Friday, December 18, 2020

Pemikiran Kalam Indonesia (H.M. Rasyidi dan H.M Nasution)

 1. Profil H.M. Rasjidi

Prof. Dr. H. M. Rasjidi dilahirkan di Kotagede, Yogyakarta, hari Kamis Pahing tanggal 20 Mei 1915, saat kalender Hijriyah menunjukkan angka 4 Rajab 1333. Pada masa kecilnya, Rasjidi bersekolah di Sekolah Ongko Loro, Kotagede. Kemudian pindah ke Kweekschool Muhammadiyah, Ngabean. Pada usia 14 tahun, Rasjidi yang mulai beranjak remaja meneruskan sekolah ke Sekolah Al-Irsyad di Lawang, Jawa Timur. Ia berguru pada Syeikh Surkati.

Dalam usia belasan, Rasjidi sudah mampu membaca dan paham buku-buku rujukan yang bisa dibilang berat, seperti buku Alfiah karya Ibnu Malik yang membahas gramatika Bahasa Arab. Buku lain yang dikuasai adalah Matan as-Sullam, buku tentang logika yang ditulis murid Plato, yakni Aristoteles. Kecendekiawanan Rasjidi mulai terlihat ketika bersekolah di Perguruan Al-Irsyad ini.

Selepas itu, Rasjidi melanjutkan pendidikan di Negeri Mesir. Rasjidi masuk sekolah Darul Ulum di bawah administrasi Universitas Al-Azhar. Untuk masuk ke sana, Rasjidi perlu mendaftar sekolah persiapan (Madrasah Taijiziyah), sambil mengikuti pendidikan privat dari intelektual Mesir kenamaan, Sayyid Quthb, ideolog Ikhwanul Muslimin. Rasjidi juga belajar aneka bahasa, seperti Inggris dan Perancis. Beberapa waktu berlalu, Rasjidi yang saat itu sudah hapal 3 Juz Al-Qur’an, akhirnya lulus dan diterima di Darul Ulum.

Selepas lulus dari Darul Ulum, remaja Kotagede itu memilih jurusan Filsafat dan Agama di Universitas Kairo, hingga lulus dengan gelar Licence (Lc) pada tahun 1938 dan kemudian pulang ke Indonesia.

Belum sampai sebulan di tanah kelahiran, Rasjidi diminta keluarga untuk menikahi Siti Sa’adah, pada 26 Oktober 1938 di Kotagede. Setelah Rasjidi menikah, ia diamanahi oleh sang mertua untuk menjalani usaha. Sembari bekerja, Rasjidi juga mengajar di Madrasah Ma’had Islamiy pimpinan KH. Amir dan bergabung dengan Partai Islam Indonesia (PII) dan diperbantukan di bidang kesekretariatan. Ia juga bergiat di Islam Studie Club pimpinan Mr. Kasmat, suatu wadah diskusi bagi cendikiawan dan ulama.

Pada masa pemerintahan Jepang, Rasjidi pindah ke Jakarta mengurus Perpustakaan Islam yang bertempat di sebuah gedung di Tanah Abang. Saat itu Rasjidi sudah memiliki putri bernama Siti Noorainah berusia 1,5 tahun, serta putra bernama Abdulsalam yang baru berusia beberapa bulan. Anak dan istri turut diboyong ke Jakarta. Ketika Bung Hatta membentuk badan pendidikan bernama Sekolah Tinggi Islam, Rasjidi kemudian diangkat sebagai sekeretaris senat guru besar. Beberapa waktu kemudian Indonesia merdekadan Rasjidi menyalin berita proklamasi kemerdekaan itu ke dalam bahasa Arab lalu menyiarkannya melalui radio.

Pada saat Kabinet Sjahrir dibentuk tanggal 14 November 1945, dengan 16 kementerian. Rasjidi kemudian ditunjuk untuk memimpin Kementerian Negara, berkantor di Jalan Cilacap 4, Jakarta. Menteri Rasjidi pergi ke kantor setiap hari dari rumahnya di Kebon Kacang dengan menggunakan sepeda. Setelah sekitar 2 bulan menjabat sebagai Menteri Negara, Rasjidi ditunjuk untuk menjadi Menteri Agama. Pada tanggal 3 Januari 1946 bertepatan dengan hijrahnya Pimpinan Pemerintah RI dari Jakarta ke Yogyakarta, Rasjidi berpidato di depan corong RRI Yogyakarta dan mengumumkan, bahwa sejak tanggal itu secara resmi Republik Indonesia mempunyai Kementerian Agama.

Rasjidi menjabat sebagai Menteri Agama pada Kabinet Sjahrir II hanya selama 7 bulan kurang sepuluh hari, karena pada 2 Oktober 1946 Sjahrir harus mengembalikan mandatnya kepada Kepala Negara, akibat kuatnya pihak oposisi.

Rasjidi menjadi bagian dari Delegasi Diplomatik RI yang dipimpin Haji Agus Salim dengan beranggotakan Mr. Nazir Dt. Pamuntjak, Abdul Kadir, Abdul Rachman Baswedan. Pada tanggal 17 Maret 1947, delegasi tersebut terbang menuju Mesir. Pengakuan diplomati dari negara-negara Arab kemudian diperoleh perkat usaha-usaha tim ini. Rasjidi kemudian terus berjuang di Timur Tengah dan sempat menjabat Duta Besar Indonesia di Mesir (1951-1953), kemudian ia pindah ke Teheran, Iran, menjadi Duta Besar di sana sekaligus merangkap pula menjadi Duta Besar untuk Afghanistan (1953-1954).

Selepas itu ia pulang ke tanah air dan menjabat Dirjen Penerangan Departemen Luar Negeri. Kemudian ditempatkan di Akademi Dinas Luar Negeri (ADLN) dengan kedudukan sebagai administrator. Selama di Jakarta Rasjidi dan keluarga tinggal di Jalan Diponegoro 42. Setelah itu dengan bantuan Rockefeller Foundation Rasjidi kemudian melanjutkan pendidikan doktoral di Universitas Sorbonne, Perancis, selama 2 tahun. Ia lulus pada 23 Maret 1956 dengan disertasi berjudul “Evolution del’Islam en Indonesie ou Consideration Critique du Livre Tjentini”. Ijazah yang diberikan padanya ditandai dengan tulisan Faculte des Letters Doctorat de l’Universite de Paris. Tak lama setelah itu, Rasjidi diangkat Anak Agung Gede Agung (Menteri Luar Negeri di Kabinet Burhanuddin Harahap) sebagai Duta Besar Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk Republik Islam Pakistan, berkedudukan di Karachi. Presiden Pakistan kala itu ialah Mayjen Iskandar Mirza, seorang militer yang menggantikan Ali Jinnah.

Pada tahun 1958, Rasjidi dan keluarganya –yang saat itu tinggal bersamanya di Karachi– berangkat ke Montreal, dengan melewati Hamburg dan London. Ia meminta cuti di luar tanggungan pemerintah (selama 5 tahun) dan kemudian mengajar di McGill University. Rasjidi mengajar Hukum Islam dan Sejarah di Institute of Islamic Studies yang dipimpin Prof. Wilferd Cantwell Smith. Di sana lahir putra ketiganya bernama Qasim pada tanggal 6 Desember 1958.Pada tahun 1963 Rasjidi meninggalkan Kanada, dan menjadi wakil direktur Islamic Centre di Washington, AS.

Pada 1967, ia kembali ke Tanah Air. Rasjidi diminta untuk bekerja di Rabithah Alam Islami yang juga punya kantor di Indonesia. Sambil bekerja, Rasjidi mulai mencari waktu luang untuk menulis buku, di antaranya adalah buku Filsafat Agama. Rasjidi juga diminta langsung oleh dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof. Dr. Subekti, untuk mengajar Hukum Islam di sana. Kemudian pada 20 April 1968, ditetapkanlah Rasjidi sebagai guru besar bidang Hukum Islam dan Lembaga-Lembaga Islam, dengan pidato pengukuhan berjudul Islam di Indonesia di Zaman Modern. Rasjidi juga mengajar Ilmu Filsafat pada program pascasarjana IAIN Jakarta.

Selama hidupnya, ia telah menulis banyak buku. Di antaranya:

1. Koreksi Terhadap Drs. Nurcholis Madjid tentang Sekularisasi

2. Filsafat Agama

3. Islam dan Indonesia di Zaman Modern (Pidato Pengukuhan Guru Besar FH UI)

4. Islam dan Kebatinan

5. Keutamaan Hukum Islam

6. Mengapa Aku Tetap Memeluk Agam Islam?

7. Islam Menentang Komunisme

8. Islam dan Sosialisme

9. Sikap Umat Islam Terhadap Ekspansi Kristen

10. Agama dan Etika

11. Di Sekitar Kebatinan

12. Kasus RUU Perkawinan Dalam Hubungan Islam dan Kristen (buku yang dilarang pemerintah kala itu)

13. Empat Kuliah Agama Islam Pada Perguruan Tinggi (diterbitkan kembali oleh Kalam Ilmu Indonesia dan Depok Islamic Study Circle Masjid UI, 2011)

14. Sidang Raya Gereja Sedunia di jakrta 1975: Artinya Bagi Dunia Islam

15. Koreksi Terhadap Dr. harun Nasution tentang “Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya”.

16. Strategi Kebudayaan dan Pembaruan Pendidikan Nasional

17. Apakah itu Syi’ah?

18. Unity and Diversity in Islam (dalam Prof. Kenneth Morgan, Islam the Straight Path)

19. Terjemahan buku Bibel, Qur’an dan Sains Modern karya Maurice Bucaille

20. Terjemahan buku Janji-janji Islam karya Roger Garaudy

21. Terjemahan buku Humanisme dalam Islam karya Dr. Marcel Boisard

22. Terjemahan buku Persoalan-persoalan Filsafat oleh Titus cs.

Prof. Dr. H. Rasjidi wafat di Rumah Sakit Islam Jakarta, pada 30 Januari 2001, di usia 86 tahun. Beliau dimakamkan di pemakaman keluarga di Kotagede, dengan dihadiri para tokoh Dewan Dakwah seperti K.H. Hussein Umar, Hardi M. Arifin, dan tokoh Islam lainnya. Selain pencapaian dakwah yang sangat berharga bagi umat Islam di Indonesia, beliau mewariskan buku-bukunya untuk perpustakaan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, serta sebuah mobil tua untuk menunjang kegiatan lembaga tersebut.

Sampai saat ini, penghargaan tertinggi dari pemerintah yang diterimanya adalah Bintang Mahaputera. Beliau amat pantas menerima yang lebih dari itu, yakni Pahlawan Nasional, sesuai pencapaian perjuangan dan pengorbanannya untuk kejayaan agama dan bangsa. Sambil menunggu gelar tersebut diberikan oleh pemerintah, nama Prof. Dr. H. M. Rasjidi harus hidup sebagai pahlawan di dalam dada generasi muda Islam di Indonesia. Sebab beliau tetaplah Guru Bangsa yang amat perlu dihormati.

2. Pemikiran Kalam H.M Rasyidi

Pemikiran kalam beliau banyak yang berbeda dari beberapa tokoh seangkatannya. Hal ini dilihat dari kritikan beliau terhadap Harun Nasution, dan Nurcholis Majid. Secara garis besar pemikiran kalamnya dapat dikemukakan sebagai berikut:

a) Tentang perbedaan ilmu kalam dan teologi. 

Rasyidi menolak pandangan Harun Nasution yang menyamakan pengertian ilmu kalam dan teologi. Untuk itu Rasyidi berkata, “…Ada kesan bahwa ilmu kalam adalah teologi Islam dan teologi adalah ilmu kalam Kristen”. Selanjutnya Rasyidi menelurusi sejarah kemunculan teologi. Menurutnya, orang Barat memakai istilah teologi untuk menunjukkan tauhid atau kalam karena mereka tak memiliki istilah lain. Teologi terdiri dari dua perkata, yaitu teo (theos) artinya Tuhan, dan logos, artinya ilmu. Jadi teologi berarti ilmu ketuhanan.  Adapun sebab timbulnya teologi dalam Kristen adalah ketuhanan Nabi Isa, sebagai salah satu dari tri-tunggal atau trinitas. Namun kata teologi kemudian mengandung beberapa aspek agama Kristen, yang di luar kepercayaan (yang benar), sehingga teologi dalam Kristen tidak sama dengan tauhid atau ilmu kalam. 

b) Tema-tema ilmu kalam

Salah satu tema ilmu kalam Harun Nasution yang dikritik oleh Rasyidi adalah deskripsi aliran-aliran kalam yang sudah tidak relevan lagi dengan kondisi umat Islam sekarang, khususnya di Indonesia. Untuk itu, Rasyidi berpendapat bahwa menonjolnya perbedaan pendapat antara Asy’ariyah dan Mu’tazilah, sebagaimana dilakukan Harun Nasution, akan melemahkan iman para mahasiswa. Memang tidak ada agama yang mengagungkan akal seperti Islam, tetapi dengan menggambarkan bahwa akal dapat mengetahui baik dan buruk, sedangkan wahyu hanya membuat nilai yang dihasilkan pikiran manusia bersifat absolute-universal, berarti meremehkan ayat-ayat al-Qur’an seperti: 

وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ

Artinya; “Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (Q.S. Al-Baqarah: 232)

Rasyid kemudian menegaskan pada saat ini, di Barat sudah dirasakan bahwa akal tidak mampu mengetahui baik dan buruk. Buktinya adalah kemunculan eksistensialisme sebagai reaksi terhadap aliran rasionalisme. Rasyidi mengakui bahwa soal-soal yang pernah diperbincangkan pada dua belas abad yang lalu, masih ada yang relevan untuk masa sekarang, tetapi ada pula yang sudah tidak relevan. Pada waktu sekarang, demikian Rasyidi menguraikan, yang masih dirasakan oleh umat Islam pada umumnya adalah keberadaan Syi’ah. 



c) Hakikat iman

Bagian ini merupakan kritikan Rasyidi terhadap deskripsi iman yang diberikan Nurcholis Madjid, yakni: 

“Percaya dan menaruh kepercayaan kepada Tuhan. Dan sikap apresiatif kepada Tuhan merupakan inti pengalaman keagamaan seseorang. Sikap ini disebut takwa. Takwa diperkuat dengan kontak yang kontinu dengan Tuhan. Apresiasi ketuhanan menumbuhkan kesadaran ketuhanan yang menyeluruh, sehingga menumbuhkan keadaan bersatunya hamba dengan Tuhan”.

