1. Profil H.M. Rasjidi
Prof. Dr. H. M. Rasjidi dilahirkan di Kotagede, Yogyakarta, hari Kamis Pahing tanggal 20 Mei 1915, saat kalender Hijriyah menunjukkan angka 4 Rajab 1333. Pada masa kecilnya, Rasjidi bersekolah di Sekolah Ongko Loro, Kotagede. Kemudian pindah ke Kweekschool Muhammadiyah, Ngabean. Pada usia 14 tahun, Rasjidi yang mulai beranjak remaja meneruskan sekolah ke Sekolah Al-Irsyad di Lawang, Jawa Timur. Ia berguru pada Syeikh Surkati.
Dalam usia belasan, Rasjidi sudah mampu membaca dan paham buku-buku rujukan yang bisa dibilang berat, seperti buku Alfiah karya Ibnu Malik yang membahas gramatika Bahasa Arab. Buku lain yang dikuasai adalah Matan as-Sullam, buku tentang logika yang ditulis murid Plato, yakni Aristoteles. Kecendekiawanan Rasjidi mulai terlihat ketika bersekolah di Perguruan Al-Irsyad ini.
Selepas itu, Rasjidi melanjutkan pendidikan di Negeri Mesir. Rasjidi masuk sekolah Darul Ulum di bawah administrasi Universitas Al-Azhar. Untuk masuk ke sana, Rasjidi perlu mendaftar sekolah persiapan (Madrasah Taijiziyah), sambil mengikuti pendidikan privat dari intelektual Mesir kenamaan, Sayyid Quthb, ideolog Ikhwanul Muslimin. Rasjidi juga belajar aneka bahasa, seperti Inggris dan Perancis. Beberapa waktu berlalu, Rasjidi yang saat itu sudah hapal 3 Juz Al-Qur’an, akhirnya lulus dan diterima di Darul Ulum.
Selepas lulus dari Darul Ulum, remaja Kotagede itu memilih jurusan Filsafat dan Agama di Universitas Kairo, hingga lulus dengan gelar Licence (Lc) pada tahun 1938 dan kemudian pulang ke Indonesia.
Belum sampai sebulan di tanah kelahiran, Rasjidi diminta keluarga untuk menikahi Siti Sa’adah, pada 26 Oktober 1938 di Kotagede. Setelah Rasjidi menikah, ia diamanahi oleh sang mertua untuk menjalani usaha. Sembari bekerja, Rasjidi juga mengajar di Madrasah Ma’had Islamiy pimpinan KH. Amir dan bergabung dengan Partai Islam Indonesia (PII) dan diperbantukan di bidang kesekretariatan. Ia juga bergiat di Islam Studie Club pimpinan Mr. Kasmat, suatu wadah diskusi bagi cendikiawan dan ulama.
Pada masa pemerintahan Jepang, Rasjidi pindah ke Jakarta mengurus Perpustakaan Islam yang bertempat di sebuah gedung di Tanah Abang. Saat itu Rasjidi sudah memiliki putri bernama Siti Noorainah berusia 1,5 tahun, serta putra bernama Abdulsalam yang baru berusia beberapa bulan. Anak dan istri turut diboyong ke Jakarta. Ketika Bung Hatta membentuk badan pendidikan bernama Sekolah Tinggi Islam, Rasjidi kemudian diangkat sebagai sekeretaris senat guru besar. Beberapa waktu kemudian Indonesia merdekadan Rasjidi menyalin berita proklamasi kemerdekaan itu ke dalam bahasa Arab lalu menyiarkannya melalui radio.
Pada saat Kabinet Sjahrir dibentuk tanggal 14 November 1945, dengan 16 kementerian. Rasjidi kemudian ditunjuk untuk memimpin Kementerian Negara, berkantor di Jalan Cilacap 4, Jakarta. Menteri Rasjidi pergi ke kantor setiap hari dari rumahnya di Kebon Kacang dengan menggunakan sepeda. Setelah sekitar 2 bulan menjabat sebagai Menteri Negara, Rasjidi ditunjuk untuk menjadi Menteri Agama. Pada tanggal 3 Januari 1946 bertepatan dengan hijrahnya Pimpinan Pemerintah RI dari Jakarta ke Yogyakarta, Rasjidi berpidato di depan corong RRI Yogyakarta dan mengumumkan, bahwa sejak tanggal itu secara resmi Republik Indonesia mempunyai Kementerian Agama.
