Bismillahirrahmanirrahim.
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
HALO, MANTEMAN!
Berjumpa lagi dengan Ajeng di blog^^
Yuk kita lanjut bersama-sama ke pembahasan tentang Sejarah Perkembangan dan Faktor Munculnya Ilmu Kalam.
A. Sejarah Perkembangan Ilmu Kalam
1. Masa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
Pada masa Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam, umat Islam bersatu. Hal ini disebabkan jika ada pendapat di antara kaum muslimin dapat langsung ditanyakan kepada beliau. Namun, pada fase Mekah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga dihadapkan banyak tantangan saat itu, seperti perlawanan kelompok musyrikin Quraisy yang tidak mau menerima ajaran beliau shallallahu 'alaihi wa sallam dan berusaha merusak serta memusuhinya dan para pengikutnya, beliau juga harus menghadapi tantangan dari ahli kitab yang terdiri atas dua kelompok penganut agam Nasrani dan Yahudi, sedangkan beliau juga harus memberikan pembinaan akidah Islam kepada para sahabat yang telat mengikuti seruan ajaran beliau shallallahu 'alaihi wa sallam agar akidah dan keimanan mereka semakin kuat dan tidak kembali lagi pada akidah sebelumnya.
Dalam menghadapi tantangan-tantangan tersebut, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memiliki cara-cara yang bijaksana dan patut dijadikan teladan. Kepada ahli kitab, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh para sahabat untuk bersikap imbang, tidak menyalahkan dan tidak membenarkan tentang apa saja yang mereka beritakan. Kepada kaum musyrikin Quraisy, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengajarkan kepada para sahabatnya untuk bersikap tegas dan keras karena sistem kepercayaan mereka benar-benar salah dan harus diperbaiki.
Beberapa sebab penyimpangan akidah pada masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:
1. Orang-orang yang terus terkurung dalam kejahilan karena tidak dapat membedakan antara kenabian dan kekuasaan.
2. Kebiasaan orang Arab yang selalu mengagungkan keturunan dan golongan.
3. Adanya kaum munafik yang selalu menggerogoti keyakinan umat.
4. Adanya orang yang mengaku nabi setelah Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam.
2. Masa Abu Bakar Ash-Shidiq (11-13 H/632-634 M)
Rasulullah tidak mengajarkan cara pemilihan pemimpin sehingga muncul permasalahan ketika para sahabat harus menentukan pemimpin atau khalifah pengganti beliau. Kaum Anshar menekankan pada persyaratan jasa dan mengajukan calon Sa’ad Bin Ubadah. Kaum Muhajirin menekankan pada persyaratan kesetiaan dan mengajukan Abu Ubaidah Bin Jarrah. Sementara itu, ahlul bait menginginkan Ali Bin Abi Thalib yang menjadi khalifah atas dasar kedudukannya dalam Islam, menantu dan karib Rasulullah. Hampir saja terjadi perpecahan diantara mereka. Namun, melalui perdebatan dengan beradu argumentasi, akhirnya terjadinya pemilihan yang berlangsung secara demokratis di Muktamar Saqifah bani Sa’idah. Pemilihan yang terjadi saat itu memenuhi tata cara perundingan yang dikenal dunia modern saat ini. Dari pemilihan tersebut akhirnya terpilihlah Abu Bakar dan disetujui oleh jamaah kaum muslimin untuk menduduki jabatan khalifah.
Sebagai khalifah pertama, Abu Bakar dihadapkan pada keadaan masyarakat yang kacau sepeninggal Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Banyak yang memilih kembali pada keyakinan lamanya (murtad). Bermunculan orang-orang yang mengaku nabi, dan orang-orang enggan yang membayar zakat. Meski terjadi perbedaan pendapat tentang tindakan yang akan dilakukan dalam menghadapi kesulitan tersebut, namun kebesaran jiwa dan ketabahan hatinya tetap kelihatan. Beliau bersumpah akan memerangi semua golongan yang menyimpang kebenaran. Kekuasaan yang dijalankan pada masa Abu Bakar sebagaimana pada masa Rasulullah, bersifat sentral, kekuasaan legilslatif, eksekutif, dan yudikatif berpusat di tangan khalifah. Selain menjalankan roda pemerintahan khalifah juga melaksanakan penegakan hukum. Khalifah Abu Bakar selalu mengajak para sahabatnya bermusyawarah pada setiap pengambilan keputusan. Kemudian Abu bakar Ash-Shiddiq menjadi Khalifah hanya 2 tahun, karena tak lama ia jatuh sakit. Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, ia menunjuk Umar bin Khattab sebagai pengganti setelahnya.
3. Masa Umar bin Khaththab (13-23 H/634-644 M)
Umar bin Khaththab diangkat dan dipilih oleh para pemuka masyarakat dan disetujui oleh jamaah kaum muslimin. Pada saat itu menderita sakit dan menjelang ajal tiba, Abu Bakar melihat situasi negara masih labil dan pasukan bertempur di medan perang. Kondisi ini tidak boleh terpecah belah akibat perbedaan keinginan tentang siapa calon penggantinya. Maka beliau memilih Umar bin Khattab dan pilihannya ini sudah dimintakan pendapat dan persetujuan pemuka masyarakat, walaupun sempat ada golongan yang menentang keputusannya.