Menanggapi pernyataan di atas Rasyidi mengatakan bahwa iman bukan sekedar menuju bersatunya manusia dengan Tuhan, tetapi dapat dilihat dalam dimensi konsekuensial atau hubungan dengan manusia dengan manusia, yakni hidup dalam masyarakat. Bersatunya seseorang dengan Tuhan tidak merupakan aspek yang mudah dicapai, mungkin hanya seseorang saja dari sejuta orang. Jadi, yang terpenting dari aspek penyatuan itu adalah kepercayaan, ibadah dan kemasyarakatan.

B. Harun Nasution

1. Riwayat Singkat Harun Nasution

Harun Nasution adalah seorang teolog islam modern yang bercorak pemikiran rasional. Dengan corak pemikiran teologinya yang demikian itu, Harun Nasution dikenal pula sebagai ilmuwan yang banyak mengemukakan gagasan-gagasan dan pemikiran yang berbeda dengan pemikiran yang umumnya dianut Umat Islam di Indonesia. Beliau dilahirkan di Pematangsianar, daerah Tapanuli Selatan, Sumatra Utara, pada hari selasa, 25 September1919. Ia adalah putra dari lima bersaudara, yakni, Muhammad Ayyub, Khalil, Sa’idah, Harun, dan Hafsah. Ayahnya bernama Abdul Jabbar Ahmad, seorang ulama kelahiran Mandailing yang berkecukupan serta pernah menduduki jabatan sebagai Qadi, penghulu, Kepala Agama, Hakim Agama dan Imam Masjid di Kabupaten Simalungun. Sedangkan ibunya yang berasal dari Tanah Bato adalah seorang putrid ulama asal mandaling dan masa gadisnya pernah bermukim di Makkah dan pandai bahasa Arab. Kedua orang tua Harun Nasution yang berpendidikan agama yang demikian itu telah memberikan sumbangan dan peran yang amat besar dalam menanamkan pendidikan agamanya. 

Setelah itu Harun melanjutkan pendidikan ke sekolah agama yang bersemangat modern Moderne Islamietische Kweekschool (MIK). Setelah sekolah di MIK, ternyata sikap keberagamaan Harun mulai tampak berbeda dengan sikap keberagamaan yang selama ini dijalankan oleh orang tuanya, termasuk lingkungan kampungnya. Harun bersikap rasional sedang orang tua dan lingkungannya bersikap tradisional. Di sinilah Harun nasution pertamakali berhubungan dengan pemikir modern islam, seperti yang dikembangkan oleh sejumlah sarja islam yang terkemuka seperti, Hamka, Zainal Abiding, dan Jamil Jambek. Di sinilah Harun Nasution memulai karirnya sebagai orang yang rasional, beliau bertutur pada MIK ini sebagai berikut “Di sana ku memakai dasi, dan diajarkan bahwa memelihara anjing tidak haram. Itu yang kupelajari dan kurasa cocok, kupikir mengapa harus berat-berat mengambil wubhu dahulu hanya untuk mengankat Al-Qur`an, terpikir pula, apa beda Al-Qur`an dengan kertas biasa, Al-Quran yang kupegan itu adalah kertas bukan wahyu, Wahynya tidak di situ. Apa salahnya memegang kertas tanpa wudhu lebih dahulu begitu pula soal sholat, memakai ushali atau tidak bagiku sama saja..”

Melihat perkembangan pemikiran Harun Nasution yang demikian itu, ayahnya yang semula memaksa Harun Nasution belajar di MIK malah bebalik melarangnya dan meminta anaknya keluar dari sekolah tersebut dan melanjutkan disebuah sekolah guru Muhammadiyah di Solo. Namun Harun Nasution tidak pergi ke Solo melainkan pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji dan sekaligus belajar pengetahuan agama Islam di Tanah Suci itu, upaya ini dilakukan karena menurut orang tuanya, pengetahuan umum yang diperoleh Harun Nasution dari sekolah Belanda sudah cukup. Selanjutnya ia harus mendalami Islam di Mekkah agar lebih lurus pemikirannya. Kemudian Ia melanjutkan pendidikan di Ahliyah Universitas Al-Azhar pada tahun 1940. Di Mesir, dia mulai mendalami Islam pada Fakultas Ushuluddin, Universitas Al-Azhar, di Kairo. Dan pada tahun 1952, meraih gelar sarjana muda di American University of Cairo. Harun nasution sangat tertarik dengan negeri mesir karena negeri itu sudah berkembang dengan pesat dan hasilnya tampak nyata dengan munculnya tokoh-tokoh penting Indonesia seperti Muhammad yunus, Mukhtar Yahya, Bustami A. Ghani. Pada tahun 1962, Harun nasution pergi ke McGill. Di Kanada Harun nasution menemukan apa yang diinginkannya dan memperoleh pandangan islam yang luas. Harun nasution belajar islam di McGill tidak seperti di Al-Azhar Mesir. 

Di McGill, Harun Nasution banyak kesempatan belajar islam baik itu kesempatan ekonomi mau pun kesempatan waktu. Di McGill, Harun Nasution dengan mudah membeli buku karangan orang Pakistan maupun Orientalis. Setelah kuliah dua setengah tahun di McGill, Harun Nasution mendapat gelar MA, dengan tesisnya mengenai islam di Indonesia. Setelah beliau selesai memperoleh MA, Harun Nasution melanjutkan studinya dua setengah lagi guna memperoleh gelar Ph.D. gelar itu diperolehnya pada tahun 1968 setelah beliau menyelesaikan disertasinya yang berjudul “posisi akal dalam pemikiran teologi Muhammad Abduh”.

Disamping sebagai seorang pengajar, Harun Nasution juga dikenal sebagai penulis. Beberapa buku yang pernah ditulis oleh Harun Nasution antara lain:

a) Akal dan Wahyu dalam Islam (1981)

b) Filsafat Agama (1973)

c) Islam Rasional (1995)

d) Sejarah Pemikiran dan Gerakan (1975)

e) Islam ditinjau dari berbagai aspeknya

f) Teologi islam

2. Pemikiran Harun Nasution

a) Peranan Akal

Bukanlah secara kebetulan bila Harun Nasution memilih problematika akal dalam system teologi Muhammad Abduh sebagai bahan kajian disertasinya di Universitas Mogill, Mentreal, Kanada. Besar kecilnya peranan akal dalam system teologi suatau aliran sangat menentukan dinamis atau tidaknya pemahaman seseorang tentang ajaran Islam. Berkenaan dengan akal ini, Harun Nasution menulis demikian: “Akal melambangkan kekuatan manusia”. Karena akal manusia mempunyai kesanggupan untuk menaklukkan kekuatan makhluk lain disekitarnya. Bertambah tinggi akal manusia, bertambah tinggi pula kesanggupannya untuk mengalahkan makhluk lain. Bertambah lemah kekuatan akal manusia, bertambah lemah pulalah kesanggupannya untuk menghadapi kekuatan-kekuatan lain tersebut.

Dalam sejarah Islam, akal mempunyai kedudukan tinggi dan banyak dipakai, bukan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan saja, akan tetapi dalam perkembangan ajaran-ajaran keagamaan Islam sendiri. Pemikiran akal dalam Islam diperintahkan Al-Qur’an sendiri. Bukanlah tidak ada dasarnya apabila ada penulis-penulis, baik di kalangan Islam sendiri maupun di kalangan non-Islam, yang berpendapat bahwa Islam adalah agama rasional.

b) Pembaharuan Teologi

Pembaharuan teologi yang menjadi predikat Harun Nasution. Pada dasarnya dibangun atas asumsi bahwa keterbelakangan dan kemunduran umat Islam Indonesia (juga di mana saja) adalah disebabkan “ada yang salah” dalam teologi mereka. Pandangan ini serupa dengan pandangan kaum modernis lain pendahulunya (Muhammad Abduh, Rasyid Ridha Al-Afghani, Sayid Amer Ali, dan lain-lain) yang memandang perlu untuk kembali kepada teologi Islam yang sejati. Retorika ini mengandung pengertian bahwa umat Islam dengan teologi fatalistic, irasional, predeterminisme serta penyerahan nasib telah membawa nasib mereka menuju kesengsaraan dan keterbelakangan. Dengan demikian, jika hendak mengubah nasib umat Islam. Menurut Harun Nasution, umat Islam hendaklah mengubah teologi yang berwatak free-will rasional, serta mandiri. Tidak heran jika teori modernisasi ini selanjutnya menemukan teologi dalam khazanah Islam klasik sendiri yakni teologi Mu’tazilah.

c) Hubungan akal dan wahyu

Salah satu focus pemikiran Harun Nasution adalah hubungan akal dan wahyu. Ia menjelaskan bahwa hubungan akal dan wahyu memang menimbulkan pertanyaan, tetapi keduanya tidak bertentangan. Akal mempunyai kedudukan yang tinggi dalam Al-Qur’an. Orang yang beriman tidak perlu menerima bahwa wahyu sudah mengandung segala-galanya. Wahyu bahkan tidak menjelaskan semua permasalahan keagamaan.

Dalam pemikiran Islam, baik di bidang filsafat dan ilmu kalam, apalagi di bidang ilmu fiqih, akal tidak pernah membatalkan wahyu. Akal tetap tunduk kepada teks wahyu. Teks wahyu tetap dianggap benar. Akal dipakai untuk memahami teks wahu dan tidak untuk menentang wahyu. Akal hanya memberi interpretasi terhadap teks wahyu sesuai dengan kecenderungan dan kesanggupan pemberi interpretasi. Yang dipertentangkan dalam sejarah pemikiran Islam sebenarnya bukan akal dan wahyu, tetapi penafsiran tertentu dari teks wahyu dengan lain dari teks wahyu itu juga. Jadi, yang bertentangan sebenarnya dalam Islam adalah pendapat akal ulama tertentu dengan pendapat akal ulama lain.

Referensi

Anwar, Rosihan dan Abdul Razak, Ilmu Kalam, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2003.

Faqih, Mansoer, Mencari Teologi Tertindas (Kidmat Dan Kritik) Untuk Guruku  Prof. Harun Nasution, dalam Suminto.

Halim. Abdul, Teologi Islam Rasional. Jakarta: Ciputat Pers, 2001

Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan Jakarta: UI Press, 2005

Rasjidi, H.M. Koreksi Terhadap Dr. Nurcholish Madjid tentang Sekularisasi, Jakarta: Bulang Bintang, 2007

Pemikiran Kalam Konteporer (Ismail Faruqi dan Hasan Hanafi

 A. Ismail Al-Faruqi

1. Riwayat Singkat Ismail al Faruqi

Ismail Raji al-Faruqi lahir di Jaffa, Palestina pada tanggal 1 Januari 1921. Pendidikan dasarnya dimulai dari madrasah dan pendidikan menengahnya di Colleges des Freres, dengan bahasa pengantar Perancis. Kemudian pada tahun 1941 lulus dari American University of Beirut. Ismail lalu bekerja untuk pemerintah Inggris di Palestina. Pada tahun 1945, dia dipilih sebagai Gubernur Galilea. Tapi, setelah Israel mencaplok Palestina, ia pindah ke Amerika Serikat pada tahun 1949. Di Amerika, ia melanjutkan pendidikan Master dalam bidang filsafat di University of Indiana dan University of Harvard. Dia melanjutkan pendidikannya dengan mengambil gelar doktor filsafat di University of Indiana dan di Al-Azhar University pada tahun 1952.

Dia kemudian mengajar beberapa universitas diseluruh dunia diantaranya universitas di Kanada, Pakistan dan Amerika Serikat. Pada tahun 1968, dia menjadi guru besar Studi Islam di Temple University, Amerika Serikat. Sebagai anak Palestina, al-Faruqi mengecam keras apa yang telah dilakukan oleh Zionis Israel yang menjadi dalang pencaplokan Palestina. Namun, ia dengan tegas membedakan Zionisme dan Yahudi. Dalam buku Islam and Zionism, ia berkata bahwa Islam adalah agama yang menganggap agama Yahudi sebagai agama Tuhan, yang ditentang Islam adalah politik Zionisme. Pembunuhan atas dirinya dan istrinya diduga karena kritiknya yang keras terhadap kaum Zionis Yahudi. Kematian Ismail Raji al-Faruqi meninggal dunia karena dibunuh pada tanggal 27 Mei 1986 di rumahnya.

2. Pemikiran Kalam Ismail Al-Faruqi

Pemikiran kalam Ismail al Faruqi tertuang dalam karyanya yang berjudul Tahwid: Its Implications for Thought and Life. Dalam karyanya ini beliau ini mengungkapkan bahwa:

a. Tauhid sebagai inti pengalaman agama

Inti pengalaman agama, kata Al-Faruqi adalah Tuhan. Kalimat syahadat menempati posisi 

sentral dalam setiap kedudukan, tindakan, dan pemikiran setiap muslim. Kehadiran Tuhan 

mengisi kesadaran Muslim dalam setiap waktu. Bagi kaum Muslimin, Tuhan benar-benar

merupakan obsesi yang agung. 3Esensi pengalaman agama dalam islam tiada lain adalah 

realisasi prinsip bahwa hidup dan kehidupan ini tidaklah sia-sia.4

b. Tauhid sebagai pandangan dunia

Tauhid merupakan pandangan umum tentang realitas, kebenaran, dunia, ruang dan waktu, 

sejarah manusia, dan takdir.

c. Tauhid sebagai intisari Islam

Esensi peradaban Islam adalah Islam sendiri. Tidak ada satu perintah pun dalam Islam yang 

dapat dilepaskan dari tauhid. Tanpa tauhid, Islam tidak aka nada. Tanpa yauhid, bukan hanya 

sunnah nabi yang patut diragukan, bahkan ptanata kenabian pun menjadi hilang.5

d. Tauhid sebagai prinsip sejarah

Tauhid menempatkan manusia pada suatu etika berbuat atau bertindak, yaitu etika ketika 

keberhargaan manusia sebagai pelaku moral diukur dari tingkat keberhasilan yang dicapainya 

dalam mengisi aliran ruang dan waktu. Eskatologi Islam tidak mempunyai sejarah formatif. Is 

terlahir lengkap dalam Al-Qur’an, dan tidak mempunyai kaitan dengan situasi para 

pengikutnnya pada masa kelahirannya seperti halnya dalam agama Yahudi atau Kristen. Is 

dipandang sebagai suatu klimaks moral bagi kehidupan di atas bumi.