Rasjidi menjabat sebagai Menteri Agama pada Kabinet Sjahrir II hanya selama 7 bulan kurang sepuluh hari, karena pada 2 Oktober 1946 Sjahrir harus mengembalikan mandatnya kepada Kepala Negara, akibat kuatnya pihak oposisi.
Rasjidi menjadi bagian dari Delegasi Diplomatik RI yang dipimpin Haji Agus Salim dengan beranggotakan Mr. Nazir Dt. Pamuntjak, Abdul Kadir, Abdul Rachman Baswedan. Pada tanggal 17 Maret 1947, delegasi tersebut terbang menuju Mesir. Pengakuan diplomati dari negara-negara Arab kemudian diperoleh perkat usaha-usaha tim ini. Rasjidi kemudian terus berjuang di Timur Tengah dan sempat menjabat Duta Besar Indonesia di Mesir (1951-1953), kemudian ia pindah ke Teheran, Iran, menjadi Duta Besar di sana sekaligus merangkap pula menjadi Duta Besar untuk Afghanistan (1953-1954).
Selepas itu ia pulang ke tanah air dan menjabat Dirjen Penerangan Departemen Luar Negeri. Kemudian ditempatkan di Akademi Dinas Luar Negeri (ADLN) dengan kedudukan sebagai administrator. Selama di Jakarta Rasjidi dan keluarga tinggal di Jalan Diponegoro 42. Setelah itu dengan bantuan Rockefeller Foundation Rasjidi kemudian melanjutkan pendidikan doktoral di Universitas Sorbonne, Perancis, selama 2 tahun. Ia lulus pada 23 Maret 1956 dengan disertasi berjudul “Evolution del’Islam en Indonesie ou Consideration Critique du Livre Tjentini”. Ijazah yang diberikan padanya ditandai dengan tulisan Faculte des Letters Doctorat de l’Universite de Paris. Tak lama setelah itu, Rasjidi diangkat Anak Agung Gede Agung (Menteri Luar Negeri di Kabinet Burhanuddin Harahap) sebagai Duta Besar Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk Republik Islam Pakistan, berkedudukan di Karachi. Presiden Pakistan kala itu ialah Mayjen Iskandar Mirza, seorang militer yang menggantikan Ali Jinnah.
Pada tahun 1958, Rasjidi dan keluarganya –yang saat itu tinggal bersamanya di Karachi– berangkat ke Montreal, dengan melewati Hamburg dan London. Ia meminta cuti di luar tanggungan pemerintah (selama 5 tahun) dan kemudian mengajar di McGill University. Rasjidi mengajar Hukum Islam dan Sejarah di Institute of Islamic Studies yang dipimpin Prof. Wilferd Cantwell Smith. Di sana lahir putra ketiganya bernama Qasim pada tanggal 6 Desember 1958.Pada tahun 1963 Rasjidi meninggalkan Kanada, dan menjadi wakil direktur Islamic Centre di Washington, AS.
Pada 1967, ia kembali ke Tanah Air. Rasjidi diminta untuk bekerja di Rabithah Alam Islami yang juga punya kantor di Indonesia. Sambil bekerja, Rasjidi mulai mencari waktu luang untuk menulis buku, di antaranya adalah buku Filsafat Agama. Rasjidi juga diminta langsung oleh dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof. Dr. Subekti, untuk mengajar Hukum Islam di sana. Kemudian pada 20 April 1968, ditetapkanlah Rasjidi sebagai guru besar bidang Hukum Islam dan Lembaga-Lembaga Islam, dengan pidato pengukuhan berjudul Islam di Indonesia di Zaman Modern. Rasjidi juga mengajar Ilmu Filsafat pada program pascasarjana IAIN Jakarta.