Di antara perkembangan-perkembangan pada masa Khalifah Umar bin Khaththab adalah pemberlakuan ijtihad, penghapusan hukum nikah mut'ah, lahirnya ilmu fikih, pengadaan tahun hijriah, dan masih banyak lagi.
4. Masa Utsman bin Affan (23-35 H/644-656 M)
Utsman bin Affan dipilih dan diangkat dari beberapa calon pilihan Khalifah Umar bin Khattab menjelang wafatnya karena pembunuhan yang dilakukan oleh Fairuz(AbuLu’lu’ah), seorang budak mugirah. Beberapa calon tersebut adalah Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Sa’ad bin Abi Waqas, Abdurrahman bin Auf, Zubair bin Awwam, Talhah bin Ubaidillah, dan Abdullah bin Umar. Beliau menunjuk mereka sebagai pengganti yang menurutinya dan pengamatan mayoritas kaum muslimin memang pantas menduduki jabatan khalifah.
Pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan mengalami masa kemakmuran dan keberhasilan dalam beberapa tahun pertama. Beliau melanjutkan kebijakan-kebijakan Khalifah Umar. Pada separuh terakhir masa pemerintahannya, muncul kekecewaan dan ketidakpuasan dikalangan masyarakat, karena beliau mulai mengambil kebijakan yang berbeda dari sebelumnya. Utsman bin Affan mengangkat keluarganya(BaniUmayyah) pada kedudukan yang tinggi. Beliau mengadakan penyempurnaan pembagian kekuasaan pemerintahan. Utsman bin Affan menekankan sistem kekuasaan pusat yang menguasai seluruh pendapatan provinsi dan menetapkan seorang juru hitung dari keluarganya sendiri.
5. Masa Ali bin Abi Thalib (35-40 H/656-661 M)
Ali bin Abi Thalib tampil memegang pucuk kepemimpinan negara di tengah-tengah kepemimpinan negara di tengah-tengah kericuhan dan huru-hara perpecahan akibat terbunuhnya Usman bin Affan oleh pemberontak. Ali bin Abi Thalib diangkat dan dipilih oleh jamaah kaum muslimin di Madinah dalam suasana yang sangat kacau. Pada masa pemerintahannya, Ali bin Abi Thalib menghadapi penyerangan Thalhah, Zubair, dan Aisyah yang dikenal dengan Perang Jamal.
Bersamaan dengan itu, kebijakan-kebijakan Ali juga mengakibatkan timbulnya perlawanan dari gubernur Damaskus, yaitu Muawiyah. Pertempuran ini dikenal dengan Perang Siffin. Perang ini diakhiri dengan tahkim (arbitrase) yang juga menjadi penyebab timbulnya golongan ketiga, yaitu Khawarij. Khawarij berpendapat bahwa persoalan saat itu tidak dapat diputuskan dengan tahkim, namun keputusan itu hanya datang dari Allah dengan kembali kepada hukum-hukum yang ada di dalam Al-Qur'an.
6. Masa Dinasti Umayyah
Akibat dari kekacauan politik pada masa Khalifah Utsman bin ‘Affan dan Ali, timbul beberapa golongan dalam Islam, yaitu golongan Khawarij, Syi’ah dan Murji’ah. Golongan ini pada mulanya tumbuh disebabkan ada unsur politik, namun pada kelanjutannya berkembang menjadi aliran keagamaan. Hal ini terjadi disebabkan masing-masing berusaha untuk memperkuat pendirian-pendirian politik mereka dengan menggunakan dalih agama yang bisa menguntungkan politik mereka.
7. Masa Dinasti Abbasiyyah
Peradaban Islam mengalami puncak kejayaan pada masa daulah Abbasiyah. Perkembangan ilmu pengetahuan sangat maju yang di awali dengan penerjemah naskah asing terutama yang berbahasa Yunani ke dalam bahasa Arab, pendirian pusat perkembangan ilmu, dan perpustakaan dan terbentuknya mahzahab ilmu pengetahuan dan keagamaan sebagai buah dari kebebasan berfikir. Dinasti Abbasiyah merupakan dinasti Islam yang paling berhasil dalam mengembangkan peradaban Islam. Para ahli sejarah tidak meragukan hasil kerja para pakar pada masa pemerintahan dinasti Abbasiyah dalam memajukan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam.
Di samping itu pula ilmu filsafat, logika, metafisika, matematika, ilmu alam, geografi, al jabar, aritmatika, dll masuk ke dalam Islam melalui terjemahan dari bahasa Yunani Persia ke dalam bahasa Arab, di samping bahasa India. Lembaga pendidikan masa Dinasti Abbasiyah mengalami perkembangan dan kemajuan sangat besar. Hal ini sangat ditentukan oleh perkembangan bahasa Arab, baik sebagai bahasa administrasi yang sudah berlaku sejak Bani Umayyah, maupun sebagai bahasa ilmu pengetahuan.