6

e. Tauhid sebagai prinsip pengetahuan

Berbeda denga “iman” Kristen, iman Islam adalah kebenaran yang diberikan kepada pikiran, 

bukan kepada perasaan manusia yang mudah dipercayai begitu saja. Kebenaran, atau 

proposisi iman bukanlah misteri, hal yang dipahami dan tidak dapat diketahui dan tidak 

masuk akal, melainkan bersifat kritis dan rasional. Kebenaran-kebenarannya telah 

dihadapkan pada ujian keraguan dan lulus dalan ditetapkan sebagai kebenaran.7

f. Tauhid sebagai prinsip metafisika

Dalam Islam, alam adalah ciptaan dan anugerah. Sebagai ciptaan, ia bersifat teleologis, 

sempurna, dan teratur. Sebagai anugerah, ia merupakan kebaikan yang tak mengandung dosa 

yang disediakan untuk manusia. Tujuannya agar manusia melakukan kebaikan dan mencapai 

kebahagiaan. Tiga penilaian ini, keteraturan, kebertujuan, dan kebaikan, menjadi cirri dan 

meringkas pandangan umat Islam tentang alam.8

g. Tauhid sebagai prinsip etika

Tauhid menegaskan bahwa Tuhan telah memberi amanat-Nya kepada manusia, suatu amanat 

yang tidak mampu dipikul oleh langit dan bumi. Amanat atau kepercayaan Ilahi tersebut 

berupa pemenuhan unsur etika dari kehendak Ilahi, yang sifatnya mensyaratkan bahwa ia 

harus direalisasikan dengan kemerdekaan, dan manusia adalah satu-satunya makhluk yang 

mampu melaksanakannya. Dalam Islam, etika tidak dapat dipisahkan dari agama dan bahkan 

dibangun di atasnya.9

h. Tauhid sebagai prinsip tata sosial

Dalam Islam tidak ada perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya. Masyarakat 

Islam adalah masyarakat terbuka dan setiap manusia boleh bergabung dengannya, baik sebagai anggota tetap ataupun sebagai yang dilindungi (dzimmah). Masyarakat Islam harus 

mengembangkan dirinya untuk mencakup seluruh umat manusia. Jika tidak, ia akan 

kehilangan klaim keislamannya.10

i. Tauhid sebagai prinsip ummah

Dalam menyoroti tentang tauhid sebagai prinsip ummat, al Faruqi membaginya kedalam tiga 

identitas, yakni: pertama, menenentang etnosentrisme yakni tata sosial Islam adalah universal 

mencakup seluruh ummat manusia tanpa kecuali dan tidak hanya untuk segelitir suku 

tertentu. Kedua, universalisme yakni Islam meliputi seluruh ummat manusia yang cita-cita 

tersebut diungkapkan dalam ummat dunia. Ketiga totalisme, yakni Islam relevan dengan 

setiap bidang kegiuatan hidup manusia dalam artian Islam tidak hanya menyangkut aktivitas 

mnusia dan tujuan di masa mereka saja tetapi menyangkut aktivitas manusia disetiap masa 

dan tempat.11

j. Tauhid sebagai prinsip keluarga

Al-Faruqi memandang bahwa selama tetap melestarikan identitas mereka dari gerogotan 

kumunisme dan idiologi-idiologi Barat, umat Islam akan menjadi masyarakat yang selamat 

dan tetap menempati kedudukan yang terhormat. Keluarga Islam memiliki peluang lebih 

besar tetap lestari sebab ditopang oleh hukum Islam dan dideterminisi oleh hubungan erat 

dengan tauhid.12

k. Tauhid sebagai tata politik

Al-Faruqi mengaitkan tata politik dengan pemerintahan. Kekhalifahan didefenisikan sebagai 

kesepakatan tiga dimensi, yaitu: kesepakatan wawasan (ijma’ ar-ru’yah), kehendak (ijma’ al-

iradah), dan tindakan (ijma’ al-amal). Wawasan yang dimaksud al-Faruqi adalah pengetahuan 

akan nilai-nilai yang membentuk kehendak iIahi. Kehendak yang dimaksud Al-Faruqi adalah 

pengetahuan akan nilai-nilai yang membentuk kehendak Ilahi. Adapun yang dimaksud 

dengan tindakan adalah peelaksanaan kewajiban yang timbul dari kesepakatan.13

l. Tauhid sebagai prinsip tata ekonomi

Al-Faruqi melihat implikasi Islam untuk tata ekonomi ada dua prinsip, yaitu: pertama, tak ada 

seorang atau kelompok pun yang dapat memeras yang lain. Kedua, tak satu kelompok pun 

boleh mengasingkan atau memisahkan diri dari umat manusia lainnya dengan tujuan untuk 

mebatasi kondisi ekonomi mereka pada diri mereka sendiri.

m. Tauhid sebagai prinsip estetika

Dalam hal kesenian, beliau tidak menentang kretaivitas manusia, tidak juga menentang 

kenikmatan dan keindahan. Menurutnya Islam menganggap bahwa keindahan mutlak hanya ada dalam diri Tuhan dan dalam kehendak-Nya yang diwahyukan dalam firman-firman-

Nya.

B. Hasan Hanafi 

1. Riwayat Singkat Hasan Hanafi

Hasan Hanafi dilahirkan pada 13 Februari tahun 1935, di Kairo. Pendidikannya 

diawali pada tahun 1948 dengan menamatkan pendidikan tingkat dasar, dan melanjutkan 

studinya di Madrasah Tsanawiyah Khalill Agha, Kairo yang diselesaikannya selama 

empat tahun. Hasan Hanafi adalah pengikut Ikhwanul Muslimin ketika dia aktif kuliah di 

Universitas Kairo. Hanafi tertarik juga untuk mempelajari pemikiran Sayyid Qutb tentang 

keadilan sosial dalam Islam. Ia berkonsentrasi untuk mendalami pemikiran agama, 

revolusi, dan perubahan sosial.16

Dari sekian banyak tulisan dan karyanya yaitu: Kiri Islam (Al-Yasar Al-Islami) 

merupakan salah satu puncak sublimasi pemikirannya semenjak revolusi 1952. Kiri 

Islam, meskipun baru memuat tema-tema pokok dari proyek besar Hanafi, karya ini telah 

memformulasikan satu kecenderungan pemikiran yang ideal tentang bagaimana 

seharusnya sumbangan agama bagi kesejahteraan umat manusia.

2. Pemikiran Kalam Hasan Hanafi

a. Kritik terhadap teologi Tradisional

Dalam gagasannya tentang rekobstruksi teologi tradisional, Hanafi menegaskan 

perlunya mengubah orientasi perangkat konseptual kepercayaan (teologi) sesuai dengan 

perubahan konteks politik yang terjadi. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa teologi 

tradisonal lahir dalam konteks sejarah ketika inti keislaman yang bertujuan untuk 

memelihara kemurniannya. Hal ini berbeda dengan kenyataan sekarang bahwa Islam 

mengalami kekalahan akibat kolonialisasi sehingga perubahan kerangka konseptal lama 

pada masa-masa permulaan yang berasal dari kebudayaan klasik menuju kerangka 

konseptual yang baru yang berasal dari kebudayaan modern harus dilakukan.17

Hanafi memandang bahwa teologi bukanlah pemikiran murni yang hadir dalam 

kehampaan kesejarahan, melainkan merefleksikan konflik sosial politik. Sehingga kritik 

teologi memang merupakan tindakan yang sah dan dibenarkan karena sebagai produk 

pemikiran manusia yang terbuka untuk dikritik. Hal ini sesuai dengan pendefenisian 

beliaun tentang definisi teologi itu sendiri. Menurutnya teologi bukanlah ilmu tentang 

Tuhan, karena Tuhan tidak tunduk pada ilmu. Tuhan mengungkaplan diri dalam Sabda-

Nya yang berupa wahyu.18

Teologi demikian, lanjut Hanafi, bukanlah ilmu tentang Tuhan, karena Tuhan tidak 

tunduk kepada ilmu. Tuhan mengungkapkan diri dalam sabda-Nya yang berupa wahyu. 

Ilmu Kalam adalah tafsir yaitu ilmu hermeneutic yang mempelajari analisis percakapan (discourse analysis), bukan saja dari segi bentuk-bentuk murni ucapan, melainkan juga 

dari segi konteksnya, yakni pengertian yang merujuk kepada dunia. Adapun wahyu 

sebagai manifestasi kemauan Tuhan, yakni sabda yang dikirim kepada manusia 

mempunyai muatan-muatan kemanusiaan.19

Hanafi ingin meletakkan teologi Islam tradisional pada tempat yang sebenarnya, 

yakni bukan pada ilmu ketuhanan yang suci, yang tidak boleh dipersoalkan lagi dan harus 

diterima begitu saja secara taken for Granted. Ia adalah ilmu kemanusiaan yang tetap 

terbuka untuk diaadakan verifikasi dan falsafikasi, baik secara historis maupun eiditis.20

Menurut Hasan Hanafi, teologi tradisional tidak dapat menjadi sebuah pandangan 

yang benar-benar hidup dan memberi motivasi tindakan dalam kehidupan kongkret umat 

manusia hal ini disebabkan oleh sikap para penyusun teologi yang tidak mengaitkannya 

dengan kesadaran murni dan nilai-nilai perbuatan manusia. Sehingga menimbulkan 

keterpercahan antara keimanan teoritik dengan amal praktiknya di kalangan umat.

Secara historis, teologi yang telah menyingkap adanya benturan berbagai kepentingan dan 

ia sarat dengan konflik social-politik. Teologi telah gagal pada dua tingkat: Pertama, pada 

tingkat teoritis, kedua, pada tingkat praxis, yaitu gagal karena hanya menciptakan 

apatisme dan negativisme.21

b. Rekontruksi Teologi

Melihat sisi-sisi kelemahan teologi tradisional, Hanafilalu mengajukan saran 

rekontruksi teologi. Menurutnya, adalah mungkin untuk memfungsikan teologi menjadi 

ilmu-ilmu yang bermanfaat bagi masa kini, yaitu dengan melakukan rekontruksi dan 

revisi, serta nenbangun kembali epistemologi lama yang rancu dan palsu menuju 

epiatemologi baru yag sahih dan lebih signifikan. Tujuan rekontruksi teologi Hanafi 

adalah menjadikan teologi tidak sekedar dogma-dogma keagamaan yang kosong, 

melainkan menjelma sebagai ilmu tentang pejuang social, yang menjadikan keimanan-

keimanan tradisonal memiliki fungsi secara actual sebagai landasan etik dan motivasi 

manusia.22

Sistem kepercayaan sesungguhnya mengekpresikan bangunan sosial tertentu. Sistem 

kepercayaan menjadikan gerakan social sebagai gerakan bagi kepentingan mayoritas yang 

diam (al-aglabiyah as-sfimitah: the majority) sehingga system kepercayaan memiliki 

fungsi visi. Karena memiliki fungsi revolusi, tujuan final rekonstruksi teologi tradisionla 

adalah revolusi sosial. Menilai revolusi dengan agama dimasa sekarang sama halnya 

dengan mengaitkan filsafat dengan syariat di masa lalu, ketika filsafat menjadi zaman saat 

itu.23

Sebagai konsekuensi atas pemikirannya yang menyatakan bahwa para ulama 

tradisional telah gagal dalam menyusun teologi yang modern, maka Hanafi mengajukan 

saran rekontruksi teologi. Adapaun langkah untuk melakukan rekonstruksi teologi sekurang-kurangnya dilatarbelakangi oleh tiga hal yaitu:

1) Kebutuhan akan adanya sebuah ideologi yang jelas di tengah pertarungan global antar berbagai ideologi.

2) Pentingnya teologi baru ini bukan semata pada sisi teoritisnya, tetapi juga terletak pada kepentingan praktis untuk secara nyata mewujudkan ideologi gerakan dalam sejarah. 

Salah satu kepentingan teologi ini adalah memecahkan problem pendudukan tanah di negara-negara muslim.

3) Keperingan teologi yang bersifat praktis (amaliyah fi’liyah) yang secara nyata diwujudkan dalam realisasi tauhid dalam dunia Islam. Hanafi menghendaki adanya ‘teologi dunia’ yaitu teologi baru yang dapat mempersatukan umat Islam di bawah satu orde.24

Menurut Hanafi, rekontruksi teologi merupakan salah satu cara yang mesti ditempuh jika mengharapkan agar teologi dapat memberikan sumbangan yang kongkret dari sejarah kemanusiaan. Kepentingan rekontruksi itu pertama-tama untuk mentranformasikan teologgi menuju antropologi, menjadikan teologi sebagai wacana tentang kemanusiaan, baik secara eksistensi, kognitif, maupun kesejarahan.

Selanjutnya Hanafi menawarkan dua hal untuk memperoleh kesempurnaan teori ilmu dalam teologi Islam yaitu:

1) Analisis bahasa. Bahasa serta istilah-istilah dalam teologi tradisonal adalah warisan nenek moyang di bawah teologi, yang merupakan bahasa khas yang seolah-olah menjadi ketentuan sejak dulu. Teologi tradisonal memiliki istilah-istilah khas seperti Allah, iman, akhirat. Menurut Hanafi, semua ini sebenarnya menyingkapkan sifat-sifat dan metode keilmuan, ada yang empirik-rasional seperti iman, amal, dan imamah, dan ada yang historis seperti nubuwah serta ada pula yang metafisik seperti Allah dan akhirat.

2) Analisis realitas. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui latar belakang historis-sosiologis munculnya teologi di masa lalu, mendiskripsikan pengaruh-pengaruh nyata teologi bagi kehidupan masyarakat. Dan bagaimana ia mempunyai kekuatan mengarahkan terhadap prilaku para pendukungnya. Analsis realitas ini berguna untuk menentukan stressing kearah mana teologi kontemporer harus diorientasikan.25

Referensi:

Al-Faruqi, Lamya, Allah, Masa Depan Kaum Wanita, Terj. Masyhur Abadi, Surabaya: Al-

Fikr, 1991

Al-Faruqi, Ismail Raji Tauhid, terj. Rahmani Astuti, Jakarja: Pustaka, 1988

Kusnadiningrat, E. Teologi dan Pembebasan; Gagasan Islam Kiri Hasan Hanafi, 

Jakarta:Logos, 1999

Rozak, Abdul dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, bandung: Pustaka Setia, 2006

Ridwan, A.H. Reformasi Intelektual Islam,Yohyakarta: Ittaqa Press, 1998

Monday, December 14, 2020

Pemikiran Kalam Modern Muhammad Abduh dan Muhammad Iqbal

 1. Biografi Muhammad Abduh

Muhammad Abduh adalah seorang pemikir, teolog, dan pembaru dalam Islam di Mesir yang hidup pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Kapan dan dimana Muhammad Abduh lahir tidak diketahui secara pasti, karena ibu dan bapaknya adalah orang desa biasa yang tidak mementingkan tanggal dan tempat lahir anak-anaknya. Tahun 1849 M / 1265 H adalah tahun yang umum dipakai sebagai tanggal lahirnya. Ia lahir di suatu desa di Mesir Hilir, diperkirakan di Mahallat Nasr. Bapak Muhammad Abduh bernama Abduh Hasan Khairullah, berasal dari Turki yang telah lama tinggal di Mesir. Ibunya berasal dari bangsa Arab yang silsilahnya meningkat sampai ke suku bangsa Umar Ibn Al-Khattab.

