hikmah dan keadilan yang di kehendaki-Nya. Kewajiban-kewajiban tersebut adalah : 

a.       Tuhan tidak akan membebankan kewajiban-kewajiban kepada manusia di luar kemampuannya karena hal tersebut tidak sesuai dengan keadilan, dan manusia juga di beri kemerdekaan oleh tuhan dalam kemampuan dan perbuatannya. 

b.      Hukuman atau ancaman dan janji terjadi karena merupakan tuntunan keadilan yang sudah di tetapkan-Nya.

8.      Pelaku dosa besar 

Al-Maturidi berpendapat bahwa orang yang berdosa besar tidak kafir dan tidak kekal di dalam neraka walaupun ia mati sebelum bertobat. Hal ini karena tuhan sudah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. Kekal di dalam neraka adalah balasan untuk orang yang berbuat dosa syirik. Dengan demikian, berbuat dosa besar selain syirik tidak akan menyebabkan pelakunya kekal di dalam neraka. Oleh karena itu, perbuatan dosa besar (selain syirik) tidaklah menjadikan seseorang kafir atau murtad.

9.      Pengutusan Rasul 

Pandangan Al-Maturidi tidak jauh beda dengan pandangan mu’tazilah yang berpendapat bahwa pengutusan Rasul ke tengah-tengah umatnya adalah kewajiban Tuhan agar manusia dapat berbuat baik dan terbaik dalam kehidupannya. Pengutusan rasul berfungsi sebagai sumber informasi. Tanpa mengikuti ajarannya wahyu yang di sampaikan rasul berarti manusia telah membebankan sesuatu yang berada di luar kemampuannya kepada akalnya.


2.7. Dalil Al-Qur’an Yang Menjadi Landasan Masing-masing

1.      Dalil al-Qur’an yang menjadi landasan aliran Asy’ariyah

 وَٱللَّهُ خَلَقَكُمۡ وَمَا تَعۡمَلُونَ ٩٦ 

96. Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu"

وَمَا تَشَآءُونَ إِلَّآ أَن يَشَآءَ ٱللَّهُۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمٗا ٣٠ 

30. Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana

إِنَّمَا قَوۡلُنَا لِشَيۡءٍ إِذَآ أَرَدۡنَٰهُ أَن نَّقُولَ لَهُۥ كُن فَيَكُونُ ٤٠ 

40. Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: "kun (jadilah)", maka jadilah ia.

2.      Dalil al-Quran yang menjadi landasan al-Maturidiah

وُجُوهٞ يَوۡمَئِذٖ نَّاضِرَةٌ ٢٢  إِلَىٰ رَبِّهَا نَاظِرَةٞ ٢٣ 

22. Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri

23. Kepada Tuhannyalah mereka melihat


No comments:

Post a Comment

Pemikiran Kalam Indonesia (H.M. Rasyidi dan H.M Nasution)

 1. Profil H.M. Rasjidi Prof. Dr. H. M. Rasjidi dilahirkan di Kotagede, Yogyakarta, hari Kamis Pahing tanggal 20 Mei 1915, saat kalender Hij...