Selama hidupnya, ia telah menulis banyak buku. Di antaranya:
1. Koreksi Terhadap Drs. Nurcholis Madjid tentang Sekularisasi
2. Filsafat Agama
3. Islam dan Indonesia di Zaman Modern (Pidato Pengukuhan Guru Besar FH UI)
4. Islam dan Kebatinan
5. Keutamaan Hukum Islam
6. Mengapa Aku Tetap Memeluk Agam Islam?
7. Islam Menentang Komunisme
8. Islam dan Sosialisme
9. Sikap Umat Islam Terhadap Ekspansi Kristen
10. Agama dan Etika
11. Di Sekitar Kebatinan
12. Kasus RUU Perkawinan Dalam Hubungan Islam dan Kristen (buku yang dilarang pemerintah kala itu)
13. Empat Kuliah Agama Islam Pada Perguruan Tinggi (diterbitkan kembali oleh Kalam Ilmu Indonesia dan Depok Islamic Study Circle Masjid UI, 2011)
14. Sidang Raya Gereja Sedunia di jakrta 1975: Artinya Bagi Dunia Islam
15. Koreksi Terhadap Dr. harun Nasution tentang “Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya”.
16. Strategi Kebudayaan dan Pembaruan Pendidikan Nasional
17. Apakah itu Syi’ah?
18. Unity and Diversity in Islam (dalam Prof. Kenneth Morgan, Islam the Straight Path)
19. Terjemahan buku Bibel, Qur’an dan Sains Modern karya Maurice Bucaille
20. Terjemahan buku Janji-janji Islam karya Roger Garaudy
21. Terjemahan buku Humanisme dalam Islam karya Dr. Marcel Boisard
22. Terjemahan buku Persoalan-persoalan Filsafat oleh Titus cs.
Prof. Dr. H. Rasjidi wafat di Rumah Sakit Islam Jakarta, pada 30 Januari 2001, di usia 86 tahun. Beliau dimakamkan di pemakaman keluarga di Kotagede, dengan dihadiri para tokoh Dewan Dakwah seperti K.H. Hussein Umar, Hardi M. Arifin, dan tokoh Islam lainnya. Selain pencapaian dakwah yang sangat berharga bagi umat Islam di Indonesia, beliau mewariskan buku-bukunya untuk perpustakaan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, serta sebuah mobil tua untuk menunjang kegiatan lembaga tersebut.
Sampai saat ini, penghargaan tertinggi dari pemerintah yang diterimanya adalah Bintang Mahaputera. Beliau amat pantas menerima yang lebih dari itu, yakni Pahlawan Nasional, sesuai pencapaian perjuangan dan pengorbanannya untuk kejayaan agama dan bangsa. Sambil menunggu gelar tersebut diberikan oleh pemerintah, nama Prof. Dr. H. M. Rasjidi harus hidup sebagai pahlawan di dalam dada generasi muda Islam di Indonesia. Sebab beliau tetaplah Guru Bangsa yang amat perlu dihormati.
2. Pemikiran Kalam H.M Rasyidi
Pemikiran kalam beliau banyak yang berbeda dari beberapa tokoh seangkatannya. Hal ini dilihat dari kritikan beliau terhadap Harun Nasution, dan Nurcholis Majid. Secara garis besar pemikiran kalamnya dapat dikemukakan sebagai berikut:
a) Tentang perbedaan ilmu kalam dan teologi.
Rasyidi menolak pandangan Harun Nasution yang menyamakan pengertian ilmu kalam dan teologi. Untuk itu Rasyidi berkata, “…Ada kesan bahwa ilmu kalam adalah teologi Islam dan teologi adalah ilmu kalam Kristen”. Selanjutnya Rasyidi menelurusi sejarah kemunculan teologi. Menurutnya, orang Barat memakai istilah teologi untuk menunjukkan tauhid atau kalam karena mereka tak memiliki istilah lain. Teologi terdiri dari dua perkata, yaitu teo (theos) artinya Tuhan, dan logos, artinya ilmu. Jadi teologi berarti ilmu ketuhanan. Adapun sebab timbulnya teologi dalam Kristen adalah ketuhanan Nabi Isa, sebagai salah satu dari tri-tunggal atau trinitas. Namun kata teologi kemudian mengandung beberapa aspek agama Kristen, yang di luar kepercayaan (yang benar), sehingga teologi dalam Kristen tidak sama dengan tauhid atau ilmu kalam.