Muhammad Abduh disuruh belajar menulis dan membaca. Setelah mahir, ia diserahkan kepada satu guru untuk dilatih menghafal Alquran. Hanya dalam masa dua tahun, ia dapat menghafal Alquran secara keseluruhan. Kemudian, ia dikirim ke Tanta untuk belajar agama di Masjid Syekh Ahmad di tahun 1862. Setelah dua tahun belajar, ia merasa tidak mengerti apa-apa karena di sana menggunakan metode menghafal. Ia akhirnya lari meninggalkan pelajaran dan pulang ke kampungnya dan berniat bekerja sebagai petani. Tahun 1865 (usia 16 tahun) ia pun menikah. Baru empat puluh hari menikah, ia dipaksa untuk kembali belajar ke Tanta. Ia pun pergi, tapi bukan ke Tanta. Dia bersembunyi di rumah salah seorang pamannya, Syekh Darwisy Khadr. Syekh Darwisy tahu keengganan Abduh untuk belajar, maka ia selalu membujuk pemuda itu supaya membaca buku bersama-sama. Setelah itu, Abduh pun berubah sikapnya sehingga kemudian ia pergi ke Tanta untuk meneruskan pelajarannya.

Selepas dari Tanta, ia melanjutkan studi di Al-Azhar dari tahun 1869-1877 dan ia mendapat predikat “alim”. Di sanalah ia bertemu dengan Jamaluddin Al-Afghani yang kemudian menjadi muridnya yang paling setia. Dari Al-Afghani yang kemudian belajar logika, filsafat, teologi dan tasawuf.

Pada tahun 1866, Muhammad Abduh pergi ke Al-Azhar, tetapi keadaan di Al-Azhar ketika Muhammad Abduh menjadi mahasiswa di sana, masih dalam kondisi terbelakang dan jumud. Bahkan menurut Ahmad Amin, Al-Azhar menganggap segala yang berlawanan dengan kebiasaan sebagai kekafiran. Membaca buku-buku geografi, ilmu alam atau falsafah adalah haram. Memakai sepatu adalah bid’ah.

Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila Muhammad Abduh mempelajari ilmu filsafat, ilmu ukur, soal-soal dunia dan politik dari seorang intelaktual bernama Hasan Tawil. Namun, pelajaran yang diberikan Hasan Tawil pun kurang memuaskan dirinya. Pelajaran yang diterimanya di Al-Azhar juga kurang menarik perhatiannya. Ia lebih suka membaca buku-buku di perpustakaan Al Azhar. Kepuasaan Muhammad Abduh mempelajari matematika, etika, politik, filsafat, ia peroleh dari Jamaluddin Al Afgani. Pada tahun 1877 M saat usianya 28 tahun, ia berhasil lulus dengan gelar alim. Suatu prestasi yang memberikan hak untuk mengajar di Universitas tersebut. Muhammad Abduh aktif mengajar di Al-Azhar mengampu bidang ilmu kalam dan logika. Di samping itu, di rumahnya ia mengajar kitab Tahdzib Al-Aklaq karangan Ibnu Miskawih, mengajarkan sejarah-sejarah keraj aan Eropa karangan Guizot dan Muqaddimah Ibnu Khaldun. Selain menjadi itu, ia juga mengajar di Universitas Darul Ulum serta mengajar ilmu-ilmu bahasa Arab di Madrasah Al-Idrah Al-Alsun (sekolah administrasi dan bahasa-bahasa) pada tahun 1878 M. Pada saat mengampu jabatan tersebut, ia terus mengadakan perubahan-perubahan sesuai dengan cita-citanya, yaitu memasukkan udara baru yang segar dalam perguruan tinggi Islam, menghidupkan Islam dengan metode-metode baru sesuai dengan kemajuan zaman.

2. Biografi Muhammad Iqbal

Nama lengkap Muhammad Iqbal adalah Muhammad Iqbal bin Muhammad Nur bin Muhammad Rafiq. Iqbal lahir di kota bernama Sialkot, sebuah kota peninggalan Dinasti Mughal India pada 22 Februari 1873. Iqbal dilahirkan dari keluarga yang berasal dari kasta Brahma Kasymir. Selain oleh keluarganya, kepribadian, pengetahuan, dan keterampilan keagamaan Iqbal kecil ditempa dengan bimbingan Maulana Mir Hasan, seorang guru dan sastrawan sastra Persia dan bahasa Arab, dan merampungkan studinya tahun 1895.

Di tahun itu pula Iqbal pergi ke Lahore, salah satu kota di India yang menjadi pusat kebudayaan, pengetahuan, dan seni. Di kota ini, ia bergabung dengan perhimpunan sastrawan yang sering diundang musyara’ah, yakni pertemuan-pertemuan di mana para penyair membacakan sajak-sajaknya. Ini merupakan tradisi yang masih berkembang di Pakistan dan India hingga kini. Iqbal memperoleh gelar Bachelor of Arts (sarjana muda) pada tahun 1897 dari Government College. Sambil menyelesaikan pendidikan sarjananya, Iqbal mengajar filsafat di Oriental College hingga kemudian langsung mengambil program Master of Arts dalam bidang filsafat, di mana saat itulah ia bertemu dengan Sir Thomas Arnold, seorang orientalis Inggris terkenal dan menjadi dosen filsafat Islam di Government College. Gelar MA dari Government College ini diperoleh pada tahun 1899. Perkenalan dan pergaulan Iqbal muda dengan Arnold menjadi titik penting bagi perjalanan intelektualnya di masa-masa selanjutnya. Bahkan Sir Thomas Arnold, menurut Abdul Wahhab Azzam, tidak hanya berjasa bagi Iqbal semata, tetapi juga bagi umat Islam secara keseluruhan. 

Pada tahun 1905, di usia 32 tahun, Iqbal belajar di Cambridge pada R.A. Nicholson, seorang orientalis yang piawai di bidang filsafat dan sufisme, dan seorang Neo-Hegelian, yaitu Jhon M.E.Mc.Taggart dan James Ward di Heidilberg, di mana ia mendapatkan gelar di bidang filsafat moral. Setelah menerima gelar tersebut, Iqbal langsung ke Jerman untuk mempelajari bahasa Jerman dan memasuki Universitas Munich, hingga menggondol gelar doktor bidang filsafat pada 4 November 1907 dengan disertasi, The Development of Metaphysics in Persia di bawah bimbingan F. Hommel.

Karir politiknya mencapai puncak prestasinya ketika pada 1926-1930 dipercaya  menjadi presiden Dewan Legislatif di Punjab, selain menduduki Presiden Liga Muslim di Allahabat. Iqbal pernah dua kali, 1931 dan 1932, mewakili kaum minoritas Muslim di Konferensi Meja Bundar I dan Konferensi Meja Bundar II. Sayangnya, Iqbal menderita sakit kencing batu dan mulai kehilangan suaranya pada tahun 1935. Pada tahun ini pula,  isterinya meninggal dunia dan semakin menimbulkan kesedihan baginya. Pada 19 April 1938, sakitnya mencapai puncaknya dan kritis sehingga para dokter berusaha semampu mereka dalam meringankan sakitnya, sementara Iqbal sendiri telah merasa bahwa ajalnya telah dekat dan tanpa rasa takut ia selalu menekankan bahwa dalam menghadapi kematian, hendaknya seorang muslim menerimanya dengan rasa gembira. Sehari sebelum meninggal dunia, ia berkata pada sahabatnya dari Jerman: ”Aku seorang muslim yang tidak takut pada kematian. Apabila ajal itu datang, ia akan kusambut dengan tersenyum”. 

Sepuluh menit sebelum meninggal dunia, di depan Raja Hasan, Iqbal membacakan sajaknya sendiri:

“Melodi perpisahan kan bergema kembali atau tidak

Angin Hijaz kan berhembus kembali atau tidak 

Saat-saat hidupku kan berakhir

Pujangga lain kan kembali atau tidak

Kukatakan padamu ciri seorang Mu’min

Bila maut datang, akan merekah senyum di bibir” 

Begitulah keadaan Iqbal pada waktu menyambut kematiannya dengan situasi kejiwaan yang menakjubkan. Ia meletakkan tangannya pada jantungnya, dan berkata: ”kini, sakit telah sampai di sini”. Ia merintih sebentar dan kemudian dengan tersenyum ia kembali pada Khaliknya, tanpa merasakan dampak sakaratul maut. Iqbal meninggal dunia tepat pada 20 April 1938 atau di usia 65 tahun. 


3. Karya-Karya Muhammad Abduh

Pembaharuan dalam sejarah Islam tidak bisa dipisahkan dari sosok ‘Abduh, beliau tidak hanya dikenal di Mesir atau Timur Tengah, tetapi juga di negara-negara Islam. Hal ini tidak bisa pisahkan dari penyebaran beberapa pemikiran dalam bentuk buku. Adapun karya-karya Muhammad ‘Abduh antara lain:

1. Al-Hikmah asy-Syar‟iyah fi Muhakamat Al-Dadiriyah wa AlRifa‟iyah. Buku ini adalah karya pertamanya diwaktu ia masih belajar, isinya adalah bantahan kepada Abdul Hadyi Ash-Shayyad yang mengecilkan tokoh sufi besar Abdulkadir Al-Jailani, juga menjelaskan kekeliruan–kekeliruan yang dilakukan oleh para penganut tasawuf, tentang busana Muslim, sikap meniru non-Muslim, Imam Mahdi, masalah dakwah dan kekeramatan.

2. Al-Azhar dan Al-Manar. Isinya, antara lain, sejarah Al-Azhar, perkembangan dan misinya, serta bantahan terhadap sementara ulama Azhar yang menentang pendapat-pendapatnya.

3. Tarikh Al-Ustadz Al-Imam, berisi riwayat Muhammad Abduh dan perkembangan masyarakat Mesir pada masanya.

4. Al-Wâridah, sebuah karya dalam ilmu kalam atau ilmu tauhid dengan metode dan pendekatan tasauf. Inilah karya pertama Muhammad ‘Abduh.

5. Risâlah fî Wahdat al-Wujûd. Karya ini memang tidak terbit tetapi ini karya Muhammad ‘Abduh yang kedua sebagaimana yang diinformasikannya kepada Rasyid Ridha.

6. Falsafatu Al-Ijtimâ’Wa al-Târikh. Buku ini adalah karya Muhammad ‘Abduh yang ia karang ketika ia mengajar Mukaddimah Ibn Khaldun di Madrasah Al-Ulum. Buku ini hilang ketika ketika ia diusir bersama gurunya Sayid Jamaluddin oleh pemerintah.

7. Hâsyiyat ‘Aqâidi Al-Jalâli Al-Dawani Li Al-Aqâidi Al-Adudiyah. Sebuah karya Muhammad ‘Abduh ini mengandung komentar-komentar dia terhadap pemikiran teologi Asy’ariyah.

8. Syarh Nahji Al-Balâghah. Berisi komentar menyangkut kumpulan pidato dan ucapan Imam Ali ibn Abi Thalib.

9. Syarah Maqâlati badi’i Al-Zamân AlHamzani. Sebuah karya yang berkaitan dengan bahasa dan sastra Arab. Buku ini terbit di Beirut.

10. Syarh Al-Bashâiri Al-Nâshiriah. Ini adalah buku Mantiq dengan pendekatan logika yang tinggi.

11. Nizhâmu Al-Tarbiyah Bi Mashr. Buku ini berisikan tentang pendidikan dengan metode praktis yang dilaksanakan di Mesir.

12. Risâlah al-Tauhîd, suatu karya di bidang ilmu kalam. Risalah ini mampu menyihir akidah kebanyakan manusia Mesir yang semula salafi menuju perkembangannya yang khalafi.

13. Taqrîru Al-Mahâkim Al-Syar’iyah. 

14. Al-Islâm wa Al-Nashrâniyati ma’a Al-‘ilmi wa Al-Madâniyah. Sebuah karya yang berusaha menampilkan Islam sebagai agama yang mampu menaiki tangga peradaban modern dan maju. Buku ini kumpulan makalah-makalah dari majalah Al-Manar yang diedit dan diterbikan oleh Rasyid Ridha. 

15. Tafsîr Surât Al-‘Ashr. Tafsir ini disampaikan dalam beberapa kuliahnya.  

16. Tafsîr Juz ‘Amma, yang dikarangnya sebagai pegangan para guru ngaji di Maroko pada tahun 1321 H.

17. Majalah Al-Manar, yang terbit sejak 1315 H/1898 M sampai dengan 1354 H/1935 M. 11. Tafsir Al-Manar.

18. Nida‟li Al-Jins Al-Lathif, berisi uraian tentang hak dan kewajibankewajiban wanita.

19. Zikra Al-Maulid An-Nabawi.

20. Risalatu Hujjah Al-Islam Al-Ghazali. 

21. Al-Sunnah wa Al-Syi‟ah.

22. Al-Wahdah Al-Islamiyah.

23. Haqiqah Al-Riba.


4. Karya-Karya Muhammad Iqbal

Iqbal dapat digolongkan sebagai seorang pemikir dan penyair muslim terbesar pada abad XX yang kreatif dan penuh kedinamisan. Hal ini terbukti dengan adanya beberapa karya-karya yang diwariskan kaum muslimin dan umat manusia. Sebagian besar karya-karyanya muncul dalam bentuk prosa. Kecendrungan Iqbal dalam mengekspresikan ide-ide, pikiran, dan perasaannya, melalui puisi sesungguhnya dilatarbelakangi oleh jiwa dan bakat kepenyairannya yang tumbuh sejak dini dan berkembang melalui bimbingan orang yang mengerti akan bakat dan potesi yang dimiliki Iqbal, yaitu: gurunya Mr. Hasan yang telah mendorong dan memberikan semangat dalam mengekspresikan ide-ide dan getaran sukmanya.

Pada 1935, ia diundang untuk memberi serangkaian kuliah di Universitas Oxford, namun dia terpaksa tak bisa memenuhi undangan tersebut karena jatuh sakit. Karya-karya Iqbal ditulis dalam berbagai bentuk, di antaranya: karya filsafat, karya sastra, agama dan ceramah-ceramah yang dibubukan di antaranya:

1. Ilm al-Iqtishad, buku pertama yang memuat tentang risalah ekonomi sebagai anjuran Thomas Arnold tahun 1905.

2. The development of metaphysics in persia; a contribution to the History of Muslim philosophy. Tesis Iqbal ketika meraih gelar doktor di Munich, Jerman.

3. Stray Reflections, merupakan kompilasi penting Iqbal sepulangnya dari Eropa. Buku ini baru diterbitkan setelah Iqbal meninggal dunia.

4. Asrar-i-khudi. Inilah buku pertama Iqbal yang memuat tentang filsafat agama yang pertama dalam bentuk puisi. Buku ini menekankan khudi (diri atau makhluk individu), atau dikenal juga dengan istilah ego untuk menunjukkan pusat kesadaran dan kehidupan kognitif. Dalam buku ini pun Iqbal menceritakan Jalaludin Rumi sebagai guru spritualnya.

5. Rumuz-I Bekhud, karya dalam bahasa Persia terbit di Lahore pada tahun 1918, versi Inggrisnya antara lain terjemahan A.J.Arberry yang berjudul The Mistery of selflessness yang terbit di london tahun 1953, dan terjemahan A.R Tariq dengan judul The Secrets of Collective Self yang terbit di Lahore tahun 1970.

6. Payam-i-Masyriq, yakni berisi pesan dari Timur. Buku ini berusaha menyuntikkan kebenaran moral, agama, dan bangsa, yang dibutuhkan oleh pendidikan rohani, individu, dan bangsa.

7. Bang-i-Dara (lonceng kafilah). Tulisan ini berisi puisi-puisinya selama lebih dari dua puluh tahun. Diantaranya puisi sebelum keberangkatan ke Eropa, puisi selama di Eropa, dan setelah kembalinya dari Eropa.

8. Zabur-i-Azam (Mazmur persia) yang berisi suntikan untuk semangat dunia baru kepada kaum muda dan masyarakat Timur. Dalam karya ini, dengan keras tapi tertib, Iqbal menggambarkan situasi batinnya dan sekaligus memaksa pembaca atau pedengarnya memperbaiki diri dan meningkatkan harapan serta aspirasinya untuk mencintai kemaujudan, kemakmuran dan penemuan diri. Karya ini sering dibandingkan dengan karya sastra Persia seperti Atta, Hafiz, Sa’di atau Jami’ karena kemampuannya mencapai tujuan-tujuan tinggi.

9. The Reconstruction of Religion Thought in islam. Yakni kumpulan serangkaian kuliah dan ceramah di berbagai tempat. Iqbal mengemukakan tentang tanggung jawabnya dalam dasar-dasar intelektual filsafat Islam melalui cara yang sesuai dengan iklim intelektual dan spiritual abad modern.

10. Javid-Nama, yakni magnum opus Iqbal yang berisi puisi matsnawi yang religius-filosofis. Puisi ini melibatkan perjalanan spritual Iqbal selayaknya orang sufi dengan berbagai kandungan hikmah yang dalam untuk generasi muda.

11. Musafir (sang pengembara) sebagai tulisan perjalannya menuju Afganistan dan mengujungi tempat-tempat yang bersejarah.

12. Bal-i-Jibril (sayap jibril) yaitu terinspirasi dari perjalanan ke luar negeri antara tahun 1931-1933, yaitu ke Inggris, Mesir, Italia, Palestina, Perancis, Spanyol,dan Afganistan.

13. Pas chi Bayad Kard (apa yang harus dilakukan wahai masyarakat timur). Diterbitkan pada 1935 atau dua tahun menjelang wafatnya, yang berisi penjabaran yang paling rinci mengenai filsafat praktisnya yang berhubungan dengan masalah-masalah sosio-politik dan masalah-masalah dunia timur yang berasal dari pengaruh peradaban Barat.

14. Zarb-i-kalam (pukulan tongkat musa) yakni karya mengenai zaman modern dan permasalahannya, peradaban modern adalah tak bertuhan dan materialistik, kekurangan cinta dan keadilan dan hidup dari penindasan dan eksploitasi kaum lemah. Tulisannya adalah untuk menyelamatkan kaum muslim dari peradaban modern tersebut.

15. Amarghan-I-Hijaz, karya ini terbit November 1938 setelah beberapa bulan Iqbal wafat. Karya ini sebenarnya tidak lengkap karena sengaja untuk menuliskan pengalamannya berhaji ke Mekkah, namun niat itu tak pernah kesampaian. Ia merindukan perjalanan ke Hijaz (jazirah Arab) untuk mengujungi makam Nabi di Madinah dan sakit yang berat dialaminya beberapa tahun terakhir membuat karya ini tidak sempurna.

Banyak karya-karya iqbal yang disunting oleh orang lain. Baik yang berbentuk kumpulan ceramah, artikel, pernyataan dan surat menyuratnya. Kekaguman akan kejeniusan pemikiran Iqbal membuat penelaahan dan pengkajian terhadap karya-karyanya semakin banyak.

5. Pemikiran Kalam Muhammad Abduh

Dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam, terdapat berbagai aliran pemikiran kalam. Diawali oleh pertentangan politik antara: Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah bin Abi Sofyan yang berujung pada peristiwa tahkim mencuatlah pertentangan-pertentangan teologis dikalangan umat Islam. Sebagai akibat adanya sejarah Islam, yaitu khawarij. Dalam pandangan Khawarij, penyelesaian sengketa antara Ali bin Abi Thalib dengan Mua’wiyah yang berakhir dengan tahkim tersebut bukanlah penyelesaian yang sesuai dengan tuntunan Allah dalam Alquran.

Islam adalah agama yang terdiri dari beberapa aspek yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya, yaitu Aqidah (Teologi), Syariah (Hukum Islam) ,dan Akhlak (tasawuf). Namun, dalam hal ini penulis memilih fokus pembahasan pada pemikiran dalam bidang akidah (teologi) dan hukum karena kedua ini sangat menentukan kehidupan seseorang dalam bertindak.

1. Bidang Akidah

      Menurut Muhammad Imarah dalam bukunya “ al-A’mal al-Kamilah li al-Imam Muhammad Abduh,” dikatakan bahwa ide-ide pembaruan teologis yang disebarkan oleh Syekh Muhammad Abduh didasari oleh tiga hal, kebebasan manusia dalam memilih perbuatan, kepercayaan yang kuat terhadap sunnah Allah, dan fungsi akal yang sangat dominan dalam menggunakan kebebasan.

2. Masalah Akal dan Wahyu

       Menurut pendapat Muhammad Abduh bahwa jalan yang dipakai untuk mengetahui Tuhan bukanlah wahyu semata-mata, melainkan akal. Akal dengan kekuatan yang ada dalam dirinya, berusaha memperoleh pengetahuan tentang Tuhan dan Wahyu, turun untuk memperkuat pengetahuan aka itu dan untuk menyampaikan kepada manusia apa yang tak dapat diketahui akalnya.

     Akal adalah “daya pikir yang bila digunakan dapat mengantar seseorang untuk mengerti dan memahami persoalan yang dipikirkannya.” Bukan dalam arti akal yang ditunjuk oleh firman Allah yang merekam ucapan orang-orang yang durhaka kelak.

Oleh karena itu, menurut Muhammad Abduh, akal dapat mengetahui beberapa hal sebagai berikut: Tuhan dan sifat-sifatnya, keberadaan hidup di akhirat, kebahagian jiwa di akhirat bergantung pada upaya mengenal Tuhan dan bebuat baik, sedangkan kesengsaraannya bergantung pada sikap tidak mengenal Tuhan dan melakukan perbuatan jahat, kewajiban manusia mengenal tuhan, kewajiban manusia untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat untuk kebahagian diakhirat.


3. Kebebasan manusia

Kepercayaan pada kekuatan akal, membawa Muhammad Abduh selanjutnya kepada paham yang mengatakan bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam kemauan dan perbuatan. Dalam teologi dan falsafah terdapat dua konsep mengenai hal tersebut. Pertama, pendapat mengatakan bahwa semua perbuatan  manusia telah ditentukan semenjak zaman sebelum ia lahir. Dan paham ini dalam teologi islam disebut  jabariyah. Dalam teologi barat pendapat ini disebut fatalisme atau presdestination.kedua, bahwa manusia mempunyai kebebasan sungguh pun terbatas sesuai dengan keterbatasan manusia dalam kemauan dan perbuatan. Paham ini dalam islam disebut qadariyah dan dalam teologi barat disebut free will and free act.

4. Bidang Hukum

Dalam bidang hukum, ada tiga prinsip utama pemikiran Abduh, yaitu Alquran sebagai sumber syariat, memerangi taklid, dan berpegang kuat pada akal dalam memahami ayat-ayat Alquran. Menurutnya, syariat itu ada dua macam yaitu qat’i (pasti) dan zhanni (tidak pasti). Hukum syariat pertama wajib bagi setiap muslim mengetahui dan mengamalkan tanpa interpretasi, karena dia jelas tersebut dalam Alquran dan Al-Hadist. Sedangkan hukum syariat jenis kedua datang dengan penetapan yang tidak pasti.

Jenis hukum yang tidak pasti inilah yang menurut Abduh menjadi lapangan ijtihad para mujtahid. Dengan demikian, berbeda pendapat adalah sebuah kewajaran dan merupakan tabiat manusia. Keseragaman berpikir dalam semua hal adalah sesuatu yang tidak mungkin diwujudkan.

Ada dua hal yang mendorong Muhammad Abduh untuk menyerukan ijtihad, yaitu tabiat hidup dan tuntunan (kebutuhan) manusia. Kehidupan manusia ini berjalan terus dan selalu berkembang, dan didalamnya terdapat kejadian dan peristiwa tidak dikenal oleh manusia sebelumnya. Ijtihad adalah jalan yang ideal dan praktis bisa dijalankan untuk menghubungkan peristiwa-peristiwa hidup yang selalu timbul itu dengan ajaran-ajaran islam kalau ajaran islam tersebut harus berhenti pada penyelidikan ulama terdahulu, maka kehidupan manusia dalam masyarakat islam akan menyulitkan mereka, baik dalam kehidupan beragama maupun dalam kehidupan masyarakat.


6. Pemikiran Kalam Muhammad Iqbal

Beberapa pemikiran kalam Muhammad Iqbal antara lain:

1) Kebebasan Manusia

Eksistensialisme  Muhammad Iqbal adalah eksistensialisme yang bercorak teistik karena didasari oleh doktrin teologis, khalifah. Karakteristik eksistensialisme ini amat terlihat dalam gagasan filsafat “khudi”-nya. Khudi/diri dalam pandangan Iqbal bersifat unik, bebas dan kreatif. Adapun kebebasan baginya merupakan sarana untuk mencapai eksistensi diri yang puncaknya adalah manusia sebagai niyabati ilahi (representative of God/wakil Tuhan) di bumi ini dan ini merupakan anugerah dari Tuhan. Kebebasan orang lain bagi Iqbal adalah sarana untuk mencapai kebebasan yang sejati. Kebebasan eksistensial menurutnya adalah kebebasan menyeluruh yang menyangkut seluruh kepribadian manusia. Kebebasanlah yang mengarahkan manusia untuk terus mempertahankan, memperbaharui, dan meningkatkan kualitas kediriannya.

2) Esensi Manusia

Menurut Iqbal, setiap wujud mempunyai individualitas atau diri dan ketinggian derajatnya tergantung pada tingkat perkembangan individualitasnya. Manusia mempunyai  kemampuan untuk berkembang dan mencapai tingkat kedirian yang tinggi. Pemahaman terhadap realitas harus berangkat dari pemahaman eksistensial tentang diri sendiri (D Lee, 2000:71).

Mengembangkan diri untuk mencapai tingkat kedirian yang  lebih tinggi dan sempurna berarti bergerak mendekati Tuhan. Tuhanlah satu-satunya Diri yang paling Tinggi dan Sempurna.  Dengan intuisi, diri memahami dirinya sendiri melalui  pemahaman tentang Tuhan, “Ego Mutlak,” dan dengan  memahami Tuhan, diri mengakses dunia yang diciptakan oleh Tuhan yaitu alam (Iqbal, 1951:169). Dengan ajaran khudinya, ia mengemukakan pandangan yang dinamis tentang kehidupan dunia.

3) Dosa

Muhammad Iqbal dengan tegas menyatakan dengan seluruh kuliahnya bahwa Alquran menampakan ajaran tentang kebebasan ego manusia yang bersifat kreatif. Dalam kehidupan ini, ia mengembangkan cerita tentang kejatuhan adam (karena memakan buah terlarang) sebagai kisah yang berisi ajaran tentang kebangkitan manusia yang bersifat primitif yang dikuasai hawa nafsu naluriah kepada pemilikan kepribadian bebas yang diperolehnya secara sadar, sehingga mampu mengatasi kebimbangan dan kecendrungan untuk membangkang dan timbulnya ego terbatas yang memiliki kemampuan untuk memilih. Allah telah menyerahkan tanggung jawab yang penuh resiko ini, menunjukkan kepercayaan-Nya yang besar kepada manusia. Maka kewajiban manusia adalah membenarkan adanya kepercayaan ini. Namun, pengakuan terhadap kemandirian (manusia) itu melibatkan pengakuan terhadap semua ketidaksempurnaan yang timbul dari keterbatasan kemandirian itu.

4) Surga dan Neraka

Surga dan neraka menurut Muhammad Iqbal adalah keadaan, bukan tempat. Gambaran-gambaran tentang keduanya di dalam Alquran adalah penampilan-penampilan kenyataan batin secara visual, yaitu sifatnya. Neraka, menurut rumusan Alquran adalah “ api Allah yang menyala-nyala dan yang membumbung ke atas hati”, pernyataan yang menyakitkan mengenai kegagalan manusia. Surga adalah kegembiraan karena mendapatkan kemenangan dalam mengatasi berbagai dorongan yang menuju kepada perpecahan. Tidak ada kutukan abadi dalam Islam.  Neraka, sebagaimana dijelaskan dalam Alquran, bukanlah kawah tempat penyiksaan abadi yang disediakan Tuhan. Ia adalah pengalaman kolektif yang dapat memperkeras ego sekali lagi agar lebih sensitif terhadap tiupan angin sejuk dari kemahamurahan Allah. Begitu juga dengan surga, surga bukanlah tempat berlibur. Kehidupan itu hanya satu dan berkesinambungan.

5) Wahyu dan Akal

Menurut Muhammad Iqbal, umat Islam hendaknya kembali memposisikan akal sebagaimana mestinya, sesuai dengan ketentuan yang telah dijelaskan dalam Alquran dan as-Sunnah. Pendayagunaan akal merupakan manifestasi dari keimanan, karena dengan pendayagunaan tersebut manusia akan tersingkir dari keterbelakangan, kemunduran, bahkan manusia akan menjadi maju dan menguasai alam ini. Keimanan seseorang kurang sempurna apabila akalnya tidak digunakan untuk membaca dan membedah fenomena realitas alam.