b) Tema-tema ilmu kalam
Salah satu tema ilmu kalam Harun Nasution yang dikritik oleh Rasyidi adalah deskripsi aliran-aliran kalam yang sudah tidak relevan lagi dengan kondisi umat Islam sekarang, khususnya di Indonesia. Untuk itu, Rasyidi berpendapat bahwa menonjolnya perbedaan pendapat antara Asy’ariyah dan Mu’tazilah, sebagaimana dilakukan Harun Nasution, akan melemahkan iman para mahasiswa. Memang tidak ada agama yang mengagungkan akal seperti Islam, tetapi dengan menggambarkan bahwa akal dapat mengetahui baik dan buruk, sedangkan wahyu hanya membuat nilai yang dihasilkan pikiran manusia bersifat absolute-universal, berarti meremehkan ayat-ayat al-Qur’an seperti:
وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ
Artinya; “Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (Q.S. Al-Baqarah: 232)
Rasyid kemudian menegaskan pada saat ini, di Barat sudah dirasakan bahwa akal tidak mampu mengetahui baik dan buruk. Buktinya adalah kemunculan eksistensialisme sebagai reaksi terhadap aliran rasionalisme. Rasyidi mengakui bahwa soal-soal yang pernah diperbincangkan pada dua belas abad yang lalu, masih ada yang relevan untuk masa sekarang, tetapi ada pula yang sudah tidak relevan. Pada waktu sekarang, demikian Rasyidi menguraikan, yang masih dirasakan oleh umat Islam pada umumnya adalah keberadaan Syi’ah.
c) Hakikat iman
Bagian ini merupakan kritikan Rasyidi terhadap deskripsi iman yang diberikan Nurcholis Madjid, yakni:
“Percaya dan menaruh kepercayaan kepada Tuhan. Dan sikap apresiatif kepada Tuhan merupakan inti pengalaman keagamaan seseorang. Sikap ini disebut takwa. Takwa diperkuat dengan kontak yang kontinu dengan Tuhan. Apresiasi ketuhanan menumbuhkan kesadaran ketuhanan yang menyeluruh, sehingga menumbuhkan keadaan bersatunya hamba dengan Tuhan”.
Menanggapi pernyataan di atas Rasyidi mengatakan bahwa iman bukan sekedar menuju bersatunya manusia dengan Tuhan, tetapi dapat dilihat dalam dimensi konsekuensial atau hubungan dengan manusia dengan manusia, yakni hidup dalam masyarakat. Bersatunya seseorang dengan Tuhan tidak merupakan aspek yang mudah dicapai, mungkin hanya seseorang saja dari sejuta orang. Jadi, yang terpenting dari aspek penyatuan itu adalah kepercayaan, ibadah dan kemasyarakatan.
B. Harun Nasution
1. Riwayat Singkat Harun Nasution
Harun Nasution adalah seorang teolog islam modern yang bercorak pemikiran rasional. Dengan corak pemikiran teologinya yang demikian itu, Harun Nasution dikenal pula sebagai ilmuwan yang banyak mengemukakan gagasan-gagasan dan pemikiran yang berbeda dengan pemikiran yang umumnya dianut Umat Islam di Indonesia. Beliau dilahirkan di Pematangsianar, daerah Tapanuli Selatan, Sumatra Utara, pada hari selasa, 25 September1919. Ia adalah putra dari lima bersaudara, yakni, Muhammad Ayyub, Khalil, Sa’idah, Harun, dan Hafsah. Ayahnya bernama Abdul Jabbar Ahmad, seorang ulama kelahiran Mandailing yang berkecukupan serta pernah menduduki jabatan sebagai Qadi, penghulu, Kepala Agama, Hakim Agama dan Imam Masjid di Kabupaten Simalungun. Sedangkan ibunya yang berasal dari Tanah Bato adalah seorang putrid ulama asal mandaling dan masa gadisnya pernah bermukim di Makkah dan pandai bahasa Arab. Kedua orang tua Harun Nasution yang berpendidikan agama yang demikian itu telah memberikan sumbangan dan peran yang amat besar dalam menanamkan pendidikan agamanya.