Tuesday, December 8, 2020

Ahlussunnah Salaf dan Khalaf

 A. AHLUSUNNAH SALAF.

2.1. Sejarah Perkembangan Ahlusunnah Salaf.

       Arti salaf secara bahasa adalah pendahulu bagi suatu generasi. Sedangkan dalam istilah syariah Islamiyah as-salaf itu ialah orang-orang pertama yang memahami, mengimami, memperjuangkan serta mengajarkan Islam yang diambil langsung dari shahabat Nabi salallahu ‘alaihi wa sallam, para tabi’in (kaum mukminin yang mengambil ilmu dan pemahaman/murid dari para shahabat) dan para tabi’it tabi’in (kaum mukminin yang mengambil ilmu dan pemahaman/murid dari tabi’in). istilah yang lebih lengkap bagi mereka ini ialah as-salafus shalih. Selanjutnya pemahaman as-salafus shalih terhadap Al-Qur’an dan Al-Hadits dinamakan as-salafiyah. Sedangkan orang Islam yang ikut pemahaman ini dinamakan salafi. Demikian pula dakwah kepada pemahaman ini dinamakan dakwah salafiyyah.

      Definisi salaf menurut Thablawi Mahmud Sa’ad, salaf artinya ulama terdahulu. Salaf terkadang dimaksudkan untuk merujuk generasi sahabat, Tabi’in, para pemuka abad ketiga dan para pengikutnya pada abad ke 4 H yang terdiri atas para muhadisain dan yang lainnya. Salaf berarti pula ulama-ulama shalih yang hidup pada tiga abad pertama islam. Sedangkan Mahmud Al-Bisyi Bisyi dalam Al-Firoq Al-Islamiyah mendefinisikan salaf sebagai sahabat, tabi’in, dan tabi’in yang dapat diketahui dari sikapnya menampik penafsiran yang mendalam mengenai sifat Allah yang menyerupai saegala sesuatu yang baru untuk menyucikan dan menggunakannya.

    Ahlusunnah tidak muncul dari ruang hampa. Ada banyak hal yang mempengaruhi proses kelahirannya dari rahim sejarah. Diantaranya yang cukup populer adalah tingginya suhu konsetelasi politik yang terjadi pada masa pasca Nabi Wafat.

   Kematian Utsman bin Affan, khalifah ketiga, menyulut berbagai reaksi. Utamanya, karena ia terbunuh, tidak dalam perperangan. Hal ini memantik semangat banyak kalangan untuk menuntut Imam Ali, penggantu Utsman untuk bertanggung jawab. Terlebih, sang pembunuh, yang ternyata masih berhubungan darah dengan Ali, tiadak segera mendapat hukuman setimpal.

     Mu’awiyyah bin Abi Sufyan, Aisyah, dan Abdullah bin Thalhah, serta Amr bin Ash adalah beberapa di antara sekian banyak sahabat yang menuntut Ali. Bahkan, semuanya harus menghadapi Ali dalam sejumlah peperangan yang kesemuanya dimenangkan dipihak Ali.

    Dan yang paling mengejutkan, adalah strategi Amr bin Ash dalam perang Shiffin di tepi sungai Eufrat, akhir tahun 39 H, dengan mengangkat mushaf diatas tombak. Tindakan ini dilakukan setelah pasukan Amr dan Mu’awiyyah terdesak, tujuannya, hendak mengembalikan segala perselisihan kepada hukum Allah. Dan Ali setuju, meski banyak dari pengikutnya yang tidak puas. Akhirnya tahkim di Daumatul Jandal, sebuah desa ditepi laut merah beberapa puluh  KM utara Makkah, menjadi akar perpecahan pendukung Ali menjadi Khawarij dan Syi’ah. Kian lengkaplah perseteruan yang terjadi antara kelompok Ali , kelompok Khawarij, kelompok Mu’awiyah, dan sisa-sisa pengikut Aisyah dan Abdullah bin Thalhah.

   Ternyata perseteruan politik ini membawa efek yang cukup besar dalam ajaran Islam. Hal ini terjadi tatkala banyak kalangan menunggangi teks-teks untuk krprntingan politis. Celakanya, kepentingan ini begitu jelas terbaca oleh publik, terlebih masa Yazid bin Mu’awiyah.

    Yazid waktu itu mencoreng muka Dinasti Umayyah. Dengan sengaja, ia memerintahkan pembantaian Husein bin Ali beserta 70-an anggota keluarganya di Karbala, dekat kota Kufah, Iraq. Parahnya lagi, kepala Husein dipenggal dan diarak menju Damaskus, pusat pemerinthan Dinasti Umayyah. Bagaimana pun juga, Husein adalah cucu Nabi yang dicintai umat Islam. Karenanya, kemarahan uant tak terbendung, kekecewaan ini begitu mengejala dan mengancam stabilitas Dinasti. Akhirnya, dinasti Umaiyah merestui hadirnya paham Jabariyah. Ajaran Jabariyah menyatakan bahwa manusia tidak punya kekuasaan sama sekali. Manusia tunduk pada takdir yang telah digariskan Tuhan, tanpa bisa merubah. Opini ini ditujukan untuk menyatakan bahwa pembantaian itu memang telah digariskan Tuhan tanpa bisa dicegah oleh siapapun jua. 

Beberapa kalangan yang menolak opini itu akhirnya membentuk second opinion (opini rivalis) dengan mengelompokkan diri ke sekte Qadariyah. Jelasnya, paham ini menjadi anti tesis bagi paham Jabariyah. Qadariyah menyatakan bahwa manusia punya free will (kemampuan) untuk melakukan segalanya. Dan Tuhan hanya menjadi penonton dan hakim di akhirat kelak. Karenanya, pembantaian itu adalah murni kesalahan manusia yang karenanya harus dipertanggungjawabkan, di dunia dan akhirat. Melihat sedemikian kacaunya bahasan teologi dan politik, ada kalangan umat Islam yang enggan dan jenuh dengan semuanya. Mereka ini tidak sendiri, karena ternyata, mayoritas umat Islam mengalami hal yang sama. Karena tidak mau terlarut dalam perdebatan yang tak berkesudahan, mereka menarik diri dari perdebatan. Mereka memasrahkan semua urusan dan perilaku manusia pada Tuhan di akhirat kelak. Mereka menamakan diri Murji’ah. 

        Lambat laun, kelompok ini mendapatkan sambutan yang luar biasa. Terlebih karena pandangannya yang apriori terhadap dunia politik. Karenanya, pihak kerajaan membiarkan ajaran semacam ini, hingga akhirnya menjadi sedemikian besar. Di antara para sahabat yang turut dalam kelompok ini adalah Abu Hurayrah, Abu Bakrah, Abdullah Ibn Umar, dan sebagainya. Mereka adalah sahabat yang punya banyak pengaruh di daerahnya masing-masing. 

        Pada tataran selanjutnya, dapatlah dikatakan bahwa Murjiah adalah cikal bakal Sunni (proto sunni). Karena banyaknya umat Islam yang juga merasakan hal senada, maka mereka mulai mengelompokkan diri ke dalam suatu kelompok tersendiri.

Lantas, melihat parahnya polarisasi yang ada di kalangan umat Islam, akhirnya ulama mempopulerkan beberapa hadits yang mendorong umat Islam untuk bersatu. Tercatat ada 3 hadits-dua diriwayatkan oleh Imam Turmudzi dan satu oleh Imam Tabrani-. Dalam hadits ini diceritakan bahwa umat Yahudi akan terpecah ke dalam 71 golongan, Nasrani menjadi 72 golongan, dan Islam dalam 

73 golongan. Semua golongan umat Islam itu masuk neraka kecuali satu. "Siapa mereka itu, Rasul?" tanya sahabat. "Ma ana ‘Alaihi wa Ashabi" jawab Rasul. Bahkan dalam hadist riwayat Thabrani, secara eksplisit dinyatakan bahwa golongan itu adalah Ahlussunah wa al-jama’ah. 

     Ungkapan Nabi itu lantas menjadi aksioma umum. Sejak saat itulah kata aswaja atau Sunni menjadi sedemikian populer di kalangan umat Islam. Bila sudah demikian, bisa dipastikan, tak akan ada penganut Aswaja yang berani mempersoalkan sebutan serta hadits yang digunakan justifikasi kendati banyak terdapat kerancuan di dalamnya. Karena jika diperhatikan lebih lanjut, hadits itu bertentangan dengan beberapa ayat tentang kemanusiaan Muhammad, bukan peramal. 


2.2. Tokoh-tokoh aliran Ahlusunnah Salaf.

1.Ibn Taymiyyah

    Pemikir pertama Aliran Salaf adalah Ibn Taymiyyah. Nama lengkapnya adalah Ahmad Taqiyy al-Din Ibn Taymiyyah al-Harrani al-Dimasyqi, lahir di Harran, Syiria tahun 661 H(1263 M), wafat pada 782 H (1328 M). Ayahnya adalah seorang guru Hadis dan pamannya seorang ulama dan penulis yang termasyhur di zamannya. Pada usia tujuh tahun, Harran diserang oleh Mongol, ia dan orang tuanya mengungsi ke Damaskus. Disinilah Ibn Taymiyyah mengawali penggambaran intelektualnya, ia belajar pada beberapa madrasah yang diselenggarakan oleh penganut mazhab Hanbali, seperti madrasah Sakariyah, madrasah Jauziyah dan madrasah Umayyah.

    Ketekunan belajar dan ketajaman otaknya dalam berpikir mengantarkan Ibn Taymiyyah sebagai seorang ulama, beliau sangat berani dan tidak takut apa yang yang dipandangnya benar. Lidah dan penanya sangat tajam dalam menyerang berbagai agama baik dalam bidang teologi, filsafat, tasawuf, dan fiqh yang dianggapnya bid’ah dan tidak berdasar pada nash-nash Al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang shahih. Ibn Taymiyyah sebagai pengajar tradisi Hambali menekankan kajian literasi terhadap nash-nash agama. Ibn Taymiyyah berseru untuk kembali kepada akidah dan ibadah salaf.


      2.     Imam Ahmad bin Hanbal

Nama beliau adalah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal Asy Syaibani. Beliau dilahirkan di Baghdad tahun 164 H. Ayah beliau meninggal saat beliau berumur 3 tahun. Lalu beliau diasuh oleh Ibunya. Saat masih belia, beliau menghadiri majelis qadhi Abu Yusuf. Kemudian beliau fokus belajar hadits. Saat itu umur beliau sekitar 16 tahun. Kemudian beliau haji beberapa kali, kemudian tinggal di Makah dua kali. Kemudian beliau safar menemui Abdurrozaq di Yaman dan belajar darinya. Beliau telah berkelana ke negeri-negeri dan penjuru dunia. Beliau mendengar hadits dari ulama-ulama besar saat itu. Mereka (para ulama) bangga dan memuliakan beliau. Ibnu Jauzi berkata, “Ahmad (bin Hanbal) semoga Allah meridhoinya menuntut ilmu dari para masyayikh di Baghdad. Lalu beliau pergi ke Kufah, Bashroh, Makah, Madinah, Yaman, Syam dan Jazirah. Beliau menulis dari para ulama setiap negeri”

Imam Ahmad memiliki ilmu yang sangat luas. Berikut ini beberapa perkataan ulama tentangnya. Ibrahim al Harbiy rahimahullah berkata, “Saya melihat Ahmad bin Hanbal seolah-olah Allah mengumpulkan pada dirinya ilmu orang yang terdahulu dan yang terakhir pada setiap bidang ilmu. Dia berkata sesuai yang dikehendakinya dan menahan yang dikehendakinya.”.


2.3. Ajaran Pokok Aliran Ahlusunnah Salaf.

Aliran Salafiyah mempunyai tiga ciri utama dalam ajaran pokoknya yaitu 

Pertama, mendahulukan syara’ dari akal. Yang terkandung di dalam Al-Quran dan Hadis yang shahih adalah kebenaran. Seorang Muslim tidak boleh menyampingkan kandungan Al-Quran dan Hadis walaupun bertentangan dengan akal dan ketentuan syara’ harus didahulukan dari pendapat akal.

 Kedua, meninggalkan takwil kalami. Dalam Aliran Salafiyah ayat-ayat Al-Quran sudah sangat jelas tidak perlu diputar lagi maknanya kepada yang lain. Beberapa ayat Al-Quran memberikan gambaran Allah mempunyai tangan, wajah dan kursi. Aliran Salaf menolak penakwilan kalam seperti itu karena mencederai Al-Quran itu sendiri.

 Ketiga, berpegang teguh pada nash Quran dan Hadis Nabi. Karena akal manusia tidak mempunyai wewenang untuk menakwilkan nash agama dan tugas akal mencari argumentasi serta membenarkan informasi yang dibawa oleh nash agama. Akal harus tunduk dibawah nash, karena nash adalah firman Allah.


B. AHLUSUNNAH KHALAF. 


2.4. Sejarah Perkembangan Aliran Ahlusunnah Khalaf.

      Khalaf artinya Masa yang datang sesudah. Khalaf menurut istilah diartikan sebagai jalan para ulama’ modern. Walaupun tidak dapat dikatakan bahwa semua ulama’ modern mengikuti jalan ini. Adapun ungkapan Ahlussunnah (sering juga disebut sunni) dapat dibedakan menjadi dua pengertian, yaitu umum dan khusus. Sunni dalam pengertian umum adalah lawan kelompok syi’ah. Dalam pengertian ini, Mu’tazilah sebagaimana juga Asy’ariyah masuk dalam barisan sunni. Sunni dalam pengertian khusus adalah madzhab yang berada dalam barisan Asy’ariyah dan merupakan lawan Mu’tazilah.

    Selanjutnya Ahlussunnah banyak dipakai setelah munculnya aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah, dua aliran yang menentang ajaran-ajaran Mu’tazilah.

    Ulama Khalaf menggunakan pendekatan akal dan logika. Ulama khalaf memperkenalkan konsep ta’wil dalam ayat mutasyabihat. Kholaf (ulama zaman akhir) berdasarkan perhitungsn tahun masa akhir hidup dari Imam madzhab 4 yang terakhir ( Imam Ahmad bin Hanbal) yang wafat pada tahun 241H atau 855M maka masa ulama salaf berakhir sekitar tahun 241H-855M dan selebihnya termasuk ulama khalaf.

Adapun pendapat yang lain mengatakan bahwasannya masa perubahan atau batas antara abad ulama salaf dan khalaf dibatasi dengan masa atau kurun tertentu sebagaimana beberapa pendapat yang berbeda-beda dibawah ini:

1.      Ulama salaf ialah ulama yang hidup sebelum tahun 300 H dan ulama khalaf ialah ulama yang hidup setelah tahun 300 H.

2.      Ulama salaf ialah ulama yang hidup sebelum tahun 00 H dan ulama khalaf ialah ulama yang hidup setelah tahun 400 H.

3.      Ulama salaf ialah ulama yang hidup sebelum tahun 500 H dan ulama khalaf ialah ulama yang hidup setelah tahun 500 H.


2.5. Pemikir Aliran Ahlusunnah Khalaf.

 1. Al-Asy’ari.

       Namanya Abu al-Hasan Ali bin Ismail bin Abu Bisyr Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdullah bin Musa bin Bilal bin Abu Burdah bin Abu Musa al-asy’ari bin Qais bin Hadhar. adalah salah seorang keturunan dari sahabat Raulullah shalallahu ‘alaihi wasalam,Abu Musa Al-Asy’ari. Beliau lahir di Bashrah pada tahun 260H/873M dan wafat di Bagdad. pada tahun 324H/935M.  Sebagian besar hidupnya berada di Bagdad.

         keturunan Abu Musa al-Asy’ari seorang sahabat dan perantara dalam sengketa Ali dan Muawiyah dalam peristiwa tafkhim. Pada usia lebih dari 40 tahun, ia hijrah ke kota Baghdad. Ayahnya adalah seorang yang berfaham ahlussunnah dan ahli hadist. Ayahnya wafat ketika ia masih kecil. Sebelum wafat ayahnya berwasiat kepada seorang sahabatnya yang  bernama Zakaria bin Yahya as-Saji agar mendidik al-Asy’ari. Ibu Asy’ari  sepeninggal ayahnya menikah lagi dengan tokoh Mu’tazilah yang bernama al-Juba’i. Berkat didikan ayah tirinya, Asy’ari kemudian menjadi tokoh Mu’tazilah. Ia sering menggantikan al-Juba’i dalam perdebatan menentang lawan-lawan Mu’tazilah dan ia juga banyak menulis buku yang membela aliran Mu’tazilah.  Tetapi, karena sebab yang tidak begitu jelas Asy’ari akhirnya meninggalkan aliran mu’tazilah.

      Beliau keluar dari madzhab Muktazilah dan mengumumkan taubatnya pada hari Jum'at di masjid Jami di daerah Basrah.Di depan banyak orang beliau menyatakan bahwa; saya mula-mula mengatakan bahwa Al Qur'an adalah makhluk; Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak dapat dilihat dengan mata kepala; perbuatan buruk adalah manusia sendiri yang memperbuatnya (semua pendapat aliran Muktazilah).

        Kemudian beliau mengatakan: "saya tidak lagi memegangi pendapat-pendapat tersebut; saya harus menolak paham-paham orang Muktazilah dan menunjukkan keburukan-keburukan dan kelemahan-kelemahanya". Setelah keluar dari madzhab Muktazilah Abu al-Hasan al-Asy’ari mendekati kepada para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah dan Ahli Hadits, namun belum berpemahaman Ahlu Sunnah Wal Jama’ah. Beliau lebih terpengaruh dengan kelompok Kullabiyah yaitu kelompok pengikut Abdullah bin Sa’id bin Kullab al-Bashri yang saat itu juga tergolong gencar dalam membantah kelompok Muktazilah. Beliau membantah kelompok Muktazilah diatas faham Kullabiyah, semua keburukan Muktazilah beliau bongkar. Karena Abu al-Hasan al-Asy'ari pernah mengikuti jalan Muktazilah dan beliau tahu betul kesesatan-kesesatan nya. 

      Ketidakpuasan Al-Asy’ari terhadap aliran mu’tazilah diantaranya adalah :

Karna adanya keragu-raguan dalam diri Al-Asy’ari yang mendorongnya untuk keluar dari paham mu’tazilah. Menurut Ahmad Mahmud Subhi, Keraguan itu timbul karena ia menganut madzhab Syafi’I yang mempunyai pendapat berbeda dengan aliran Mu’tazilah, misal nya Syafi’I berpendapat bahwa Al-Qur’an itu itu tidak diciptakan, tetapi bersifat qadim dan bahwa Tuhan dapat dilihat diakhirat nanti. Sedangkan menurut paham Mu’tazilah, bahwa Al-Qur’an itu bukan qadim akan tetapi hadits dalam arti baru dan diciptakan Tuhan dan Tuhan bersifat rohani dan tidak dapat dilihat dengan mata.

Menurut Hammudah Ghurabah, ajaran-ajaran yang diperoleh dari Al-Juba;I menimbulkan persoalan-persoalan yang tidak mendapat penyelesaian yang memuaskan, misalnya tentang mukmin, kafir dan anak kecil.

Adapun sebab terpenting Asy’ari meninggalkan Mu’tazilah adalah karena adanya perpecahan yang dialami kaum Muslimin yang bisa menghancuirkan mereka sendiri, kalau seandainya tidak diakhiri. Dia mendambakan kesatuan umat, dia sangat khawatir kalau Al-Qur’an dan Hadits menjadi korban dari paham-paham Mu’tazilah yang dianggapnya semakin menyimpang dan menyesatkan masyarakat karena Mu’tazilah lebih mementingkan akal fikiran.

     Setelah itu, Abul Hasan memposisikan dirinya sebagai pembela keyakinan-keyakinan salaf dan menjelaskan sikap-sikap mereka. Pda fase ini, karya-karyanya menunjukkan pada pendirian barunya. Dalam kitab Al-Ibanah, Ia menjelaskan bahwa ia berpegang pada Madzhab Ahmad bin Hambal. A bul Hasan menjelaskan bahwa ia menolak pemikiran Mu’tazilah, Qadariyah, Jahmiyah, Hururiyah, Rafidhah, dan Murji’ah. Dalam beragama ia berpegang teguh pada Al-Qur’an , Sunnah Nabi, dan apa yang diriwayatkan dari para sahabat, Tabi’in, serta Imam ahli hadits. 

      Karya Al-Asy’ari sangatlah banyak, kurang lebih 90 buah dalam berbagai lapangan ilmu keislaman. Karangan yang terkenal dan samppai kepada kita ada tiga, yaitu:

a Mawalatul Islamiyah : (Pendapat golongan-golongan islam), yang merupakan buku pertama, dikarang dalam soal-soal kepercayaan islam dan menjadi sumber yang penting pula, karena ketelitian dan kejujuran pengarangnya. Buku ini, terdiri dari tiga bagian :

Tinjaun tentang golomgan-golongan dalam Islam

Aqidah aliran “Ashabul Hadits dan Ahlusunnah”dan

Beberapa persoalan ilmu kalam 


b  Al-Ibanah ‘an Usulid Diyanah (Penjelasan tentang dasar-dasar agama) yang berisi uraian tentang kepercayaan (aqidah) Ahlu Sunnah dan dimulainya dengan menguji Imam Ahmad bin Hanbal, kemudian menyebutkan kebaikan-kebaikan dan memerangi pendapat-pendapatnya. Uraian buku ini tidak tersusun rapi, meskipun berisis persoalan-persoalan yang banyak dan penting. Dlam buku ini, Ia dengan pedas menyerang aliran Mu’tazilah.

c  Al-Luma’ (sorotan) yang dimaksudkan untuk membantah lawannya dalam beberapa persoalan ilmu kalam.


     Pemikiran Al-Asy’ari dapat diketahui lewat karyanya seperti Maqalat al-Islamiyyin Wa Ikhtilaf al-Mushallin, Kitab al-Luma’ fi al-Radd ‘ala Ahl al-Ziyagh wa al-Bida’ dan Al-Ibanah ‘an al-Ushul al-Diyanah. Lewat buku-buku tersebut dilanjutkan oleh murid-muridnya seperti al-Baqillani dan al-Juwaini, tesis-tesis baru yang dikembangkan oleh Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari berkembang menjadi alian baru yang dikenal dengan nama Asy’ariyah. Dalam kupasan tentang pandangan orang-orang sesat serta ahli bid’ah yang dimaksudkan oleh Asy’ari adalah kaum Mu’tazilah dan Qadariyah. 


2. Al-Maturidi

   Namanya abu Mansur al-Maturidi dilahirkan di Maturid, Kota kecil di daerah Samarand, wilayah Transoxiana di Asia Tengah, daerah yang sekarang disebut Uzbekistan. Ia wafat pada tahun 333 H/944 M. gurunya dalam bidang fiqh dan teologi bernama Nasyr bin Yahya al-Balakhi. Al-Maturidi hidup masa khalifah al-Mutawakkil yang memerintah tahun 232H/847-861M. 

   Al-Maturidi mengikuti Madzhab Hanafi dan dalam teologi Islam menganut pula aliran Fuqoha dan Muhadisin. Perbandingan antara Abu Hanifah dan al-Maturidi dapat diperoleh informasi bahwa ternyata pemikiran al-Maturidi sebenarnya berintikan pemikiran Abu Hanifah dan merupakan penguraiannya yang lebih luas. Hubungan antara kedua tokoh tersebut dikuatkan oleh pengakuan al-Maturidi sendiri bahwa ia mempelajari buku-buku Abu Hanifah.

     Pemikiran teologi al-Maturidi mendasar pada Al-Qur’an dan akal. Dalam hal ini, ia sama dengan al-asy’ari  namun porsi yang diberikannya kepada akal lebih besar daripada yang diberikan oleh al-Asy’ari. Ini dikarenakan sebagai pengikut Abu Hanifah yang banyak memakai rasio dalam pandangan keagamaannya, al-Maturidi banyak juga memakai akal dalam system teologisnya.


2.6. Perkembangan dan Tokoh Al-Asy’ari dan AL-Maturidi.

1. Perkembangan aliran Al-asy’ari

   Mendapat kedudukan yang tinggi, mempunyai banyak pengikut dan mendapat bantuan dari para penguasa pemerintahan. Pendapat-pendapatnya disebut “pendapat Ahlusunnah Wal Jama’ah”atau “Ahlussunnah” (tanpa wal Jama’ah) dan sebutan ini banyak dipakai atau sebutan “Madzahibus Salaf Wa Ahlussunnah”.

   Penyebutan Ahlussunnah sudah dipakai sejak jaman dahulu, terhadap mereka yang apabila menghadapi sesuatu peristiwa, maka dicari hukumnya dari bunyi Al-Qur’an dan Hadist. Apabila tidak didapatinya maka mereka akan diam saja, karena tidak berani melampauinya. Mereka lebih dikenal dengan sebutan Ahlul Hadist yang sudah dimulai sejak zaman sahabat, kemudian dilanjutkan sampai masa tabi’in. 

Kebalikan dari mereka ialah “Ahlul Ra’yi” yang apabila menghadapi keadaan yang sama, maka tidak berhenti, melainkan berusaha dengan akal pikirannya untuk menemukan hukum peristiwa yang dihadapinya dengan jalan qiyas atau istihsan sebagainya. Munculah aliran tengah-tengah yang dicetuskan oleh Imam Syafi’i. Meskipun sudah ada orang yang merasa terikat dengan Hadits dalam bidang fiqh, namun mereka tidak dikenal dengan sebutan Ahlussunnah. Mu’tazilah tidak segan-segan menolak hadits yang berlawanan dengan ketetentuan akal pikiran, maka timbulah aliran lain yang tetap memegangi dan mempertahankan hadits-hadits yang ditolak oleh Mu’tazilah, terkenal dengan nama “Ahlussunnah” dan ingin mengikuti jejak ulama salaf dalam menghadapi nash-nash mutasyabihat. Penyebutan Ahlussunnah wal Jama’ah oleh pengikut-pengikut Al-Asy’ari karena pemikiran-pemikirannya.


2 Tokoh-Tokoh Al-Asy’ariah

  Dalam aliran Al-Asy’ariyah ini mempunyai tokoh-tokoh kenamaan, antara lain: Al-Baqilani, Al-juwaimi, Al-Iji, As-Sanusi, Al-Ghazali, dan Al-Baghdadi. Diantara tokoh-tokoh diatas yang paling berpengaruh ialah al-Ghazali yang diberi gelar Hujjatul Islam. Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muhammad  bin Muhammad bin Ahmad Abu Hamid al-Ghazali. Ia lahir di Thus, suatu kota di Khurasan pada tahun 450 M. ayahnya seorang pekerja pembuat pakaian dari bulu (wol) dan menjualnya di pasar. Setelah ayahnya meninggal, ia diasuh oleh ahli tasawuf. Di waktu kecil ia belajar fiqh pada Syekh Ahmad bin Muhammad ar-Rasikani dan di Nishabur belajar pada Imam al-Haromain, di sini lah ia mulai kelihatan tanda-tanda ketajaman otaknya dengan menguasai ilmu mantiq (logika), filsafat dan fiqh madzhab Syafi’i. setelah imam Haromain wafat, ia pergi ke Al-Azhar berkunjung ke menteri Nizam al Mulk pemerintahan dinasti Saljuk. Setelah bertemu dengan ulama-ulama besar, akhirnya al-Ghazali diberi kehormatan guru besar (professor) dan mengajar di Perguruan Tinggi Nizamiyah Baghdad. Tahun 488 H beliau pergi ke Mekkah untuk menunaikan haji, sepulang dari mekah beliau pergi ke Syiria (Syam) dilanjutkan perjalanannyake Damaskus dan menetap cukup lama. Saat itu beliau sedang mengarang kitab Ihya’ Ulumuddin. Sepulangnya beliau dari Damaskus ia kembali ke Baghdad dan kembali mengajar di Perguruan Tinggi Nizamiyah. Tidak berlangsung lama, beliau kembali ke Thus, kampung halamannya. Di sebelah rumah beliau medirikan sekolah untuk para fuqoha dan mutashawwifin. Beliau meninggal pada tanggal 14 Jumadil Akhir 505 H/1111 M. Sesaat sebelum beliau meninggal sempat mengucapkan kata yang juga diucapkan oleh Francis Bacon (Filosof Inggris), yaitu: “kuletakkan arwahku di hadapan Allah dan tanamkanlah jasadku di lipat bumi yang senyap. Namaku akan bangkit kembali menjadi sebutan dan buah bibir umat manusia di masa mendatang.

   Karya al-Ghazali berjumlah lebih dari 100 buah. Beberapa kitabnya seperti berikut: Maqhasidul falasifah (tujuan para ahli filsafat), Tahafut al-Falasifah (keberantakan para filosof), a-Munqidz min Dhalal (penyelamat dan kesesatan) dan Ihya’ Ulumuddin (menghidupkan ilmu-ilmu agama). Disamping itu ada pemahaman yang sama dengan beliau dan ada juga yang menentang beliau. Tokoh Barat yang  sepaham seperti Renan Cassanova dan Carro de Vaux. Sedangkan yang menentang seperti Ibnu Rusyd (dengan kitab Tahafut at-Tahafutut), Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim.