Setelah itu Harun melanjutkan pendidikan ke sekolah agama yang bersemangat modern Moderne Islamietische Kweekschool (MIK). Setelah sekolah di MIK, ternyata sikap keberagamaan Harun mulai tampak berbeda dengan sikap keberagamaan yang selama ini dijalankan oleh orang tuanya, termasuk lingkungan kampungnya. Harun bersikap rasional sedang orang tua dan lingkungannya bersikap tradisional. Di sinilah Harun nasution pertamakali berhubungan dengan pemikir modern islam, seperti yang dikembangkan oleh sejumlah sarja islam yang terkemuka seperti, Hamka, Zainal Abiding, dan Jamil Jambek. Di sinilah Harun Nasution memulai karirnya sebagai orang yang rasional, beliau bertutur pada MIK ini sebagai berikut “Di sana ku memakai dasi, dan diajarkan bahwa memelihara anjing tidak haram. Itu yang kupelajari dan kurasa cocok, kupikir mengapa harus berat-berat mengambil wubhu dahulu hanya untuk mengankat Al-Qur`an, terpikir pula, apa beda Al-Qur`an dengan kertas biasa, Al-Quran yang kupegan itu adalah kertas bukan wahyu, Wahynya tidak di situ. Apa salahnya memegang kertas tanpa wudhu lebih dahulu begitu pula soal sholat, memakai ushali atau tidak bagiku sama saja..”
Melihat perkembangan pemikiran Harun Nasution yang demikian itu, ayahnya yang semula memaksa Harun Nasution belajar di MIK malah bebalik melarangnya dan meminta anaknya keluar dari sekolah tersebut dan melanjutkan disebuah sekolah guru Muhammadiyah di Solo. Namun Harun Nasution tidak pergi ke Solo melainkan pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji dan sekaligus belajar pengetahuan agama Islam di Tanah Suci itu, upaya ini dilakukan karena menurut orang tuanya, pengetahuan umum yang diperoleh Harun Nasution dari sekolah Belanda sudah cukup. Selanjutnya ia harus mendalami Islam di Mekkah agar lebih lurus pemikirannya. Kemudian Ia melanjutkan pendidikan di Ahliyah Universitas Al-Azhar pada tahun 1940. Di Mesir, dia mulai mendalami Islam pada Fakultas Ushuluddin, Universitas Al-Azhar, di Kairo. Dan pada tahun 1952, meraih gelar sarjana muda di American University of Cairo. Harun nasution sangat tertarik dengan negeri mesir karena negeri itu sudah berkembang dengan pesat dan hasilnya tampak nyata dengan munculnya tokoh-tokoh penting Indonesia seperti Muhammad yunus, Mukhtar Yahya, Bustami A. Ghani. Pada tahun 1962, Harun nasution pergi ke McGill. Di Kanada Harun nasution menemukan apa yang diinginkannya dan memperoleh pandangan islam yang luas. Harun nasution belajar islam di McGill tidak seperti di Al-Azhar Mesir.
Di McGill, Harun Nasution banyak kesempatan belajar islam baik itu kesempatan ekonomi mau pun kesempatan waktu. Di McGill, Harun Nasution dengan mudah membeli buku karangan orang Pakistan maupun Orientalis. Setelah kuliah dua setengah tahun di McGill, Harun Nasution mendapat gelar MA, dengan tesisnya mengenai islam di Indonesia. Setelah beliau selesai memperoleh MA, Harun Nasution melanjutkan studinya dua setengah lagi guna memperoleh gelar Ph.D. gelar itu diperolehnya pada tahun 1968 setelah beliau menyelesaikan disertasinya yang berjudul “posisi akal dalam pemikiran teologi Muhammad Abduh”.
Disamping sebagai seorang pengajar, Harun Nasution juga dikenal sebagai penulis. Beberapa buku yang pernah ditulis oleh Harun Nasution antara lain:
a) Akal dan Wahyu dalam Islam (1981)
b) Filsafat Agama (1973)
c) Islam Rasional (1995)
d) Sejarah Pemikiran dan Gerakan (1975)
e) Islam ditinjau dari berbagai aspeknya
f) Teologi islam
2. Pemikiran Harun Nasution
a) Peranan Akal
Bukanlah secara kebetulan bila Harun Nasution memilih problematika akal dalam system teologi Muhammad Abduh sebagai bahan kajian disertasinya di Universitas Mogill, Mentreal, Kanada. Besar kecilnya peranan akal dalam system teologi suatau aliran sangat menentukan dinamis atau tidaknya pemahaman seseorang tentang ajaran Islam. Berkenaan dengan akal ini, Harun Nasution menulis demikian: “Akal melambangkan kekuatan manusia”. Karena akal manusia mempunyai kesanggupan untuk menaklukkan kekuatan makhluk lain disekitarnya. Bertambah tinggi akal manusia, bertambah tinggi pula kesanggupannya untuk mengalahkan makhluk lain. Bertambah lemah kekuatan akal manusia, bertambah lemah pulalah kesanggupannya untuk menghadapi kekuatan-kekuatan lain tersebut.