 Adanya penyerangan dari Ibnu Rusyd karena al-Ghazali menentang para filoSof Islam, bahkan ia sampai mengkafirkan dalam 3 hal, yaitu:

a.       Pengingkaran tentang kebangkitan jasmani

b.      Membatasi pengetahuan Allah kepada yang hal-hal yang besar saja.

c.       Adanya kepercayaan tentang qadimnya alam dan keasliannya.

 

3 Perkembangan Al-Maturidi

          Maturidiyah mengambil posisi ditengah-tengah antara Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Aliran al-Maturidiyah terbagi dalam dua aliran yaitu al-Maturidiyah Samarkand yang didirikan oleh Abu Mansur al-Maturidi sendiri, dan al-Maturidiyah Bukhara yang dibangun oleh pengikut Abu Yusr Muhammad al-Bazdawi. Al-Maturidiyah Samarkand lebih rasional dan cenderung ke paham al-Mu’tazilah sedangkan al-Maturidiyah Bukhara cenderung ke paham Asy’ariyah. Aliran al-Maturidiyah sebagai aliran yang rasional namun tetap berpijak pada al-Qur’an dan Sunnah mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap pengembangan pemikiran dunia islam. Hal ini sangat berpotensi untuk dikaji dan dikembangkan.


4 Tokoh-Tokoh Al-Maturidiyah

       Yang sangat penting dari aliran Al-Maturidiyah ini adalah Abu al- Yusr Muhammad al-Badzawi  yang lahir pada tahun 421 Hijriyah dan meninggal pada tahun 493 Hijriyah. Ajaran-ajaran Al-Maturidi yang  dikuasainya adalah karena neneknya adalah murid dari Al-Maturidi. Al-Badzawi sendiri mempunyai   beberapa   orang   murid, yang  salah  satunya adalah Najm al-Din Muhammad al-Nasafi  (460-537   H),  pengarang buku al-‘Aqa’idal Nasafiah. Seperti Al-Baqillani dan Al-Juwaini, Al-Badzawi tidak pula selamanya  sepaham dengan Al-Maturidi. Antara kedua pemuka aliran Maturidiyah  ini, terdapat perbedaan paham sehingga boleh dikatakan bahwa dalam aliran Maturidiyah terdapat dua golongan, yaitu golongan Samarkand yang mengikuti paham-paham  Al-Maturidi dan golongan  Bukhara  yang mengikuti paham-paham Al-Badzawi.


2.6. Ajaran Pokok Aliran Al-Asy’ariah dan Al-Maturidiyah

 1)      Dokrin-dokrin teologi al-Asy’ari yang terpenting ialah sebagai berikut:

1.      Allah dan sifat-sifatNya

Sebagai penentang Mu’tazilah, sudah tentu al-Asy’ari berpendapat bahwa Allah mempunyai sifat. Mustahil kata al-Asy’ari Allah mengetahui dengan ZatNya, karena dengan demikian zatNya adalah pengetahuan dan Allah sendiri adalah pengetahuan. Menurut al-Asy’ari, Allah bukan pengetahuan (‘ilm) tetapi yang mengetahui (‘alim). Allah mengetahui denagn pengetahuan dan pengetahuanNya bukanlah zatNya. Demikian pula dengan sifat-sifat seperti hidup, berkuasa, mendengar, dan melihat.

2.      Kebebasan dalam berkehendak

Al-Asy’ari memakai istilah kasb (acquisition, perolehan) untuk menggambarkan hubungan perbuatan manusia dengan kemauan dan kekuasaan Allah. Arti kasb menurutnya adalah bahwa sesuatu itu terjadi dengan perantaraan daya yang diciptakan yang dengan dayanya perbuatan itu terjadi. Dengan kata lain, seuatu itu timbul dari al-muktasib (manusia yang menciptakan atau mengupayakan) dengan perantara daya yang diciptakan. Pendapat ini berdasarkan QS. Ash-Shaaffat : 96.

 وَٱللَّهُ خَلَقَكُمۡ وَمَا تَعۡمَلُونَ ٩٦ 

96. Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu"

Al-Asy’ari menjelaskan soal kehendak Allah bahwa Allah menghendaki segala apa yang dikehendaki, artinya manusia tidak  dapat menghendaki sesuatu itu terjadi. Kehendak Maka bila Allah tidak menciptakan daya dalam diri manusia, dia tidak akan dapat berbuat apa-apa. karena itu daya untuk berbuat, sebenarnya bukanlah daya manusia tetapi daya Allah. Jadi perbuatan manusia itu  memerlukan dua daya, yaitu daya Allah dan daya manusia dan yang paling berpengaruh dan efektif adalah daya Allah. 

وَمَا تَشَآءُونَ إِلَّآ أَن يَشَآءَ ٱللَّهُۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمٗا ٣٠ 

30. Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

3.      Qadimnya al-Quran

Pendapat al-Asy’ari tentang qadimnya Al-Qura’an berlainan pula dengan pendapat kaum Mu’tazilah. Bagi al-Asy’ari al-Quran tidaklah diciptakan sebab kalau ia diciptakan maka sesuai dengan ayat:

إِنَّمَا قَوۡلُنَا لِشَيۡءٍ إِذَآ أَرَدۡنَٰهُ أَن نَّقُولَ لَهُۥ كُن فَيَكُونُ ٤٠ 

40. Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: "kun (jadilah)", maka jadilah ia.

Untuk penciptaan itu perlu kata kun, dan untuk terciptanya kun itu perlu pula kata kun yang lain, begitulah seterusnya sehingga terdapat rentetan kata-kata kun yang sudah berkesudahan. Dan ini tak mungkin, oleh karena itu al-Quran tidak mungkin diciptakan.

4.      Akal dan Wahyu serta Kriteria Baik dan Buruk

Al-Asy’ari mengutamakan wahyu, sementara kaum mu’tazilah mengutamakan akal. Sementara dalam menentukan baik-buruk terjadi perbedaan pendapat diantara mereka. Al-Asy’ari berpendapat bahwa baik-buruk harus didasarkan oleh pada wahyu, sedangkan Mu’tazilah mendasarkannya pada akal.

5.      Melihat Allah

Al-Asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat, tetapi tidak bisa digambarkan. Kemungkinan ru’yat dapat terjadi manakala Allah sendiri yang menyebabkan dapat dilihat atau bilamana Allah sendiri menciptakan kemampuan penglihatan untuk melihatNya.

6.      Keadilan

Antara al-Asy’ari dan Mu’tazilah pada dasarnya semua setuju bahwa Allah itu adil. Mereka berbeda dalam memandang keadilan. Al-Asy’ari tidak sependapat dengan Mu’tazilah yang mengharuskan Allah berbuat adil sehingga Dia harus menyiksa orang yang salah dan member pahala kepada orang yang berbuat baik. Menurutnya, Allah tidak memiliki keharusan apapun karena ia adalah Penguasa Mutlak.

7.      Kedudukan orang yang berdosa

Al-Asy’ari menolak ajaran posisi menengah yang di anut oleh Mu’tazilah. Mengingat kenyataan bahwa iman merupakan lawan dari kufr, predikat bagi seseorang haruslah salah satu diantaranya. Jika tidak mukmin, ia kafir. Oleh karena itu, Al-Asy’ari berpendapat bahwa mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufr.

2)      Doktrin Teologi Maturidiyah

1.      Akal dan wahyu

Dalam pemikiran teologinya, Al-Maturidi mendasarkan pada Al-Qur'an dan akal dalam bab ini ia sama dengan Al-asy’ari. Menurut Al-Maturidi, mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui dengan akal. Kemampuan akal dalam mengetahui dua hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-Qur'an yang memerintahkan agar manusia menggunakan akal dalam usaha memperoleh pengetahuan dan keimanannya terhadap Allah melalui pengamatan dan pemikiran yang mendalam tentang makhluk ciptaannya. Kalau akal tidak mempunyai kemampuan memperoleh pengetahuan tersebut, tentunya Allah tidak akan menyuruh manusia untuk melakukannya. Dan orang yang tidak mau menggunakan akal untuk memperoleh iman dan pengetahuan mengenai Allah berarti meninggalkan kewajiban yang diperintah ayat-ayat tersebut. Namun akal menurut Al-Maturidi, tidak mampu mengetahui kewajiban-kewajiban lainnya. Dalam masalah baik dan buruk, Al-Maturidi berpendapat bahwa penentu baik dan buruk sesuatu itu terletak pada suatu itu sendiri, sedangkan perintah atau larangan syari’ah hanyalah mengikuti ketentuan akal mengenai baik dan buruknya sesuatu. Dalam kondisi demikian, wahyu diperoleh untuk dijadikan sebagai pembimbing. Al-Maturidi membagi kaitan sesuatu dengan akal pada tiga macam, yaitu: 

a.       Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu.

b.      Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebutuhan sesuatu itu.

c.       Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu, kecuali dengan petunjuk ajaran wahyu.

Jadi, yang baik itu baik karena diperintah Allah, dan yang buruk itu buruk karena larangan Allah. Pada konteks ini, Al-Maturidi berada pada posisi tengah dari Mu’tazilah dan Al-Asy’ari. 

2.      Perbuatan manusia

Menurut Al-Maturidi perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaannya. Dalam hal ini, Al-Maturidi mempertemukan antara ikhtiar sebagai perbuatan manusia dan qudrat Tuhan sebagai pencipta perbuatan manusia. Dengan demikian tidak ada pertentangan antara qudrat tuhan yang menciptakan perbuatan manusia dan ikhtiar yang ada pada manusia. Kemudian karena daya di ciptakan dalam diri manusia dan perbuatan yang di lakukan adalah perbuatan manusia sendiri dalam arti yang sebenarnya, maka tentu daya itu juga daya manusia.

3.      Kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. 

Menurut Al-Maturidi qudrat Tuhan tidak sewenang-wenang (absolut), tetapi perbuatan dan kehendaknya itu berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkannya sendiri.

4.      Sifat Tuhan

Dalam hal ini faham Al-Maturidi cenderung mendekati faham mu’tzilah. Perbedaan keduanya terletak pada pengakuan Al-Maturidi tentang adanya sifat-sifat Tuhan, sedangkan mu’tazilah menolak adanya sifat-sifat Tuhan.

5.      Melihat Tuhan 

Al-Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan. Hal ini diberitahukan oleh Al-Qur'an, antara lain firman Allah dalam surat Al-Qiyamah ayat 22 dan 23. Namun melihat Tuhan, kelak di akherat tidak dalam bentuknya, karena keadaan di akherat tidak sama dengan keadaan di dunia. 

6.      Kalam Tuhan 

Al-Maturidi membedakan antara kalam yang tersusun dengan huruf dan bersuara dengan kalam nafsi (sabda yang sebenarnya atau kalam abstrak). Kalam nafsi adalah sifat qadim bagi Allah, sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan suara adalah baharu (hadist). Kalam nafsi tidak dapat kita ketahui hakikatnya bagaimana Allah bersifat dengannya (bila kaifa) tidak di ketahui, kecuali dengan suatu perantara.

7.      Perbuatan manusia 

Menurut Al-Maturidi, tidak ada sesuatu yang terdapat dalam wujud ini, kecuali semuanya atas kehendak Tuhan, dan tidak ada yang memaksa atau membatasi kehendak Tuhan kecuali karena ada hikmah dan keadilan yang ditentukan oleh kehendak-Nya sendiri. Oleh karena itu, tuhan tidak wajib berbuat ash-shalah wa-al ashlah (yang baik dan terbaik bagi manusia). Setiap perbuatan tuhan yang bersifat mencipta atau kewajiban-kewajiban yang di bebankan kepada manusia tidak lepas dari hikmah dan keadilan yang di kehendaki-Nya. Kewajiban-kewajiban tersebut adalah : 

a.       Tuhan tidak akan membebankan kewajiban-kewajiban kepada manusia di luar kemampuannya karena hal tersebut tidak sesuai dengan keadilan, dan manusia juga di beri kemerdekaan oleh tuhan dalam kemampuan dan perbuatannya. 

b.      Hukuman atau ancaman dan janji terjadi karena merupakan tuntunan keadilan yang sudah di tetapkan-Nya.

8.      Pelaku dosa besar 

Al-Maturidi berpendapat bahwa orang yang berdosa besar tidak kafir dan tidak kekal di dalam neraka walaupun ia mati sebelum bertobat. Hal ini karena tuhan sudah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. Kekal di dalam neraka adalah balasan untuk orang yang berbuat dosa syirik. Dengan demikian, berbuat dosa besar selain syirik tidak akan menyebabkan pelakunya kekal di dalam neraka. Oleh karena itu, perbuatan dosa besar (selain syirik) tidaklah menjadikan seseorang kafir atau murtad.

9.      Pengutusan Rasul 

Pandangan Al-Maturidi tidak jauh beda dengan pandangan mu’tazilah yang berpendapat bahwa pengutusan Rasul ke tengah-tengah umatnya adalah kewajiban Tuhan agar manusia dapat berbuat baik dan terbaik dalam kehidupannya. Pengutusan rasul berfungsi sebagai sumber informasi. Tanpa mengikuti ajarannya wahyu yang di sampaikan rasul berarti manusia telah membebankan sesuatu yang berada di luar kemampuannya kepada akalnya.


2.7. Dalil Al-Qur’an Yang Menjadi Landasan Masing-masing

1.      Dalil al-Qur’an yang menjadi landasan aliran Asy’ariyah

 وَٱللَّهُ خَلَقَكُمۡ وَمَا تَعۡمَلُونَ ٩٦ 

96. Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu"

وَمَا تَشَآءُونَ إِلَّآ أَن يَشَآءَ ٱللَّهُۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمٗا ٣٠ 

30. Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana

إِنَّمَا قَوۡلُنَا لِشَيۡءٍ إِذَآ أَرَدۡنَٰهُ أَن نَّقُولَ لَهُۥ كُن فَيَكُونُ ٤٠ 

40. Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: "kun (jadilah)", maka jadilah ia.

2.      Dalil al-Quran yang menjadi landasan al-Maturidiah

وُجُوهٞ يَوۡمَئِذٖ نَّاضِرَةٌ ٢٢  إِلَىٰ رَبِّهَا نَاظِرَةٞ ٢٣ 

22. Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri

23. Kepada Tuhannyalah mereka melihat


Pemikiran Kalam Indonesia (H.M. Rasyidi dan H.M Nasution)

 1. Profil H.M. Rasjidi Prof. Dr. H. M. Rasjidi dilahirkan di Kotagede, Yogyakarta, hari Kamis Pahing tanggal 20 Mei 1915, saat kalender Hij...