Dalam sejarah Islam, akal mempunyai kedudukan tinggi dan banyak dipakai, bukan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan saja, akan tetapi dalam perkembangan ajaran-ajaran keagamaan Islam sendiri. Pemikiran akal dalam Islam diperintahkan Al-Qur’an sendiri. Bukanlah tidak ada dasarnya apabila ada penulis-penulis, baik di kalangan Islam sendiri maupun di kalangan non-Islam, yang berpendapat bahwa Islam adalah agama rasional.
b) Pembaharuan Teologi
Pembaharuan teologi yang menjadi predikat Harun Nasution. Pada dasarnya dibangun atas asumsi bahwa keterbelakangan dan kemunduran umat Islam Indonesia (juga di mana saja) adalah disebabkan “ada yang salah” dalam teologi mereka. Pandangan ini serupa dengan pandangan kaum modernis lain pendahulunya (Muhammad Abduh, Rasyid Ridha Al-Afghani, Sayid Amer Ali, dan lain-lain) yang memandang perlu untuk kembali kepada teologi Islam yang sejati. Retorika ini mengandung pengertian bahwa umat Islam dengan teologi fatalistic, irasional, predeterminisme serta penyerahan nasib telah membawa nasib mereka menuju kesengsaraan dan keterbelakangan. Dengan demikian, jika hendak mengubah nasib umat Islam. Menurut Harun Nasution, umat Islam hendaklah mengubah teologi yang berwatak free-will rasional, serta mandiri. Tidak heran jika teori modernisasi ini selanjutnya menemukan teologi dalam khazanah Islam klasik sendiri yakni teologi Mu’tazilah.
c) Hubungan akal dan wahyu
Salah satu focus pemikiran Harun Nasution adalah hubungan akal dan wahyu. Ia menjelaskan bahwa hubungan akal dan wahyu memang menimbulkan pertanyaan, tetapi keduanya tidak bertentangan. Akal mempunyai kedudukan yang tinggi dalam Al-Qur’an. Orang yang beriman tidak perlu menerima bahwa wahyu sudah mengandung segala-galanya. Wahyu bahkan tidak menjelaskan semua permasalahan keagamaan.
Dalam pemikiran Islam, baik di bidang filsafat dan ilmu kalam, apalagi di bidang ilmu fiqih, akal tidak pernah membatalkan wahyu. Akal tetap tunduk kepada teks wahyu. Teks wahyu tetap dianggap benar. Akal dipakai untuk memahami teks wahu dan tidak untuk menentang wahyu. Akal hanya memberi interpretasi terhadap teks wahyu sesuai dengan kecenderungan dan kesanggupan pemberi interpretasi. Yang dipertentangkan dalam sejarah pemikiran Islam sebenarnya bukan akal dan wahyu, tetapi penafsiran tertentu dari teks wahyu dengan lain dari teks wahyu itu juga. Jadi, yang bertentangan sebenarnya dalam Islam adalah pendapat akal ulama tertentu dengan pendapat akal ulama lain.
Referensi
Anwar, Rosihan dan Abdul Razak, Ilmu Kalam, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2003.
Faqih, Mansoer, Mencari Teologi Tertindas (Kidmat Dan Kritik) Untuk Guruku Prof. Harun Nasution, dalam Suminto.
Halim. Abdul, Teologi Islam Rasional. Jakarta: Ciputat Pers, 2001
Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan Jakarta: UI Press, 2005
Rasjidi, H.M. Koreksi Terhadap Dr. Nurcholish Madjid tentang Sekularisasi, Jakarta: Bulang Bintang, 2007